Pancawala atau Pancakumara adalah sebutan untuk lima orang putra Dropadi dari hasil perkawinannya dengan Pancapandawa dalam wiracaritaMahabharata. Istilah Pancakumara berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “pañca” yang bermakna lima dan “kumara” yang bermakna putra.
Nama-nama Pancakumara
Nama kelima orang Pancakumara yang dilahirkan oleh Dropadi tersebut antara lain adalah:
Peran Pancakumara dalam cerita Mahabharata jika dibandingkan dengan putra Pandawa lainnya, terutama Abimanyu dan Gatotkaca. Meskipun demikian, Pratiwindya berhasil membunuh Dursasanaputra, yaitu tokoh yang mengakhiri nyawa Abimanyu dalam perang di Kurukshetra.
Setelah perang berakhir, Duryodana sang pemimpin Korawa dalam keadaan sekarat sempat mengangkat Aswatama sebagai panglima untuk meneruskan pertempuran. Aswatama disertai dua orang rekannya yang masih hidup, yaitu Krepa dan Kretawarma menyusup ke dalam perkemahan pihak Pandawa.
Di dalam kemah tersebut, Aswatama membunuh Drestadyumna, pangeran dari Kerajaan Pancala. Ia kemudian menemukan lima orang pria dalam keadaan tertidur. karena mengira kelimanya adalah Pandawa, Aswatama pun langsung membunuh mereka. Selain itu Aswatama juga membunuh Srikandi, kakak Drestadyumna.
Ternyata lima orang yang tewas dibunuh Aswatama sewaktu tidur bukan para Pandawa, melainkan Pancakumara.
Versi pewayangan
Pancawala atau Pancakumara dalam pewayangan, terutama di Jawa bukan terdiri dari lima orang, tetapi hanya seorang saja. Pancawala versi ini adalah putra Yudistira dan Drupadi.
Menurut Mulyono dalam artikelnya yang berjudul Dewi Dropadi: Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa, menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita antara kitab Mahabharata dengan versi pewayangan Jawa adalah karena pengaruh perkembangan agama Islam[1]. Setelah Kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu runtuh, munculah Kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada masa itu, segala sesuatu harus disesuaikan dengan hukum agama Islam. Pertunjukan wayang yang pada saat itu sangat digemari oleh masyarakat, tidak diberantas ataupun dilarang melainkan disesuaikan dengan ajaran Islam.
Dalam nersi aslinya, Dropadi menikah dengan kelima Pandawa karena perintah ibu mereka yang menyuruh tanpa sengaja. Meskipun demikian, para pujangga Islam tetap saja memandang poliandri sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu, Dropadi versi Jawa pun dikisahkan hanya menikah dengan Yudistira saja, dan berputra satu orang bernama Pancawala.
Dalam versi ini, Pancawala menikah dengan sepupunya, yaitu Pregiwati putri Arjuna. Pregiwati memiliki kakak bernama Pregiwa yang menjadi istri Gatotkaca putra Bimasena.
Lamaran Pancawala anak dari Puntadewa diterima oleh Arjuna. Pancawala akan dinikahkan dengan putrinya Pergiwati di kesatrian Madukara. Hal yang masih berupa pembicaraan keluarga ini disepakati akan diresmikan. maka segeralah Ngamarta mengirim orang untuk melakukan lamaran resmi. sedianya yang akan melakukan lamaran adalah Sri Bhatara Kresna mewakili baginda raja Puntadewa.
Kabar beredar juga ke Hastina. Di Hastina Drona membikin suatu strategi. dia mengajukan sebuah usulan agar melamar Pergiwati dan disandingkan dengan Lesmana Mandrakumara putra mahkota Hastinapura. sang Prabu Duryodana setuju. maka berangkatlah utusan dari Hastina Pura, yaitu Resi Drona, Baladewa dari Mandura dan Karna raja Ngawangga.
Utusan dari Hastina tiba, lalu karena pakewuh singkat cerita Arjuna menerima lamaran dari Hastina. dan bersiaplah pesta diadakan antara Lesmana Mandakumara dengan Pergiwati. Sementara itu untuk memberitahu ke Ngamarta Arjuna mengirim Petruk dan Punakawan untuk menyampaikan berita bahwa lamaran Pancawala dan Ngamarta di tolak.
