Perjalanan Cinta Arimbi dan Bima: Puncak Korban

19.27 Edit This 0 Comments »
Prabu Dwaka roboh di tanah (karya Herjaka HS), gambar ini diambil dari http://wayangprabu.com/page/10/?archives-list=1

Perjalanan Cinta Arimbi dan Bima: Puncak Korban

Sitihinggil Ekacakra penuh dengan asap korban bakaran. Prabu Dwaka mulai merasa lapar mencium bau asap dari daging yang dibakar. Terlebih ketika melihat Bima yang diberi bumbu bothok, ia mengarahkan langkah dan pandangannya menuju korban yang di sajikan dari Giripurwa. Selangkah demi selangkah kaki yang besar dan berat itu menginjak bumi, dan menimbulkan getar disekitarnya. Bimasena, Arjuna, Lurah Sagotra, Rara Winihan, Rawan dan para pengiring mulai meningkatkan kewaspadaan. Kecuali Bima dan Arjuna, jantung mereka berdetak semakin cepat merasakan getar tanah yang ditimbulkan oleh langkah Prabu Dwaka, hawa dingin mulai mengalir dari ujung kaki dan telapak tangan mereka. Prabu Dwaka semakin tidak kuasa menahan lapar, melihat sosok Bima yang berbadan tinggi besar, berotot kuat dan kencang, berlumuran bumbu bothok kesukaannya. Karena tertariknya dengan sosok Bima, Prabu Dwaka tidak memperhatikan rangkaian korban yang lain yang telah disiapkan oleh Rara Winihan di dalam sebuah gerobak. Tangan Prabu Dwaka yang besar kuat, penuh dengan bulu, mendulit bumbu bothok di tubuh Bima.

“Hmm enaaak”

Bima tidak gentar menghadapi Prabu Dwaka. Sejak ia sanggup menjadi korban untuk menggantikan Rawan, ia sudah siap lahir batin. Ditatapnya Prabu Dwaka dihadapannya dengan ketajaman mata laksana burung hantu. Otot tubuh yang menjadi daya kekuatan Bimasena mulai dikencangkan.

Prabu Dwaka tidak sabar, dengat cepat ia menyahut Bima. Jika pada korban sebelumnya, baik yang bulanan maupun yang tahunan, korban hanya dapat menjerit dan kemudian diam, kali ini tidak ada jeritan. Bima mampu menepis tangan Prabu Dwaka dengan kekuatan yang lebih besar. Prabu Dwaka terkejut bukan kepalang, merasakan kekuatan besar yang keluar dari calon koorbannya. Ulah Bima yang belum pernah dilakukan oleh para korban sebelumnya, justru meningkatkan selera Prabu Dwaka. Ia dengan tawa sinisnya mengelilingi Bima, ingin mempermainkan calon korbannya sebelum disantapnya.

Namun yang apa yang terjadi sungguh mengejutkan, terutama bagi Prabu Dwaka. Bima dengan cepat dan tiba-tiba melayangkan kakinya ke dada Prabu Dwaka. Prabu Dwaka senggoyoran hampir jatuh. Ia baru sadar, bahwa korban yang disajikan kali ini bukan orang sembarangan. Prabu Dwaka menatapnya Bima dengan kemarahan puncak. Bima tidak mau kalah, ia balas menatapnya sembari berdiri teguh, seteguh batu karang. Dengan menghimpun kekuatan, Prabu Dwaka menerkam Bima. Kali ini Bima menghindar. Prabu Dwaka semakin marah. Dan sebentar kemudian terjadilah pertepuran yang dahsyat. Dikarenakan keduanya tidak merasa leluasa bertempur di pelataran sitihinggil, maka tanpa kesepakatan pertempuran bergeser keluar dari sitihinggil menuju ke alun-alun.

Korban besar tahunan menjadi kacau. Para pelaku korban, petugas jaga, para perajurit dan pengawal raja, menghentikan aktifitasnya. Mereka bersama-sama menyaksikan pertepuran langka. Bahkan orang-orang mulai berdatangan ke alun-alun untuk menyaksikan pertempuran dahsyat sepanjang abad.

