CAKIL

05.47 Edit This 0 Comments »
Pose wayang Cakil diambil dari www.bayubajra.blogspot.com/2010/01/a...kil.html


Gambar Cakil diambil dari www.archive.kaskus.us

CAKIL

Cakil merupakan seorang raksasa dengan rahang bawah yang lebih panjang daripada rahang atas. Tokoh ini merupakan inovasi Jawa dan tidak dapat ditemui di India.

Dalam sebuah pertunjukan wayang, Cakil selalu berhadapan dengan Arjuna ataupun tokoh satria yang baru turun gunung dalam adegan Perang Kembang. Tokoh ini hanya merupakan tokoh humoristis saja yang tidak serius namun sebenarnya Cakil adalah melambangkan tokoh yang pantang menyerah dan selalu berjuang hingga titik darah penghabisan karena dalam perang kembang tersebut cakil selalu tewas karena kerisnya sendiri.(artikel diambil dari id.wikipedia.org/wiki/Cakil).

Cakil merupakan tokoh asli kreativitas Indonesia. Cakil bukanlah nama, melainkan sebutan untuk raksasa yang berwajah dengan gigi taring panjang di bibir bawah hingga melewati bibir atas tersebut. Ia bisa diberi nama apa saja oleh Dalang yang memainkannya, kadang bernama Ditya Gendirpenjalin, kadang juga bernama Gendringcaluring, Klanthangmimis, Kalapraceka, dan bahkan saya pernah menjumpai dalang menamainya Ditya Kala Plenthong.

Cakil digambarkan berbeda dengan raksasa lain yang hanya satu tangannya bisa digerakkan. Tangan Cakil bisa digerakkan kedua-duanya. Hal ini diartikan sebagai penggambaran "sengkalan memet": “tangan yaksa satataning janma” yang kurang lebih berarti tangan raksasa layaknya tangan manusia. Kata-kata tersebut mengandung watak bilangan sebagai berikut, tangan:2, yaksa:5, satataning:5, jalma:1. Jika dibaca terbalik maka akan menghasilkan angka Tahun Jawa 1552, atau 1630 Masehi yang merupakan tahun diciptakannya tokoh Cakil.

Dalam pewayangan, Cakil bersuara kecil, melengking dengan gaya bicaranya cepat. Meski yang diajak berbicara berhadap-hadapan tapi ia seperti bicara dengan orang di kejauhan. Cakil dalam pewayangan merupakan tokoh raksasa yang bertugas sebagai penjaga batas wilayah suatu negara. Jika ada satria (paling sering Arjuna atau Abimanyu) yang melewati daerah tersebut dihadang sehingga kadang terjadi peperangan, yang disebut Perang Kembang. Oleh karena itu Cakil dalam pewayangan dimasukkan dalam kategori "Buta Begal".

Ia umumnya ditemani oleh tiga raksasa yang berwarna tiga macam. Hal ini terkadang dihubungkan dengan simbolisasi nafsu-nafsu manusia, yakni nafsu amarah, aluamah, supiah, dan mutmainah. Cakil digambarkan sebagai raksasa yang lincah, mahir pencak, dengan gaya berkelahi yang diselingi tarian yang khas. Yang jelas dalam perang ia selalu mati terkena keris pusakanya sendiri. Cakil juga bisa diartikan sebagai tokoh yang gigih, dan setia pada tugas sampai titik darah penghabisan.

Tokoh Cakil dalam wayang gagrag (gaya) Yogyakarta, digambarkan dengan posisi muka langak, bermata kiyeran, dengan hidung wungkal gerang, mulut mrenges dengan kumis, jenggot, dan cambang lebat. Ia memakai sumping sorengpati, dengan jamang sadasaler, rambut odholan (terurai). Badannya gagahan dengan kalung wastra (kalung punggawa), posisi kaki pocong blothong, memakai gelang bala, dan binggel sebagai gelang kakinya.

Berikut contoh dialog yang terjadi antara Cakil dan satria yang dihadangnya.

Cakil: "E ladalah, sasuwene aku pacak baris ing alas iki, ana satria bagus, baguse uleng-ulengan, dedege ngringin sungsang, lakune njungkar angin. Ayo ngakua, ngakua, ngaku! Sapa jenengmu, endi omahmu, endi omahmu, sapa jenengmu?"

Satria: "Buta, buta pantes temen sesipatanmu, dene takon tanpa parikrama, ucapmu cariwis, tanganmu surawean kaya wong ngegusah."

Cakil: "E.. Babo, ladak lirih satria iki!"

Saria: "Apa abamu! Buta, sapa pracekamu lan ing ngendi dhangkamu."

Cakil: "E... Ditakoni durung sumaur malah genti takon"

Satria:"Jamak lumrah wong tetakon ganti pitakon"

Cakil: "Iya, yen kowe takon marang aku, aku andeling praja Girikadasar, Tumenggung Ditya Klanthangmimis, balik kowe sapa jenengmu lan ngendi pinangkamu?"

Satria: "Yen jeneng ora duwe, yen kekasih ndakwangsuli."

Cakil: "Nyata ladak satria iki! sapa kekasihmu."

Satria: "Ya iki satria ing Tanjunganom, Raden Angkawijaya kekasihku"

Cakil: "Sumedya marang endi lakumu?"

Satria: "Ngetut tindaking suku, nuruti kareping budi"

Cakil: "E..Ladalah! Yen kena ndak eman becik balia, aja mbacut, jalaran alas iki lagi dadi sesengkerane gustiku, yen ana janma liwat kudu bali."

Satria: "Aweh ya mbacut, ora aweh ya mbacut."

Cakil: "E..Bojleng-bojleng belis laknat jeg-jegan! Apa wani marang aku?"

Satria: "Kang ndak wedeni apamu"

Cakil: "E, lah keparat. Kekejera kaya manuk branjangan, kopat kapita kaya ula tapak angin, kena ndak saut, ndak sabetake, sida sumyur kwandhamu."

Satria: "Mara dikepara ngarsa."

(Artikel diambil dari www.matabumi.com/picture/cakil ditulis oleh Feri Istanto).


KALAMARICA

19.23 Edit This 0 Comments »

KALAMARICA adalah raksasa kesayangan Prabu Dasamuka, raja negara Alengka. Ia mempunyai saudara kandung bernama Ditya Sukasarana. Selain sakti, Kalamarica juga sangat licik, cerdik, pandai dan dapat beralih rupa menjadi apa saja sesuai yang dikehendakinya. Ia juga sangat sigap dan cekatan dalam melaksanakan tugasnya.

Kalamarica pernah menjadi pengatur siasat dan penunjuk jalan ketika Ditya Subahu, senapati kepercayaan Ditya Karadusana, suami Dewi Sapakenaka, dan laskar raksasanya mengobrak-abrik pertapaan di hutan Dandaka. Prabu Dasamuka yang sakit ahti karena ditipu Resi Yogiswara dari pertapaan Yogisrama dengan mendapatkan Dewi Kusalya palsu, bermaksud melampiaskan dendamnya dengan mengobrak-abrik pertapaan dan membunuh para cantrik. Dalam peristiwa tersebut, Ditya Subahu mati oleh panah Ramawijaya.

Kalamarica pernah berubah wujud menjadi Dewi Tara untuk mengadu domba antara Subali dan Sugriwa, hingga kedua kakak beradik itu berkelai dan berseteru terus menerus. Kalamarica juga berubah wujud menjadi Kijang Kencana untuk memisahkan Dewi Sinta dengan Ramawijaya dan Leksmana, sehingga Dewi Sinta dapat diculik oleh Prabu Dasamuka dan dilarikan ke negara Alengka. Perbuatan tersebut harus dibayar Kalamarica dengan nyawanya. Ia mati terbunuh oleh panah Ramawijaya.
Artikel diambil dari http://sudarjanto.multiply.com/photos/photo/211/90

CANGIK

07.05 Edit This 0 Comments »





CANGIK

Cangik adalah seorang dayang putri kerajaan. Nama ini menurut pada ujud perempuan yang berleher panyang, kepala menjungkur dan berbadan kurus, disebut nyangik, asal dari perkataan cangik. Ia seorang perempuan tua yang ketelah, maka selalu memegang sisir untuk bersisir dan pada waktu dimainkan ia bersisir rambut.

BENTUK WAYANG

Cangik bermata kriyipan, hidung kepik, bibir panyang dibawah, dengan sebuah gigi digerang (dihitamkan), leher panyang, bahu turun (Jawa: brojol), bersanggul gede dikembangi, menggunakan kain batik slobog, badan bagian atas berkain dodot, yaitu kain pakaian perempuan di dalam istana raja, dan menggunakan gelang.

Suara Cangik kecil, melagukan suara orang yang tak bergigi. Pada waktu dimainkan, Cangik akan bertanya pada anaknya, Limbuk, akan kawin dengan laki-laki yang bagaimana macamnya. Biasanya jawaban Limbuk menjadi sindiran untuk anak-anak perawan yang menonton.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

Artikel ini diambil dari http://wayangku.wordpress.com/2008/09/20/cangik/

LIMBUK

06.14 Edit This 0 Comments »





LIMBUK

Limbuk adalah anak Cangik, seorang dayang, puteri kerajaan. la berbadan gemuk dan kuat. Lagak lagu Limbuk ini genit dan selalu berhias sebagaimana emaknya. Kegemukan Limbuk ini sering menjadi perumpamaan bagi gadis yang berbadan. dan gemuk. Limbuk dimainkan sebagai lawakan yang jenaka. dan tiap tiap kali dimainkan selalu dalam adegan minta kawin dan lalu dinasihati oleh emaknya supaya mempelajari hal kepandaian wanita lebih dulu. Jalan Limbuk waktu dimainkan diikuti suara gendang, menggambarkan bahwa Limbuk seorang wanita berbadan besar yang, bertingkah laku serba janggal.

BENTUK WAYANG

Limbuk bermata keran, hidung kepik, sanggul gede dikembangi, bersubang besar (Jawa: suweng blong), kain batik slobog dengan berkain dodot.
Limbuk bersuara besar seperti suara laki-laki diikuti dengan keletahnya.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

Artikel diambil dari http://wayangku.files.wordpress.com/2008/06/limbuk.jpg

BILUNG

07.28 Edit This 0 Comments »


Bilung

Bilung adalah seorang raksasa kecil yang berteman dengan para Punakawan. Dia adalah sahabat dari Togog dan kemana-mana selalu berdua. Bilung digambarkan sebagai tokoh dari luarJawa yaitu Melayu. Bilung sering kali menggunakan bahasa campuran Jawa & Melayu. Setiap bertemu dengan Petruk dia selalu menantang berkelahi & mengeluarkan suara kukuruyuk seperti ayam jago. Tapi sekali dipukul oleh Petruk dia langsung kalah & menangis. Dalam beberapa cerita wayang, Bilung yang punya nama lain Tokun ini terkadang Bilung berperan menjadi Punakawan yang memihak musuh. Biasanya Bilung akan memberi masukan yang baik kepada majikannya . Tetapi bila masukannya tidak didengarkan oleh majikannya , dia akan berbalik memberi berbagai masukan yang buruk.

Artikel diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bilung

TOGOG

07.03 Edit This 0 Comments »



TOGOG

Togog adalah tokoh wayang yang digunakan pada lakon apapun juga di pihak raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal ini, karena ia menjelajah banyak negeri dengan menghambakan dirinya, dan sebentar kemudian pindah pada majikan yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan. Karena itu kelakuan Togog sering diumpamakan pada seseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti majikan.
Ia bersahabat dengan Semar dan terhitung lebih tua Togog daripada Semar, maka Semar memanggil Togog dengan sebutan Kang Togok.
Di mana Togog menghamba tentu dipercaya oleh sang majikan untuk memerintah bala tentara yang akan berangkat ke negeri lain. Waktu ia mendapat perintah untuk memberangkatkan bala tentara tersebut, dalang akan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:
Tersebutlah lurah Wijayamantri (Togog) telah tiba di tempat para raksasa berkumpul, memerintahkan kepada Klek-engklek Balung atandak untuk bersiap akan berjalan ke negeri Anu, tetapi perintah itu tak didengar, maka naiklah ia ke panggung, memukul barang sebagai pertanda.
Adapun benda yang digunakan ialah genta, keleleng, gubar, beri dan lonceng agung sebesar lumbung. Setelah dipalu dan para raksasa segera bersiap senjata dan kendaraan yang berbentuk senuk, memreng, blegdaba, bihal, badak dan singa yang mengaum dan meraung mendatangkan ketakutan pada banyak orang.
Ucapan Engklek-engklek Balung atandak: Marilah teman berdandanlah, akan pergi ke negeri Anu. Dan kemudian disahuti oleh temannya: Ikut-ikutlah,, yangan ketinggalan perabot kita, tekor tempat darah, pisau pemotong hati.


Sangat riuh suara raksasa itu, setelah berkumpul, suara binatang, kendaraan meraung-sung berbareng dengan suara yang mengendarai meraung juga, terdengar seperti guruh musim ke empat.
Lurah Wijayamantri turun dari panggung, lalu menghadap kepada majikannya. Bragalba bertanya: Sudahkah lurah Wijayamantri mengundang bersiap sejawat raksasa semuanya?.
Wijamantri: Sudah Kyai, sewaktu-waktu berangkat telah bersiap.
Bragalba: Marilah sekalian berangkat pada waktu pagi. Dijawab: Marilah, marilah. Diiring dengan gamelan, ketika gamelan berhenti, Togog, berkata kepada Bilung: Bilung, bagaimanakah ini?. Tadi kata pemimpin saya diangkat sebagai pemimpin, tetapi yangan pula saya dapat memimpin hingga sampai ke negeri yang dituju, sekarang saja selalu terbelakang. Tetapi keduanya lalu menyusul juga.
Rombongan raksasa ini berjumpa dengan duta seorang raja, terjadilah tanya jawab maksud masing-masing dan karena bertentangan maka terjadi peperangan. Hal ini yang disebut perang gagal, yaitu perang yang tak ada hasilnya apa-apa, tidak ada yang mati, keduanya hanya bersimpang jalan.

BENTUK WAYANG

Togog bermata keran (juling), hidung pesek, mulut mrongos (jongang), tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk. Bergelang. Kain slobog, (nama batik), berkeris dan berwedung. Togog bersuara besar, cara menyuarakannya dengan suara dalam leher dibesarkan.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

Artikel diambil dari http://wayangku.wordpress.com/2008/07/19/togog/

ULASAN LAIN TENTANG BAGONG

23.30 Edit This 0 Comments »




Semar, Gareng, Petruk dan Bagong Para punakawan0, diambil dari http://wayangpustaka.files.wordpress.com/2009/11/semar-gareng-petruk-bagong.jpg

Gambar Bagong dalam bentuk lain, diambil dari http://www.chicagogamelan.org/wayang/Images/Bagong.jpg


BAGONG

BAGONG ....................adalah anak angkat ketiga Semar. Dia adik Gareng dan Petruk. Diceritakan ketika itu Gareng dan Petruk minta dicarikan teman, sanghyang Tunggal bersabda :"Ketahuilah bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri." Seketika itu bayangan berubah menjadi manusia dan selanjutnya diberi nama Bagong.

Bagong berbadan pendek, gemuk seperti semar tetapi mata dan mulut lebar. Ia memiliki watak banyak bercanda, pintar membuat lelucon, bahkan terkadang saking lucunya menjadi menjengkelkan. Beradat lancang, tetapi jujur, dan juga sakti. Kalau menjalankan tugas terkadang tergesa-gesa kurang perhitungan. Bagong bersuara besar dan kedengaran agak kendor di leher.

Ada yang mengatakan kalau Bagong berasal dari kata Baghoo (bahasa Arab) yang artinya senang membangkang/ menentang, tidak mudah menurut atau percaya pada nasihat orang lain. Ini juga menjadi nasihat pada tuannya bahwa manusia didunia ini mempunyai watak yang bermacam-macam dan perlu diperhatikan dan diwaspadai dari watak dan karakter masing - masing watak tersebut.

Inti pendidikan dan budi pekerti :

Hidup ini perlu hiburan

Setiap tindakan jangan tergesa-gesa dalam pelaksanaannya, harus diperhitungkan terlebih dahulu, minimal dampak negatif dan positif yang akan timbul akibat dari perbuatan kita tersebut.

Pelajari berbagai macam watak/ karakter manusia agar kita bisa hidup bermasyarakat dengan baik.

Kejujuran modal utama dalam bermasyarakat, tanpa itu kita akan dijauhi oleh orang lain.

Artikel ini diambil dari http://id.shvoong.com/humanities/1894249-wayang-bagong-dan-makna-filosofisnya/

BAGONG

23.00 Edit This 0 Comments »

Bagong

Ki Lurah Bagong adalah nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan sebagai anak bungsu Semar. Dalampewayangan Sunda juga terdapat tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak tertua Semar.

Ciri fisik

Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble.

Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.

Asal-usul

Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa bernama Semar Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya, yaitu Togog atau Togog Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka, yaitu Batara Guru.

Togog dan Semar sama-sama mengajukan permohonan kepada ayah mereka, yaitu Sanghyang Tunggal, supaya masing-masing diberi teman. Sanghyang Tunggal ganti mengajukan pertanyaan berbunyi, siapa kawan sejati manusia. Togog menjawab "hasrat", sedangkan Semar menjawab "bayangan". Dari jawaban tersebut, Sanghyang Tunggal pun mencipta hasrat Togog menjadi manusia kerdil bernama Bilung, sedangkan bayangan Semar dicipta menjadi manusia bertubuh bulat, bernama Bagong.

Versi lain menyebutkan, Semar adalah cucu Batara Ismaya. Semar mengabdi kepada seorang pertapa bernama Resi Manumanasa yang kelak menjadi leluhur para Pandawa. Ketika Manumanasa hendak mencapai moksha, Semar

Bagong pada zaman Kolonial

Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelarAmangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram. Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihakVOC-Belanda.

Keluarga besar Kesultanan Mataram saat itu pun terpecah belah. Ada yang mendukung pemerintahan Amangkurat I yang pro-Belanda, ada pula yang menentangnya. Dalam hal kesenian pun terjadi perpecahan. Seni wayang kulit terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan Nyai Anjang Mas yang anti-Amangkurat I, dan golongan Kyai Panjang Mas yang sebaliknya.

Rupanya pihak Belanda tidak menyukai tokoh Bagong yang sering dipergunakan para dalang untuk mengritik penjajahan VOC. Atas dasar ini, golongan Kyai Panjang Mas pun menghilangkan tokoh Bagong, sedangkan Nyai Panjang Mas tetap mempertahankannya.

Pada zaman selanjutnya, Kesultanan Mataram mengalami keruntuhan dan berganti nama menjadi Kasunanan Kartasura. Sejak tahun 1745 Kartasura kemudian dipindahkan ke Surakarta. Selanjutnya terjadi perpecahan yang berakhir dengan diakuinya Sultan Hamengkubuwana I yang bertakhta di Yogyakarta.

Dalam hal pewayangan, pihak Surakarta mempertahankan aliran Kyai Panjang Mas yang hanya memiliki tiga orang panakawan (Semar, Gareng, dan Petruk), sedangkan pihak Yogyakarta menggunakan aliran Nyai Panjang Mas yang tetap mengakui keberadaan Bagong.

Akhirnya, pada zaman kemerdekaan Bagong bukan lagi milik Yogyakarta saja. Para dalang aliran Surakarta pun kembali menampilkan empat orang panakawan dalam setiap pementasan mereka. Bahkan, peran Bagong cenderung lebih banyak daripada Gareng yang biasanya hanya muncul dalam gara-gara saja.