Punakawan sampai di Ngamarta, rombongan penglamar sudah siap berangkat. mereka kaget ketika menerima kabar bahwa lamaran di tolak. Werkudoro sangat marah karena menilai penolakan adalah suatu kekurangajaran Arjuna kepada kakaknya, Puntadewa. Werkudoro dilerem oleh Puntadewa. Akhirnya Kresna dan Werkudoro ke Madukoro untuk ikut menghadiri undangan pernikahan Pergiwati dan Lesmana.
Pancawala merasa sedih, dan dihibur Punakawan. Punakawan berjanji akan membantu. lalu mereka segera pamit dari siti hinggil Ngamarta dan pergi ke Madukoro untuk mengupayakan agar Pergiwati mau untuk menikah dengan Pancawala. Sementara Puntadewa mengundurkan diri dari siti hinggil dan menemui Drupadi. Berkata bahwa Arjuna menolak lamaranya. Drupadi sangat marah dan sedih. lalu meminta agar Punta dewa mau membalas penghinaan Arjuna. Sangking menahan emosi sudah lama, tak kuat lagi. Puntadewa seketika menjadi raksasa yang menggetarkan jagad. Segera pergi ke Madukoro akan memangsa Harjuna.
Di taman kaputren Madukoro. Lesmana masuk ketemu Pergiwati. Sebenarnya ke 2 orang ini saling suka, tapi saling malu malu. Dengan sedikit intrik intrik Pancawala memeriksa kesetiaan Pergiwati. Akhirnya Pergiwati menangis dan mengaku menerima lamaran Lesmana karena takut ayahnya. Akhirnya Pancawala dan Pergiwati bercumbu ditaman. Ketahuan, lalu geger. dengan bantuan Antasena, Antaredja dan Gatotkaca para penghantar penganten kurawa bisa dipukul mundur.
Arjuna marah mendengar kabar ini, tapi sebelum Arjuna sempat mengatasi kerusuhan di kaputren, Madukoro kedatangan raksasa luar biasa besar. Arjuna kewalahan menghadapinya. sampai lari dan bersimpuh dibawah kaki Kresna. Disana Kresna berkata apakah Arjuna sadar kesalahanya kepada Puntadewa? Arjuna mengaku salah. lalu dusuruh oleh Kresna untuk memakai baju putih putih bersama Pergiwati dan Pancawala untuk datang bersujud di kaki raksasa.
Raksasa menjadi terharu dan berubah wujud kembali menjadi Puntadewa. dan akhirnya pernikahan Pancawala dan Pergiwati dilangsungkan.
Wayang purwa adalah bagian dari beberapa macam yang ada, diantaranya wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono dan sebagainya.
Wayang purwa sudah ada beberapa ratus tahun yang lalu dimana wayang timbul pertama fungsinya sebagai upacara menyembah roh nenek moyang. Jadi merupakan upacara khusus yang dilakukan nenek moyang untuk mengenang arwah para leluhur. Bentuk wayang masih sangat sederhana yang dipentingkan bukan bentuk wayang tetapi bayangan dari wayangan tersebut.
Perkembangan wayang pesat pada jaman para wali, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan yang lain ikut merubah bentuk wayang sehingga menjadi lebih indah bentuknya.
Langkah penyempurnaan di jaman Sultan Agung Hanyakrakusuma, jaman kerajaan Pajang, kerajaan Surakarta, jaman Pakubuwono banyak sekali menyempurnakan bentuk wayang sehingga tercipta bentuk sekarang ini, dimana telah mengalami kemantapan yang dirasa pas dihati pemiliknya.
Pengaturan Wayang
Jumlah wayang dalam satu kotak tidak sama tergantung kepada pemiliknya. Jadi ada wayang yang jumlahnya 350 sampai 400 wayang, ada yang jumlahnya hanya 180 wayag dan ada yang kurang dari 180 wayang. Biasanya wayang yang banyak, wayang yang rangkap serta wanda yang banyak sesuai yang diinginkan. Pengaturan wayang pada layar atau kelir atau disebut simpingan. Di dalam simpingan wayang ada simpingan kanan dan simpingan kiri.
Simpingan Kiri terdiri dari Buto raton (Kumbakarno), Raksasa muda (Prahasta,Suratimantra), Rahwana dengan beberapa wanda, Wayang Bapang (ratu sabrang), Wayang Boma (Bomanarakasura), Indrajit, Trisirah, Trinetra dan sejenisnya, Prabu Baladewa dengan beberapa wanda, Raden Kakrasana, Prabu Salya, Prabu Matswapati, Prabu Duryudana, Prabu Salya, Prabu Salya, Prabu Matswapati, Prabu Duryudana, Raden Setyaki, Raden Samba, dan Raden Narayana. Contoh ini hanya secara garis besar saja. Jadi masih banyak nama tokoh yang tidak dicantumkan.
Wayang Eblekan yaitu wayang yang masih diatur rapi didalam kotak, tidak ikut disimping. Contoh: Buta brabah, wayang wanara, wayang kewanan (hewan), wayang tatagan yang lain, misal: wadya sabrang buta cakil dan lain-lain. Wayang dudahan yaitu wayang yang diletakkan di sisi kanan dhalang. Contoh: Punakawan, pandita, rampogan, dewa dan beberapa tokoh wayang yang akan digunakan didalam pakeliran.
Simpingan Kanan dimulai dari wayang Tuguwasesa diakhiri wayang bayen. Adapun wayang yang disimping adalah Prau Tuguwasesa (Tuhuwasesa), Werkudara dari beberapa macam wanda, Bratasena dari beberapa macam wanda, Rama Parasu, Gatotkaca dari beberapa macam wanda, Ontareja, Anoman dari beberapa macam wanda, Kresna dari beberapa macam wanda, Prabu Rama, Prabu Arjuna Sasra, Pandhu, Arjuna, Abimanyu, Palasara, Sekutrem, Wayang putran, dan Bati. Wayang-wayang tersebut disimping pada debog atau batang pisang bagian atas. Untuk batang pisang bagian bawah hanya terdiri dari simpingan wayang putren.
Simpingan sebelah kiri terdiri atas Buta raton, Wayang buta enom (raksasa muda), Wayang boma, Wayang Sasra, dan Wayang Satria. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat urutan yang diatur seperti tersebut dibawah ini.
Pakem Ringgit Purwa Warni-warni:
Lakon-lakon: Peksi Dewata, Gambiranom, Semar Mantu, Bangbang Sitijaya, Wangsatama Maling, Thongthongborong, Srikandhi Mandung, Danasalira, Lesmana Buru Bojone Bangbang, Caluntang, Carapang Sasampuning Prang Baratayuda, Parikesit, Yudayana, Prabu Wahana, Mayangkara, Tutugipun Lampahan Bandung, Carangan Ingkang Kantun Jayaseloba, Doradresanala Larase Semarasupi. Bandhaloba, Ambungkus, Lahire Pandhu, Lahiripun Dasamuka, Dasamuka Tapa Turu, Lahire Indrajit, Lokapala, Sasrabahu, Bambang Sumantri, Sugriwa Subali, Singangembarawati, Anggit Dalem, Tutugipun Lampahan Wilugangga, Tunjung Pethak, Gambar Sejati, Bangbang Dewakasimpar, Ingkang Serkarta Jalintangan Suksma Anyalawadi, Samba Rambi, Antasena Rabi, Wilmuka Rabi, Partajumena, Wisatha Rabi, Sumitra Rabi, Sancaka Rabi, Antareja Rabi, Pancakumara Rabi, Sayembara Dewi Mahendra, Sayembara Dewi Gandawati, Sayembara Tal Pethak, Dhusthajumena Rabi, Pancadriya Rabi, Rukma Ical, Ugrasena Tapa, Leksmana Mandrakumara Rabi, Ada-ada Bimasuci, Pandhawa Kaobongan, Sembadra Dilarung and Secaboma (59 wayang lakon).
Pakem Ringgit Wacucal:
Lakon-lakon: Kresna Kembang, Sayembara Setyaki, Erangbaya,Kresna Gugah, Prabu Kalithi, Wilugangga, Waosan Panitibaya Lampahipun Para Dewa, Asmaradahana, Karagajawa dan Sudhamala (11 wayang lakon).
ANANTAREJA adalah putera Bima/Werkundara, salah satu dari lima satria Pandawa, dengan Dewi Nagagini, putri Hyang Anantaboga dengan Dewi Supreti dari Kahyangan Saptapratala. Ia mempunyai 2 (dua) orang saudara lelaki lain ibu, bernama: Raden Gatotkaca, putra Bima dengan Dewi Arimbi, dan Arya Anantasena, putra Bima dengan Dewi Urangayu.