Para pajurit yang setia kepada raja, ikut geram kepada Bimasena. Namun dibalik kegeramannya, mereka mengakui keberanian Bima untuk melawan raja mereka. Karena selama mereka mengabdi kepada Prabu Dwaka, belum pernah ia menjumpai seseorang yang berani kepada raja mereka. Barulah sekarang untuk yang pertamakali ia menyaksikan ada orang yang berani melawan raja mereka dengan tidak menampakkan ketakutannya.

Walaupun diantara mereka pernah menyaksikan dan merasakan kesaktian Bima ketika menolong para pengungsi, mereka semakin tergetar keberaniannya menyaksikan kehebatan Bima saat melawan Prabu Dwaka.

Sementara itu, bagi mereka, baik para perajurit atau kawula Ekacakra yang selama ini tidak senang dengan raja mereka, sangat berharap agar Bima berhasil memenangkan pertempuran.

Hari semakin siang, matahari telah hampir berada di tengah. Pertempuran berlangsung semakin seru. Keduanya saling mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Debu mengepul, mengelilingi dan menutupi Prabu Dwaka dan Bimasena. Para penonton tidak dapat lagi melihat keduanya dengan jelas. Namun melalui suara yang ditimbulkan mereka dapat ikut merasakan bahwa pertempuran tersebut semakin dahsyat. Oleh karenanya para penonton semakin mundur dengan perasaan cemas, sehingga tempat bertempur pun menjadi semakin luas.

Beberapa saat kemudian, debu yang membumbung perlahan-lahan pergi dibawa angin. Dari kejauhan, tampaklah Bimasena dan Prabu Dwaka berdiri berhadapan. Rupanya mereka sepakat untuk beristirahat sejenak sambil mengatur napas mereka masing-masing. Tidak beberapa lama kemudian, pertempuran dilanjutkan kembali.

Prabu Dwaka yang lapar karena belum berhasil menyantap korban, bertempur dengan membabi buta. Ia ingin segera mengakhiri pertempuran. Namun lawannya bukanlah orang sembarangan, ia mempunyai ilmu tingkat tinggi yang jarang ada tandingannya. Oleh karenanya, Prabu Dwaka menjadi frustasi karena tidak dapat segera mengalahkan Bimasena. Sebaliknya, Bimasena menjadi semakin tenang dan mantap. Sehingga dengan demikian ia dapat dengan jelas melihat kelemahan daya pertahanan lawannya. Pusaka Kuku Pancanaka andalan Bimasena telah disiapkan. Dan pada saat yang tepat, Bimasena berhasil menyarangkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Dwaka.

Terdengar suara teriakan menggelegar dan disusul dengan robohnya tubuh Prabu Dwaka yang tinggi besar. Sorak membahana gemuruh menyambut kemenangan Bimasena. Beberapa pengawal yang setia Raja mengarahkan mata tombaknya ke dada Bimasena, namun sebelum Bimasena luka, Arjuna dengan tangkas menarik busur dan melepaskan anak panahnya dalam jumlah banyak. Maka berjatuhanlah mereka. Pengawal yang lain tergetar hatinya, melihat kesaktian Arjuna dalam memananh.. Mereka mengurungkan niatnya membela rajanya, dan meyerah dihadapan Bimasena.

Setelah dipastikan bahwa Prabu Dwaka sudah gugur, para kawula Ekacakra memohon agar badan Prabu Dwaka yang sudah tidak bernyawa dipisahkan, yang satu ditanam di gunung gamping barat yang satu ditanam di gunung gamping Timur. Menurut kepercayaan, hal tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan energi negatif yang akan ditimbulkan oleh raga Prabu Dwaka.

Pada puncak korban tahunan kali ini, tidak ada lagi kawula yang dikorbankan, melainkan Prabu Dwaka sendiri dan beberapa pengawalnya yang menjadi korban.

Herjaka HS (Artikel ini diambil dari http://wayangprabu.com/page/10/?archives-list=1).

0 komentar: