KYAI SEMAR

19.28 Edit This 0 Comments »

Semar

Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.

Sejarah Semar

Menurut sejarawan Prof. Dr. Slamet Muljana, tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.

Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Asal-Usul dan Kelahiran

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.

Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.

Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.

Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.

Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.

Silsilah dan Keluarga

Dalam pewayangan dikisahkan, Batara Ismaya sewaktu masih di kahyangan sempat dijodohkan dengan sepupunya yang bernama Dewi Senggani. Dari perkawinan itu lahir sepuluh orang anak, yaitu:

· Batara Wungkuham

· Batara Surya

· Batara Candra

· Batara Tamburu

· Batara Siwah

· Batara Kuwera

· Batara Yamadipati

· Batara Kamajaya

· Batara Mahyanti

· Batari Darmanastiti

Semar sebagai penjelmaan Ismaya mengabdi untuk pertama kali kepada Resi Manumanasa, leluhur para Pandawa. Pada suatu hari Semar diserang dua ekor harimau berwarna merah dan putih. Manumanasa memanah keduanya sehingga berubah ke wujud asli, yaitu sepasang bidadari bernama Kanistri dan Kaniraras. Berkat pertolongan Manumanasa, kedua bidadari tersebut telah terbebas dari kutukan yang mereka jalani. Kanistri kemudian menjadi istri Semar, dan biasa dipanggil dengan sebutan Kanastren. Sementara itu, Kaniraras menjadi istri Manumanasa, dan namanya diganti menjadi Retnawati, karena kakak perempuan Manumanasa juga bernama Kaniraras.

Pasangan Panakawan

Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.

Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.

Bentuk Fisik

Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya.

Semar selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penggambaran ini sebagai simbol suka dan duka. Wajahnya tua tapi potongan rambutnya bergaya kuncung seperti anak kecil, sebagai simbol tua dan muda. Ia berkelamin laki-laki, tapi memiliki payudara seperti perempuan, sebagai simbol pria dan wanita. Ia penjelmaan dewa tetapi hidup sebagai rakyat jelata, sebagai simbol atasan dan bawahan.

Keistimewaan Semar

Semar merupakan tokoh pewayangan ciptaan pujangga lokal. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya sejajar dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Jika dalam perang Baratayuda menurut versi aslinya, penasihat pihak Pandawa hanya Kresna seorang, maka dalam pewayangan, jumlahnya ditambah menjadi dua, dan yang satunya adalah Semar.

Semar dalam karya sastra hanya ditampilkan sebagai pengasuh keturunan Resi Manumanasa, terutama para Pandawa yang merupakan tokoh utama kisah Mahabharata. Namun dalam pementasan wayang yang bertemakan Ramayana, para dalang juga biasa menampilkan Semar sebagai pengasuh keluarga Sri Rama ataupun Sugriwa. Seolah-olah Semar selalu muncul dalam setiap pementasan wayang, tidak peduli apapun judul yang sedang dikisahkan.

Dalam pewayangan, Semar bertindak sebagai pengasuh golongan kesatria, sedangkan Togog sebagai pengasuh kaum raksasa. Dapat dipastikan anak asuh Semar selalu dapat mengalahkan anak asuh Togog. Hal ini sesungguhnya merupakan simbol belaka. Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah - yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar - mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka negara yang dipimpinnya pasti menjadi nagara yang unggul dan sentosa.

Artikel dan gambar diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Semar

BATARA KALA

11.52 Edit This 0 Comments »
Gambar Batara Kala diambil dari http://i261.photobucket.com/albums/ii44/antadhanar/BataraKala.jpg
Batara Kala
Dalam ajaran agama Hindu, Kala (Devanagari: कल) adalah putera Dewa Siwa yang bergelar sebagai dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma. Apabila sudah waktunya seseorang meninggalkan dunia fana, maka pada saat itu pula Kala akan datang menjemputnya. Jika ada yang bersikeras ingin hidup lama dengan kemauan sendiri, maka ia akan dibinasakan oleh Kala. Maka dari itu, wajah Kala sangat menakutkan, bersifat memaksa semua orang agar tunduk pada batas usianya.
Kelahiran Batara Kala
Menurut lontar Kala Tattwa
Dalam kitab Kala Tattwa diceritakan, pada waktu Dewa Siwa sedang jalan-jalan dengan Dewi Uma di tepi laut, "air mani" Dewa Siwa menetes ke laut ketika melihat betis Dewi Uma karena angin berhembus menyingkap kain Sang Dewi. Dewa Siwa ingin mengajak Dewi Uma untuk berhubungan badan, namun Sang Dewi menolaknya karena prilaku Dewa Siwa yang tidak pantas dengan prilaku Dewa-Dewi di kahyangan. Akhirnya mereka berdua kembali ke kahyangan. Air mani Dewa Siwa menetes ke laut kemudian ditemukan oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Benih tersebut kemudian diberi japa mantra. Dari benih seorang Dewa tersebut, lahirlah seorang rakshasa yang menggeram-geram menanyakan siapa orangtuanya. Atas petunjuk dari Dewa Brahma dan Dewa Wisnu, raksasa itu mengetahui bahwa Dewa Siwa dan Dewi Uma adalah orangtuanya.
Sebelum Dewa Siwa mengakui raksasa tersebut sebagai putranya, terlebih dahulu ia harus memotong taringnya yang panjang agar dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Akhirnya syarat tersebut dipenuhi. Sang raksasa dapat melihat wujud orangtuanya seutuhnya. Sang raksasa diberkati oleh Dewa Siwa dan diberi gelar Bhatara Kala. untuk menghormati hari kelahirannya, Dewa Siwa memberi anugerah bahwa Bhatara Kala boleh memakan orang yang lahir pada hari "tumpek wayang" dan memakan orang yang jalan-jalan di tengah hari pada hari “tumpek wayang”. Kebetulan adiknya, Dewa Kumara, juga lahir pada hari “tumpek wayang”. Sesuai anugerah Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakannya. Namun atas permohonan Dewa Siwa, Bhatara Kala boleh memakan adiknya kalau adiknya sudah besar.
Kesempatan itu digunakan oleh Dewa Siwa. Ia menganugerahi Dewa Kumara agar selamanya menjadi anak-anak. Akal-akalan itu diketahui Bhatara Kala. Akhirnya ia tidak sabar lagi. Dewa Kumara dikejarnya. Dalam pengejarannya, ia bertemu Dewa Siwa dan Dewi Uma. Mereka pun ingin dimakan oleh Bhatara kala sesuai janjinya Dewa Siwa. Namun, mereka memberinya teka-teki terlebih dahulu yang harus dipecahkan Bhatara Kala jika ingin memakan mereka. Batas waktu menjawabnya hanya sampai matahari condong ke barat. Akhirnya Bhatara Kala tidak bisa menjawab teka-teki dan matahari sudah condong ke barat, maka habislah kesempatannya untuk memakan Dewa Siwa dan Dewi Uma. Karena tidak bisa memakan mereka, Bhatara Kala melanjutkan pengejarannya mencari Dewa Kumara.
Setelah lama mengejar, akhirnya ia kelelahan dan menemukan sesajen yang dihaturkan Sang Amangku dalang yang sedang main wayang. Karena haus dan lapar, sesajen itu dilahapnya habis. Akhirnya terjadilah dialog antara Sang Amangku Dalang dengan Bhatara Kala, yang meminta agar segala sesajen yang dimakan dimuntahkan kembali. Bhatara Kala tidak bisa memenuhi permohonan tersebut. Sebagai gantinya, ia berjanji tidak akan memakan orang yang lahir pada hari tumpek wayang, jika sudah menghaturkan sesajen menggelar wayang "sapu leger".
Menurut pewayangan Jawa
Ketika Batara Guru dan istrinya, Dewi Uma terbang menjelajah dunia dengan mengendarai Lembu Andini, dalam perjalanannya karena terlena maka Batara Guru bersenggama dengan istrinya di atas kendaraan suci Lembu Andini, sehingga Dewi Uma hamil. Ketika pulang dan sampai di kahyangan Batara Guru kaget dan tersadar atas tindakannya melanggar larangan itu. Seketika itu Batara Guru marah pada dirinya dan Dewi Uma, dia menyumpah-nyumpah bahwa tindakan yang dilakukannya seperti perbuatan "Buto" (bangsa rakshasa). Karena semua perkataannya mandi (bahasa indonesia: cepat menjadi kenyataan) maka seketika itu juga Dewi Uma yang sedang mengandung menjadi raksasa. Batara Guru kemudian mengusirnya dari kahyangan Jonggringsalaka dan menempati kawasan kahyangan baru yang disebut Gondomayit. Hingga pada akhirnya Dewi Uma yang berubah raksasa itu terkenal dengan sebutan Batari Durga. Setelah itu ia melahirkan anaknya, yang ternyata juga berwujud raksasa dan diberi nama Kala. Namun pada perkembangan selanjutnya Batara Kala justru menjadi suami Batari Durga, karena memang di dunia raksasa tidak mengenal norma-norma perkawinan. Batara Kala dan Batari Durga selalu membuat onar marcapada (bumi) karena ingin membalas dendam pada para dewa pimpinan Batara Guru.
Karena Hyang Guru kwatir kalau kayangan rusak maka Batara Guru mengakui kalau Kala adalah anaknya. Maka diberi nama Batara Kala dan Batara Kala minta makanan, maka Batara Guru memberi makanan tetapi ditentukan yaitu :
Orang yang mempunyai anak satu yang disebut ontang-anting
Pandawa lima anak lima laki-laki semua atau anak lima putri semua.
Kedono kedini, anak dua laki-laki perempuan jadi makanan Betara Kala.
Untuk menghindari jadi mangsa Batara Kala harus diadakan upacara ruwatan. Maka untuk lakon-lakon seperti itu di dalam pedalangan disebut lakon Murwakala atau lakon ruwatan. Di dalam lakon pedalangan Batara Kala selalu memakan para pandawa karena dianggapnya Pandawa adalah orang ontang anting. Tetapi karena Pandawa selalu didekati titisan Wisnu yaitu Batara Kresna. Maka Batara Kala selalu tidak berhasil memakan Pandawa.

Referensi
Sukartha, I Ketut. 2003. Agama Hindu. Penerbit: Ganeca Exact
Gambar, I Made. Darmopadesa (pokok-pokok ajaran Hindu).

Dewa-Dewi Hindu
Kelompok Utama
Aditya · Aswin · Lokapala · Marut · Nawa Dewata · Prajapati · Rudra · Sakti · Trimurti · Wasu

Dewa Hindu
Agni · Antariksa · Baruna · Bayu · Baga · Brahma · Brihaspati (Wrehaspati) · Budha · Camunda · Candra · Daksa · Dyaus Pita · Ganesa · Indra · Kartikeya (Skanda) · Kresna · Kubera · Sawitri · Sani · Siwa · Surya · Wisnu · Yama

Dewi Hindu
Daksayani · Durga · Gangga · Gayatri · Kali · Laksmi · Mahadewi · Mahawidya · Mariamman · Parwati · Pertiwi · Radha · Saci · Saraswati · Uma · Yamuna

Awatara Wisnu
Matsya · Kurma · Waraha · Narasinga · Wamana · Parasurama · Rama · Kresna · Baladewa (Balarama) · Buddha · Kalki
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Batara_Kala"

RADEN SETA

11.29 Edit This 0 Comments »

RADEN SETA
Raden Seta putra sulung Prabu Matswapati di Wirata. Seta berarti putih, memang Raden Seta berkulit putih.Seta seorang yang berani dan sakti. Pada waktu negerinya Pancalaretna mengadakan perlombaan adu kesaktian melawan Bambang Malangdewa, Raden Seta turut masuk ke gelanggang dan ia mengalahkan Malangdewa. Karena itu ia mendapat hadiah seorang putri raja bernama Dewi Kanekawati.Dalam perang Baratayudha, Seta diangkat sebagai panglima perang Pandawa. Mana musuh yang dekat padanya habis dibinasakan dan Raden Rukmarata, putra Prabu Salya mati dibunuhnya. Kemudian Seta mati dalam perang itu oleh Bisma. Kemarahan Raden Seta yang sangat ialah pada waktu perang Baratayudha setelah kematian kedua saudaranya itu ia maju ke gelanggang dengan kemarahan hingga dikarang dalam serat Baratayudha itu digambarkan dalam kata: Dyan Seta umangsah, krodanira dening patine ri kalih. Raden Seta menempuh dengan sangat marahnya, karena kematian dua saudaranya. Kata ini diucapkan oleh dalang pada waktu kemarahan kesatria akan maju berperang dengan lagu yang bersemangat.
BENTUK WAYANG
Raden Seta bermata kedondongan, hidung dan mulut serba lengkap, berkumis dan berjanggut, rambut kadal-menek, (bentuk seperti bengkarung memanjat), bersunting waderan, berkalung bulan sabit, bergelang dua susun, gelang yang bentuk empat-segi disebut gelang kana, berpontoh dan berkeroncong. Memakai kain kerajaan.
Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.
Gambar dan artikel diambil dari :wayangku.wordpress.com/2008/11/06/raden-seta/ -

BATARA KAMAJAYA DAN DEWI RATIH

13.07 Edit This 0 Comments »
Berbagai motif wayang purwa: Kamajaya.

Wayang kulit; Kamajaya.

Batara Kamajaya, gambar diambil dari http://www.bharatayudha.multiply.com

Batara Kamajaya adalah Dewa Cinta dan istrinya bernama Dewi Kamaratih. Batara Kamajaya sendiri putra dari Semar dan Dewi Sanggani Putri. Batara Kamajaya dan istri dalam masyarakat Jawa di simbolkan sebagai lambang kerukunan suami istri.

Pada acara mitoni atau tujuh bulan (kandungan istri berusia 7 bulan), kelapa muda yg hendak dipecahkan ayah calon bayi sering dilukiskan atau dituliskan nama Kamajaya. Sebagai wujud dari buah cinta.

Batara Kamajaya adalah salah satu di antara banyak dewa dalam agama Hindu maupun dalam ceritera wayang purwa. Ia terkenal tampan (cakap), berbudi luhur, jujur, berhati lembut dan kasih sayang kepada isteri. Isterinya bernama Dewi Ratih tidak kalah terkenal karena cantiknya dan seluruh laku, watak dan budinya sama dengan suaminya. Pasangan suami isteri dewa itu amat rukun dan masing-masing selalu menjaga kesetiaannya lahir batin dan sehidup semati.

Dalam kehidupan khususnya masyarakat Jawa, kerukunan pasangan Batara Kamajaya dan Dewi Ratih merupakan idola. Setiap upacara pengantin Jawa, selalu diharapkan agar pasangan itu hidup rukun, damai dan saling setia seperti pasangan Kamajaya dan Dewi Ratih. Apabila di kemudian hari pengantin itu dikaruniai putera agar berwajah tampan seperti Batara Kamajaya dan apabila puteri agar berwajah cantik seperti Dewi Ratih, sama halnya seperti orang Islam mengharapkan berputera tampan seperti Nabi Yusuf dan berputeri cantik seperti Zulaiha.

Salah satu karya sastra lama yang menceriterakan kisah cinta Batara Kamajaya dan Dewi Ratih ialah buku Smaradahana. Penulis buku Smaradahana adalah Empu Dharmaja yang hidup pada jaman kerajaan Kediri. Dalam buku itu dikisahkan terbakarnya Batara Kamajaya (smara = asmara; dahana = api). Penyebab terbakarnya Batara Kamajaya adalah Dewa Siwa (Batara Guru).