Sejak kecil Anatareja tinggal bersama ibu dan kakeknya di Saptapratala (dasar bumi). Ia memiliki ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi/tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan didalam bumi.
Anantareja memiliki sifat dan perwatakan : jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular/taksaka di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.
Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang perang Bharatayuda atas kemauannya sendiri dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayuda.
Antarja Lair
Di negara Saptapratala, Hyang Anantaboga, resi Abiyasa, para Pandawa, berkumpul untuk menunggu Dewi Nagagini yang akan melahirkan putera, berkatalah resi Abiyasa,”Hyang Anantaboga perkenankanlah nagagini saya bawa ke negara Amarta, jika bayi telah lahir, akan saya serahkan kembali .” Hyang Anantaboga menyetujuinya, dan berangkatlah Resi Abiyasa dengan Dewi Nagagini beserta pada Pandawa kembali ke Amarta. Sesampainya di Amarta telah hadir pula Hyang Kanekaputra dan para bidadari, berkatalah Hyang Narada,”gara-gara telah terjadi , tak lain dan tak bukan, titahku resi Abiyasa akan menurunkan ke-alusan-nya Gandamana, lagipula aku datang di Amarta atas nama Hyang guru, untuk menyaksikan kelahiran bayi Nagagini”. Tak lama setelah Hyang Narada bersabda, lahirlah bayi dari kandungan Dewi Nagagini.
Resi Abiyasa diberitahu oleh Hyang Kanekaputra, bahwa Hyang Guru berkenan memberi nama kepada si bayi: Senaputra, Antarja, lagipula diberi wahyu kesaktian racun hru pada gigi taringnya si bayi. Untuk mendapatkan kelemasan ototototnya, diseyogyakan si bayi diadu perang, dikemudian hari bayi akan menjadi jagonya para dewa. Setelah Hyang Narada selesai bersabda, kembalilah ke Suralaya diiring pada bidadari . Negara Amarta pada waktu yang bersamaan , dikepung oleh musuh, raja dari Paranggumiwang, bernama Prabu Salksadewa, datang akan menuntut balas dendam kematian ayahnya prabu Kaskaya, yang dibunuh oleh prabu Pandudewanata, ayah dari Prabu Yudistira dari negara Wanamarta.
Berkatalah Hyang Anantaboga,”Biarlah si Antarja menghadapi musuh dari Paranggumiwang, Werkudara bimbinglah puteramu ke medan laga”. Prabu Saksadewa mati oleh Anantareja, prajurit Paranggumiwang, patih Kalasudarga, emban Saksadewi tak dapat pula menandingi Antarja, mati kesemuanya oleh putera Raden Arya Werkudara, Antareja.
Seluruh istana besukacita merayakan kemenangan, Hyang Ananboga membawa cucunya Raden Anatareja kembali ke Saptapratala
Antarja Takon Bapa
Di kerajaan Astina Prabu Nagabagendo, Begawan Durna menghadap Prabu Duryudana, oleh Begawan Durna dikatakan bahwa anak muridnya yang bernama Nagabagendo bersedia menjadi duta untuk membinasakan Pandawa. Setelah semua mufakat, berangkatlah Begawan Durna diiringi Prabu Nagabagendo menuju negeri Amarta, namun diperjalanan bertemu dengan R. Sentyaki dan R. Udawa kesatria dari Dwarawati.
Setelah mengetahui bahwa Prabu Nagabagendo akan menjadi perusuh dan membahayakan keluarga Pandawa, kedua satria tersebut lalu berperang dengan Prabu Nagabagendo dam kedua satria digertak Prabu Nagabagendo, R. Udawa jatuh dilapangan negeri Amarta dan R. Sentyaki jatuh di negeri Amarta. Begitu R. Sentyaki mendapat dirinya berada di negeri Amarta, segera melaporkan akan mara bahaya yang akan menimpa pihak Pandawa, belum selesai melaporkan kejadian yang dialami pihak Pandawa, datang Prabu Nagabagendo untuk merebut kekuasaan Amarta, maka terjadilah peperangan dan pihak Pandawa tak ada yang dapat mengalahkan kesaktian Prabu Nagabagendo.
Akhirnya berdasarkan saran Prabu Kresna, bahwa yang dapat mengalahkan Prabu Nagabagendo adalah kesatria yang berkulit sisik seperti ular, maka R. Angkawijaya ditugaskan untuk mencari satria yang dimaksud. Sementara itu di sumur Jalatunda, R. Pudak Kencana menghadap kakeknya, Sang Hyang Hanantaboga untuk diberitahu siapa sebenarnya ayahnya dan dimana berada.
Oleh Sang Hyang Hanantaboga diberitahu bahwa ayahndanya ada di negeri Amarta bersemayam di Kasatrian Jodipati. Dengan diiringi kakeknya, R. Pudak Kencana pergi menuju kasatrian Jodipati dan di tengah jalan bertemulah ia dengan R. Angkawijaya yang sedang mencari jago untuk melawan Prabu Nagabagendo. Sesampainya di negeri Amarta, R. Pudak Kencana bertemu dengan R. Werkudara, namun R. Werkudara akan mengakui sebagai anaknya bila mampu membinasakan Prabu Nagabagendo. Akhirnya R. Pudak Kencana berperang melawan Prabu Nagabagendo dan binasa, oleh kakeknya R. Pudak Kencana dapat dihidupkan kembali dengan air kehidupan yang disebut Tirta Kamandanu serta R. Pudak Kencana diberi kesaktian Ajian Upas Onto
Antareja Rabi
Bima akan mengawinkan Antasena dengan Dewi Tirtawati, putri Batara Yamadipati. Prabu Kresna dan Prabu Baladewa bersiap pergi ke Kasatrian Jodipati, tempat tinggal Bima, untuk membantu persiapan pernikahan.
Sementara itu Bima memberitahukan kepada Wisanggeni, bahwa rencana perkawinan Antareja itu ternyata gagal oleh karena dewa menganggap Bima tidak pernah menyembah dewa.
Atas bantuan Bambang Wisanggeni, putra Arjuna yang lahir dari Dewi Dresanala, akhirnya Antasena dapat dikawinkan dengan Dewi Tirtawati, walaupun sempat dikacaukan oleh Prabu Boma-narakasura dari Kerajaan Trajutrisna.
Sementara itu PrabuYaksadewa dari Kerajaan Puserbumi yang akan meminta Dewi Siti Sundari dapat diusir oleh Gatutkaca.
Raden Hanantareja yang dalam pedalangan cukup dipanggil Anantareja, mempunyai nama lain Wasianantareja, Anantarareja. Ia adalah putra raden Werkudara dengan Dewi nagagini, putri Batara Antaboga, di kahyangan Saptapretala. Antareja kawin dengan Dewi GAnggi, putri Prabu Ganggapranawa raja ular di kerajaan Tawingnarmada. Dari perkawinan ini lahirlah Arya Danurwenda yang kemudian diangkat menjadi patih luar (patih njaba) negara Yawastina pada masa pemerintahan Prabu parikesit.
Antareja berkedudukan di kasatriyan Randuwatang atau juga disebut jangkarbumi. Bersamaan dengan lahirnya Antareja, raja negara jangkarbumi Prabu Nagabaginda menyerang kagyangan Suralaya. Ia meminta Dewi Supreti istri Sanghyang Antaboga untuk dijadikan permaisurinya, namun raja Tribuwana tidak berkenan, namun para dewa tak mampu melawan kesaktian prabu nagabaginda. Akhirnya Batara Antaboga yang ditunjuk supaya mmusnahkan Prabu nagabaginda tadi, Antareja yang masih bayi akhirnya dibawa kakeknya menuju ke medan tempur dan dipertemukan dengan raja Jangkarbumi.
Sebelum diadu, bayi Antareja dilumuri air liur Antaboga sehingga menjadi kebal senjata. Bayi Antareja tidak mati melainkan bertambah dewasa. Akhirnya Prabu nagabaginda dapat dibinasakan oleh Antareja, negara Jangkarbumi lalu diserahkan kepada putra Bima tersebut. Prabu Nagabaginda yang tewas itu kemudian menjilma ke tubuh Antareja.
Peristiwa ini mengilhami Antareja ketika membantu adiknya. Arya Gatutkaca yang menuntut janji raja Tribuwana. Ketika Gatutkaca dapat menumpas raja Gilingwesi Prabu Pracona dan patih Kala Sekipu, Sanghyang Guru menjanjikan akan mengangkat Gatutkaca menjadi raja di kahyangan. Karena ditunggu-tunggu Hyang Guru tidak segera memenuhi janjinya, Gatutkaca menagih janji dibantu saudaranya, Antareja.