Bagong versi Jawa Timur

Dalam pewayangan gaya Jawa Timuran, yang berkembang di daerah Surabaya, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang dan sekitarnya, tokoh Semar hanya memiliki satu orang anak saja, yaitu Bagong seorang. Bagong sendiri memiliki anak bernama Besut.

Tentu saja Bagong gaya Jawa Timuran memiliki peran yang sangat penting sebagai panakawan utama dalam setiap pementasan wayang. Ucapannya yang penuh humor khas timur membuatnya sebagai tokoh wayang yang paling ditunggu kemunculannya.

Dalam versi ini, Bagong memiliki nama sebutan lain, yaitu Jamblahita.

Artikel ini diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bagong

PETRUK

06.53 Edit This 0 Comments »

Petruk

Petruk adalah tokoh punakawan dalam pewayangan Jawa, di pihak keturunan/trah Witaradya. Petruk tidak disebutkan dalam kitab Mahabarata. Jadi jelas bahwa kehadirannya dalam dunia pewayangan merupakan gubahan asli Jawa. Di Ranah Pasundan, Petruk lebih dikenal dengan nama Dawala atau Udel.

Kisah

Masa lalu

Menurut pedalangan, ia adalah anak pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi. Ia seorang yang pilih tanding/sakti di tempat kediamannya dan daerah sekitarnya. Oleh karena itu ia ingin berkelana guna menguji kekuatan dan kesaktiannya.

Di tengah jalan ia bertemu dengan Bambang Sukodadi dari pertapaan Bluluktiba yang pergi dari padepokannya di atas bukit, untuk mencoba kekebalannya. Karena mempunyai maksud yang sama, maka terjadilah perang tanding. Mereka berkelahi sangat lama, berhantam, bergumul, tarik-menarik, tendang-menendang, injak-menginjak, hingga tubuhnya menjadi cacat dan berubah sama sekali dari wujud aslinya yang tampan. Perkelahian ini kemudian dipisahkan oleh Smarasanta (Semar) dan Bagong yang mengiringi Batara Ismaya. Mereka diberi fatwa dan nasihat sehingga akhirnya keduanya menyerahkan diri dan berguru kepada Smara/Semar dan mengabdi kepada Sanghyang Ismaya. Demikianlah peristiwa tersebut diceritakan dalam lakon Batara Ismaya Krama.

Karena perubahan wujud tersebut masing-masing kemudian berganti nama. Bambang Pecruk Panyukilan menjadi Petruk, sedangkan Bambang Sukodadi menjadi Gareng.

Istri dan keturunan

Petruk mempuyai istri bernama Dewi Ambarawati, putri Prabu Ambarasraya, raja Negara Pandansurat yang didapatnya melalui perang tanding. Para pelamarnya antara lain: Kalagumarang dan Prabu Kalawahana raja raksasa di Guwaseluman. Petruk harus menghadapi mereka dengan perang tanding dan akhirnya ia dapat mengalahkan mereka dan keluar sebagai pemenang. Dewi Ambarawati kemudian diboyong ke Girisarangan dan Resi Pariknan yang memangku perkawinannya. Dalam perkawinan ini mereka mempunyai anak lelaki dan diberi nama Lengkungkusuma.

Petruk dalam lakon pewayangan

Oleh karena Petruk merupakan tokoh pelawak/dagelan (Jawa), kemudian oleh seorang dalang digubah suatu lakon khusus yang penuh dengan lelucon-lelucon dan kemudian diikuti dalang-dalang lainnya, sehingga terdapat banyak sekali lakon-lakon yang menceritakan kisah-kisah Petruk yang menggelikan, contohnya lakon Petruk Ilang Pethele menceritakan pada waktu Petruk kehilangan kapak/pethel-nya.