Ada pendapat, bahwa isi buku Smaradahana merupakan gambar kisah cinta putera Kerajaan Daha (sebelum bernama Kediri) dengan puteri Kerajaan jenggala. Putera Kerajaan Daha bernama Hinu Kertapati dan puteri Kerajaan Jenggala bernama Candra Kairana. Masyarakat Kerajaan Daha pada waktu itu percaya bahwa Hinu Kertapati adalah penjelmaan (titisan) Bhatara Kamajaya, sedang Candra Kairana penjelmaan Dewi Ratih. Maka nama buku Smaradahana merupakan sindiran “Kisah cinta di Kerajaan Daha”.

Banyak ahli sastra Belanda yang melakukan penelitian buku Smaradahana itu dan dimuat pada Bibliothica Javanica dalam bahasa Belanda disimpan di Perpustakaan Nasional. Buku Smaradahana yang asli ditulis dengan tulisan dan bahasa Jawa Kuno dalam bentuk tembang (puisi). Prof. Dr. R.M.Ng. Porbatjaraka telah melakukan ulasan cukup baik yang dimuat dalam bukunya Kapustakaan Djawi, dengan tulisan latin bahasa Jawa halus diterbitkan oleh Penerbit Djambatan, untuk cetakan pertama tahun 1952. Ringkasan isi buku Smaradahana sebagai berikut:

Pada suatu musyawarah para Dewa diketahui, bahwa Suralaya (Kahyangan) akan diserbu oleh bala tentara raksasa. Serangan itu akan dipimpin oleh Raja Nilarudraka. Semua dewa merasa tidak mampu menghadapi kesaktian Raja Nilarudraka. Seluruh dewa merasa panik bagaimana cara mengatasi bahaya itu. Kebetulan pada waktu itu Dewa Siwa atau Batara Guru (Raja pra Dewa) baru bertapa. Kemudian para dewa mengadakan musyawarah. Keputusan musyawarah menunjuk Batara Kamajaya untuk membangunkan Batara Guru dari tapanya. Berangkatlah Batara Kamajaya ke pertapaan Batara Guru.

Sesampai di pertapaan, Batara Kamajaya tidak berani mendekat. Batara Guru yang sedang bersamadi. Dicarilah akal untuk membangungkan Batara Guru dari tapa. Kemudian Batara Kamajaya melepaskan panah bunga berkali-kali tetapi tidak membawa hasil. Panah bunga yaitu kekuatan tenaga dalam (batin) dari seseorang ditujukan kepada orang lain agar tercium harumnya suatu bunga. Batara Kamajaya tidak putus asa. Kemudian dilepaskan panah “panca wisaya” ditujukan kepada Batara Guru (panca = lima; wisaya = rindu). “Panca Wisaya” itu berupa rindu pada suara merdu, rindu pada rasa enak, rindu pada belaian kasih sayang dan rindu pada bau yang harum. Seketika itu Batara Guru timbul rasa rindu kepada dewi uma permaisurinya. Setelah bangun dari tapanya, ternyata yang ditatap didepannya adalah Batara Kamajaya. Timbul marahnya yang tak terhingga. Batara Kamajaya dipandang memakai mata ketiga yang berada di dahinya. Pandangan itu memancarkan api yang menyala-nyala. Maka terbakarlah Batara Kamajaya dan mati seketika itu. Kemudian Batara Guru kembali ke Kahyangan.

Dewi Ratih sangat berduka cita mendengar berita suaminya mati terbakar. Ia bermaksud “mati obong” (membakar diri) bersama suaminya sebagai rasa cinta kasih. Kemudian Dewi Ratih menyusul ke tempat suaminya mati terbakar. Sesampainya Dewi Ratih di tempat suaminya terbakar, maka atas kehendak Batara Guru api menyala kembali lebih besar. Lambaian nyapa api itu tampak bagaikan lambaian tangan Batara Kamajaya memanggil Dewi Ratih agar mendekatnya. Maka Dewi Ratih tanpa ragu sedikitpun lalu terjun ke dalam nyala api. Demikianlah Dewi Ratih telah menyatu dengan suaminya.