Saat itu Antareja menjadi raja Puserbawana bergelar Prabu Nagabaginda. Ia menyerang Suralaya sehingga Sanghyang Guru memanggil Gatutkaca. Sebelum berhadapan dengan Gatutkaca, Prabu nagabaginda melarikan diri sehingga Gatutkaca kemudian diangkat menjadi raja di Suralaya bergelar Prabu Sumilih. Prabu Nagabaginda yang lari dari kahyangan, kemudian menyerang negara Astina. Kurawa kalang kabut sehingga meminta bantuan kepada Pandawa. Karena Pandawa dan Sri Kresna juga tidak mampu membendung pasukan perang Puserbuwana, Sri Kresna dan Arya Bima meminta bantuan kepada Prabu Sumilih. Akhirnya Prabu Sumilih dan Prabu Nagabaginda berperang, keduanya kembali seperti sediakala menjadi Arya Gatutkaca dan Raden Antareja.
Antareja mempunyai kesaktian racun/bisa pada air liurnya yang dapat membinasakan lawan dalam waktu sekejap. Kulitnya yang bersisik Napakawaca mampu menahan serangan senjata tajam. Ia juga mempunyai cincin sakti Mustikabumi pemberian dari ibunya untuk tanda bukti bahwa Antareja adalah putra Dewi Nagagini. Didalam lakon Subadra Larung, cincin itu diperlihatkan kepada Arya Werkudara ayahnya, sehingga bima mengakui putranya. Kala itu Antareja terkejut melihat perahu mayat wanita yang tiada lain adalah Wara Subadra istri Janaka. Dengan cincin Mustikabumi, Antareja dapat menghidupkan kembali Subadra yang sudah meninggal karena dibunuh oleh Burisrawa secara tidak sengaja.
Akhirnya, Gatutkaca yang mendapat tugas untuk mengawasi jenazah Wara Subadra menjadi curiga dan menuduh Antareja yang membunuh bibinya itu. Keduanya lalu berperang, namun segera dicegah oleh Sri Kresna dan diberi nasehat bahwa keduanya masih saudara. Wara Subadra sendiri mengaku bahwa yang membunuh dirinya itu satriya Madyapura Raden Burisrawa, putra Prabu Salya raja Mandaraka.
Dalam kisah Kresna Gugah, Sri Kresnah merubah dirinya menjadi kumbang putih dan meninggalkan jasmaninya dalam bentuk raksasa yang sedang tidur. Roh Sri Kresna berupa kumbah putih itu menyelidiki kitab Jitabsara yang ditulis oleh Batara Panyarikan. Kitab Jitabsara mengisahkan Bharatayudha lengkap senopati Kurawa berpasangan dengan senopati Pandawa. Ketika Prabu Baladewa ditulis memihak Kurawa dan berhadapan dengan Antareja, Sri Kresna tidak sampai hati, maka ia menumpahkan tinta hitam tepat mengenai tulisan yang menerangkan pasangan Baladewa melawan Antareja. Sehingga keduanya gagal dipertemukan dalam Bharatayudha.
Akhirnya riwayat Antareja dikisahkan dalam lakon Tawur atau pengorbanan keluarga demi mencapai kejayaan perang. Kurawa tidak rela mengorbankan salah satu keluarganya, melainkan membunuh Ijrada, tarka dan Sarka, sedangkan Antareja dan Wisenggani rela mengorbankan diri untuk tumbal kemenangan pandawa. Antareja rela mati dengan menjiliat telapak kakinya sendiri dengan anugerah menempati sorgaloka tingkat sembilan (swarga tunda sanga) milik Sri Kresna.
Di negara Saptapratala, Hyang Anantaboga, resi Abiyasa, para Pandawa, berkumpul untuk menunggu Dewi Nagagini yang akan melahirkan putera, berkatalah resi Abiyasa,”Hyang Anantaboga perkenankanlah nagagini saya bawa ke negara Amarta, jika bayi telah lahir, akan saya serahkan kembali .” Hyang Anantaboga menyetujuinya, dan berangkatlah Resi Abiyasa dengan Dewi Nagagini beserta pada Pandawa kembali ke Amarta. Sesampainya di Amarta telah hadir pula Hyang Kanekaputra dan para bidadari, berkatalah Hyang Narada,”gara-gara telah terjadi , tak lain dan tak bukan, titahku resi Abiyasa akan menurunkan ke-alusan-nya Gandamana, lagipula aku datang di Amarta atas nama Hyang guru, untuk menyaksikan kelahiran bayi Nagagini”. Tak lama setelah Hyang Narada bersabda, lahirlah bayi dari kandungan Dewi Nagagini.