Dalam kisah Ambangan Candi Spataharga/Saptaraga, Dewi Mustakaweni, putri dari negara Imantaka, berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai kerabat Pandawa (Gatotkaca), sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka tersebut. Kalimasada kemudan menjadi bahan perebutan antara kedua negara itu. Di dalam kekeruhan dan kekacauan yang timbul tersebut, Petruk mengambil kesempatan menyembunyikan Kalimasada, sehingga karena kekuatan dan pengaruhnya yang ampuh, Petruk dapat menjadi raja menduduki singgasana kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh (Wel Edel Bey). Lakon ini terkenal dengan judul Petruk Dadi Ratu. Prabu Welgeduwelbeh/Petruk dengan kesaktiannya dapat membuka rahasia Prabu Pandupragola, raja negara Tracanggribig, yang tiada lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Nala Gareng. Dan sebaliknya Bagong-lah yang menurunkan Prabu Welgeduwelbeh dari tahta kerajaan Lojitengara dan badar/terbongkar rahasianya menjadi Petruk kembali. Kalimasada kemudian kembali kepada Pandawa.

Hubungan dengan punakawan lainnya

Petruk dan panakawan yang lain (Semar, Gareng dan Bagong) selalu hidup di dalam suasana kerukunan sebagai satu keluarga. Bila tidak ada kepentingan yang istimewa, mereka tidak pernah berpisah satu sama lain. Mengenai panakawan, panakawan berarti ”kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah, apabila terdiri dari dua orang, yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang-orang yang bukan sekeluarga. Sebagai saksi seseorang harus dekat dan mengetahui sesuatu yang harus disaksikannya. Di dalam pedalangan, saksi atau panakawan itu memang hanya terdiri dari dua orang, yaitu Semar dan Bagong bagi trah Witaradya.

Sebelum Sanghyang Ismaya menjelma dalam diri cucunya yang bernama Smarasanta (Semar), kecuali Semar dengan Bagong yang tercipta dari bayangannya, mereka kemudian mendapatkan Gareng/Bambang Sukodadi dan Petruk/Bambang Panyukilan. Setelah Batara Ismaya menjelma kepada Janggan Smarasanta (menjadi Semar), maka Gareng dan Petruk tetap menggabungkan diri kepada Semar dan Bagong. Disinilah saat mulai adanya panakawan yang terdiri dari empat orang dan kemudian mendapat sebutan dengan nana ”parepat/prepat”.

Wanda wayang Petruk

Wanda wayang Petruk terdiri dari :

Petruk wanda Jlegong (dibuat pada tahun 1563).

Petruk wanda Jamblang (dibuat pada tahun 1655).

Petruk wanda Mesem ( dibuat pada tahun 1710).

Petruk wanda Manglung.

Petruk wanda Gandrung

Petruk wanda Bujang

Petruk wanda Gugup

Dalam pedalangan Ngayogyakarta :

Jlegong

Bujang

Sambel Goreng

Klantung

Belis

Kancil

Ciri Petruk wanda Jamblang adalah sebagai berikut :

Adegipun Ndegeg (Dalam sikap berdiri dadanya maju ke depan )

Bahu Padeg

Jangga ageng (Janggutnya besar)

Praupan ndangan (Wajah menengadah )

Praeyan wiyar (Muka lebar)

Badan ketingal kendho (Badan terlihat bongsor dan longgar)

Ciri Petruk wanda Jlegong :

Adegipun Agrong (Perawakannya besar/bongsor)

Bahu ngajeng andhap (Bahu depan rendah)

Djangga celak dan ageng (Dagu pendek dan besar)

Praeyan wiyar (Muka Lebar)

Jaja ageng agrong

Badan ketingal kera

Awak-awakan limrahipun cemeng (Badan warna hitam)


Artikel diambil dari id.wikipedia.org/wiki/Petruk.

NALA GARENG

05.04 Edit This 0 Comments »
Gareng dengan dominasi warna kulit hitam

Berbagai bentuk Nala Gareng

Gareng

Nama lengkap dari Gareng sebenarnya adalah Nala Gareng, hanya saja masyarakat sekarang lebih akrab dengan sebutan “Gareng”.

Riwayat

Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul.

Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk.

Dulunya, Gareng berujud ksatria tampan bernama Bambang Sukodadi dari pedepokan Bluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satriya yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satriya lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para ksatria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentukJangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua ksatria yang baru saja berkelahi itu.

Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua ksatria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Dempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua kesatria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.

Artikel diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Gareng