Mengetahui kejadian itu seluruh dewa berduka cita. Mereka sadar bahwa kematian Batara Kamajaya karena keputusan sidang para dewa untuk mengatasi bahaya yang mengancam Kahyangan. Oleh karena itu para Dewa berusaha memohonkan ampun atas kesalahan yang diperbuat oleh Batara Kamajaya. Selain itu para dewa memohon agar Batara Guru berkenan menghidupkan lagi Batara Kamajaya dan Dewi Ratih. Akan tetapi Batara Guru tidak dapat mengabulkan permohonan itu, karena mempunyai pandangan yang lebih jauh. Batara Guru menghendaki keturuanan atau kelestarian kehidupan manusia di arcapada (dunia). Maka Batara Kamajaya diperintahkan agar tinggal pada setiap hati atau rasa orang laki-laki dan Dewi Ratih tinggal pada setiap hati atau rasa orang perempuan. Dengan demikian antara orang laki-laki dan perempuan selalu timbul rasa cinta kasih, sehingga kelangsungan hidup di dunia dapat dipertahankan.

Sekembalinya Batara Guru di Kahyangan di jemput oleh Dewi uma permaisurinya. Pasangan Dewa itu saling melepaskan rindu karena cukup lama tak jumpa. Tak berapa lama berselang dengan kembalinya Batara Guru ke Kahyangan, lalu Dewi Uma hamil.

Pada saat Dewi Uma hamil muda, para Dewa datang menghadap untuk menghormati kembalinya Batara Guru dari bertapa. Kedatangan para dewa membawa hewan tungganggan masing-masing. Saah satu dewa itu adalah Batara Indra menunggang gajah yang terkenal besarnya. Pada waktu itu Batara Guru baru duduk di dampingi Dewi Uma, permaisurinya. Melihat kedatangan Batara Indra menunggang gajah yang besar itu, Dewi Uma sangat terkejut, takut dan menjerit-jerit. Batara Guru menghibur dan meredakan rasa takutnya permaisuri.

Dalam hati Batara Guru telah mengetahui apa yang akan terjadi akibat dari perasaan takut permaisuri yang sedang hamil muda itu. Maka ia berkata sudah menjadi kehendak Sang Hyang Tunggal, bahwa Dewi Uma akan melahirkan jabang bayi laki-laki berkepala gajah. Setelah sampai waktunya, benarlah Dewi Uma melahirkan bayi laki-laki berkepala gajah. Putera Dewi Uma itu diberi nama Batara Ganesa.

Tidak lama kemudian Kahyangan kedatangan bala tentara Raja Nilarudraka. Maksud kedatangan Raja Nilarudraka adalah ingin melamar bidadari Kahyangan untuk dijadikan permaisuri. Para dewa tidak dapat meluluskan lamaran itu. Sebab semua makhluk di arcapada telah diatur oleh Dewata untuk jodohnya masing-masing yaitu dewa dengan dewi (bidadari). Satria dengan puteri, pandita dengan endang, raksasa dengan raksasi dan seterusnya. Karena permintaan Raja Nilarudraka ditolak, maka terjadilah perang antara bala tentara dewa menghadapi bala tentara raksasa. Para dewa tidak mampu menghadapi serangan itu.

Batara Guru memutuskan agar Batara Ganesa yang masih kecil itu maju ke medan perang. Terjadilah perang yang semakin seru. Semua bala tentara raksasa dihadapinya dengan gigih. Anehnya setiap bala tentara raksasa dapat dibunuhnya, Batara Ganesa bertambah besar. Seluruh bala tentara raksasa dapat dibinasakan. Akhirnya Batara Ganesa perang tanding (satu lawan satu) dengan Raja Nilarudraka. Perang dahsyat adu kesaktian dan kekuatan itu sangat ramai. Dalam perang itu salah satu taring (gading) Batara Ganesa patah. Dalam perang tanding ini Raja Nilarudraka dapat dibinasakan dan dibunuh.