Resi Abiyasa diberitahu oleh Hyang Kanekaputra, bahwa Hyang Guru berkenan memberi nama kepada si bayi: Senaputra, Antarja, lagipula diberi wahyu kesaktian racun hru pada gigi taringnya si bayi. Untuk mendapatkan kelemasan ototototnya, diseyogyakan si bayi diadu perang, dikemudian hari bayi akan menjadi jagonya para dewa. Setelah Hyang Narada selesai bersabda, kembalilah ke Suralaya diiring pada bidadari . Negara Amarta pada waktu yang bersamaan , dikepung oleh musuh, raja dari Paranggumiwang, bernama Prabu Salksadewa, datang akan menuntut balas dendam kematian ayahnya prabu Kaskaya, yang dibunuh oleh prabu Pandudewanata, ayah dari Prabu Yudistira dari negara Wanamarta.
Berkatalah Hyang Anantaboga,”Biarlah si Antarja menghadapi musuh dari Paranggumiwang, Werkudara bimbinglah puteramu ke medan laga”. Prabu Saksadewa mati oleh Anantareja, prajurit Paranggumiwang, patih Kalasudarga, emban Saksadewi tak dapat pula menandingi AntarEja, mati kesemuanya oleh putera Raden Arya Werkudara.
Seluruh istana bersuka cita merayakan kemenangan, Hyang Ananboga membawa cucunya Raden Anatareja kembali ke Saptapratala.
Di kerajaan Astina Prabu Nagabagendo, Begawan Durna menghadap Prabu Duryudana, oleh Begawan Durna dikatakan bahwa anak muridnya yang bernama Nagabagendo bersedia menjadi duta untuk membinasakan Pandawa. Setelah semua mufakat, berangkatlah Begawan Durna diiringi Prabu Nagabagendo menuju negeri Amarta, namun diperjalanan bertemu dengan R. Sentyaki dan R. Udawa kesatria dari Dwarawati.
Setelah mengetahui bahwa Prabu Nagabagendo akan menjadi perusuh dan membahayakan keluarga Pandawa, kedua satria tersebut lalu berperang dengan Prabu Nagabagendo dam kedua satria digertak Prabu Nagabagendo, R. Udawa jatuh dilapangan negeri Amarta dan R. Sentyaki jatuh di negeri Amarta. Begitu R. Sentyaki mendapat dirinya berada di negeri Amarta, segera melaporkan akan mara bahaya yang akan menimpa pihak Pandawa, belum selesai melaporkan kejadian yang dialami pihak Pandawa, datang Prabu Nagabagendo untuk merebut kekuasaan Amarta, maka terjadilah peperangan dan pihak Pandawa tak ada yang dapat mengalahkan kesaktian Prabu Nagabagendo.
Akhirnya berdasarkan saran Prabu Kresna, bahwa yang dapat mengalahkan Prabu Nagabagendo adalah kesatria yang berkulit sisik seperti ular, maka R. Angkawijaya ditugaskan untuk mencari satria yang dimaksud. Sementara itu di sumur Jalatunda, R. Pudak Kencana menghadap kakeknya, Sang Hyang Hanantaboga untuk diberitahu siapa sebenarnya ayahnya dan dimana berada.
Oleh Sang Hyang Hanantaboga diberitahu bahwa ayahndanya ada di negeri Amarta bersemayam di Kasatrian Jodipati. Dengan diiringi kakeknya, R. Pudak Kencana pergi menuju kasatrian Jodipati dan di tengah jalan bertemulah ia dengan R. Angkawijaya yang sedang mencari jago untuk melawan Prabu Nagabagendo. Sesampainya di negeri Amarta, R. Pudak Kencana bertemu dengan R. Werkudara, namun R. Werkudara akan mengakui sebagai anaknya bila mampu membinasakan Prabu Nagabagendo. Akhirnya R. Pudak Kencana berperang melawan Prabu Nagabagendo dan binasa, oleh kakeknya R. Pudak Kencana dapat dihidupkan kembali dengan air kehidupan yang disebut Tirta Kamandanu serta R. Pudak Kencana diberi kesaktian Ajian Upas Onto.
Dengan kesaktian Upas Onto, R. Pudak Kencana dapat membinasakan Prabu Nagabagendo dan bala tentara Kurawa dapat dikalahkan oleh Pandawa beserta putra-putranya.
Dengan kematian Prabu Nagabagendo negeri Amarta menjadi aman, tentram dan damai serta R.Pudak Kencana menjadi bagian keluarga besar Pandawa dan beralih nama R.Antareja. (artikel ini diambil dari http://wayang.wordpress.com/2010/07/22/raden-antareja-anantareja/).
Anantaraja, atau yang lebih sering disingkat Antareja, adalah salah satu tokoh pewayangan yang tidak terdapat dalam Mahabharata karena merupakan asli ciptaan para pujangga Jawa. Ia merupakan putra sulung Wrekodara atau Bimasena dari keluarga Pandawa.
Dalam pewayangan klasik versi Surakarta, Antareja merupakan nama lain dari Antasena, sedangkan versi Yogyakarta menyebut Antasena sebagai adik lain ibu Antareja, selain Gatutkaca. Sementara itu dalam pewayangan zaman para dalang versi Surakarta umumnya juga mengisahkan Antareja dan Antasena sebagai dua orang tokoh yang berbeda.
Asal-Usul
Antareja adalah putra sulung Bimasena yang lahir dari Nagagini putri Batara Anantaboga, dewa bangsa ular. Perkawinan Bima dan Nagagini terjadi setelah peristiwa kebakaran Balai Sigala-Gala di mana para Korawa mencoba untuk membunuh para Pandawa seolah-olah karena kecelakaan.
Bima kemudian meninggalkan Nagagini dalam keadaan mengandung. Antareja lahir dan dibesarkan oleh Nagagini sampai ketika dewasa ia memutuskan untuk mencari ayah kandungnya. Dengan bekal pusaka Napakawaca pemberian Anantaboga dan Cincin Mustikabumi pemberian Nagagini, Antareja berangkat menuju Kerajaan Amarta.
Di tengah jalan Antareja menemukan mayat seorang wanita yang dimuat dalam perahu tanpa pengemudi. Dengan menggunakan Napakawaca, Antareja menghidupkan wanita tersebut, yang tidak lain adalah Subadra istri Arjuna.
Tiba-tiba muncul Gatutkaca menyerang Antareja. Gatutkaca memang sedang ditugasi untuk mengawasi mayat Subadra demi untuk menangkap pelaku pembunuhan terhadap bibinya itu. Subadra yang telah hidup kembali melerai kedua keponakannya itu dan saling memperkenalkan satu sama lain.
Antareja dan Gatutkaca gembira atas pertemuan tersebut. Kedua putra Bima itu pun bekerja sama dan akhirnya berhasil menangkap pelaku pembunuhan Subadra yang sebenarnya, yaitu Burisrawa.
Kisah kemunculan Antareja untuk pertama kalinya tersebut dalam pewayangan Jawa biasa disebut dengan judul cerita Sumbadra Larung.
Kesaktian
Antareja memiliki Ajian Upasanta pemberian Hyang Anantaboga. Lidahnya sangat sakti, mahluk apapun yang dijilat telapak kakinya akan menemui kematian. Anatareja berkulit napakawaca, sehingga kebal terhadap senjata. Ia juga memiliki cincin Mustikabumi, pemberian ibunya, yang mempunyai kesaktian, menjauhkan dari kematian selama masih menyentuh bumi maupun tanah, dan dapat digunakan untuk menghidupkan kembali kematian di luar takdir. Kesaktian lain Anantareja dapat hidup dan berjalan didalam bumi.
Sifat
Anantareja memiliki sifat jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Ia menikah dengan Dewi Ganggi, putri Prabu Ganggapranawa, raja ular di Tawingnarmada, dan berputra Arya Danurwenda.
Setelah dewasa Anantareja menjadi raja di negara Jangkarbumi bergelar Prabu Nagabaginda. Ia meninggal menjelang perang Bharatayuddha atas perintah Prabu Kresna dengan cara menjilat telapak kakinya sebagai Tawur (korban untuk kemenangan) keluarga Pandawa dalam perang Bharatayuddha.