Karena Batara Ganesa hanya mempunyai satu taring (gading) maka diberi nama Eka Denta (eka = satu; denta = gading atau taring). Dalam agama Hindu, patung Ganesha digambarkan gemuk berperut gendut sebagai lambang dewa ilmu pengetahuan. Patung Gadesa dalam posisi duduk bersila, tangan kanan memegang patahan gading dan telapak tangan kiri telentang di atas paha kaki kiri memegang separuh batok kepala. Belalai menjulur menuju batok kepala di tangan kiri sebagai lambang tidak henti-hentinya menuntut ilmu.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1996. Khasanah Budaya Nusantara VII. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Artikel diambil dari
id.wikipedia.org/wiki/Batara_Kamajaya dan aligufron.multiply.com/journal/item/157

Berbagai Gambar Baladewa

21.13 Edit This 0 Comments »
Baladewa, Kresna, Kunthi dan Pandhawa, diambil dari http://3.bp.blogspot.com/_6vxFqgIkvc8/SmpVJtekxjI/AAAAAAAAALM/5F141q_uYc0/S226

BERBAGAI CERITA TENTANG BALADEWA

05.06 Edit This 0 Comments »
Prabu Baladewa dan kekasihnya dalam lukisan versi India, bergaya Rajasthan.

Lukisan yang menggambarkan Balarama pada tembok sebuah kuil di India Selatan.

Lukisan India modern, yang menggambarkan Baladewa berdiri di dekat sungai Yamuna.

Arca Krishna-Balarama dari Krishna-Balarama Mandir, Vrindavan, India.

Prabu Baladewa atau Balarama dalam bentuk wayang kulit versi Jawa.

Baladewa

Dalam mitologi Hindu, Baladewa (Sanskerta: बलदोव) atau Balarama (Sanskerta: बलराम; Balarāma), disebut juga Balabhadra dan Halayudha, adalah kakak dari Kresna, putera Basudewa dan Dewaki. Dalam filsafat Waisnawa dan beberapa tradisi pemujaan di India selatan, ia dipuja sebagai awatara keenam dari Maha Awatara dan termasuk salah satu dari 25 awatara dalam Purana. Menurut filsafat Waisnawa dan beberapa pandangan umat Hindu, ia merupakan manifestasi dari Sesa, ular suci yang menjadi ranjang Dewa Wisnu.

Kemunculan Baladewa

Baladewa sebenarnya merupakan Kakak kandung Kresna karena terlahir sebagai putera Wasudewa dan Dewaki. Namun karena takdirnya untuk tidak mati di tangan Kamsa, ia dilahirkan oleh Rohini atas peristiwa pemindahan janin.

Kamsa, Kakak dari Dewaki, takut akan ramalan yang mengatakan bahwa ia akan terbunuh di tangan putera kedelapan Dewaki. Maka dari itu ia menjebloskan Dewaki beserta suaminya ke penjara dan membunuh setiap putera yang dilahirkan oleh Dewaki. Secara berturut-turut, setiap puteranya yang baru lahir mati di tangan Kamsa. Pada saat Dewaki mengandung puteranya yang ketujuh, nasib anaknya yang akan dilahirkan tidak akan sama dengan nasib keenam anaknya terdahulu. Janin yang dikandungnya secara ajaib berpindah kepada Rohini yang sedang menginginkan seorang putera. Maka dari itu, Baladewa disebut pula Sankarsana yang berarti "pemindahan janin".

Akhirnya, Rohini menyambut Baladewa sebagai puteranya. Pada masa kecilnya, ia bernama Rama. Namun karena kekuatannya yang menakjubkan, ia disebut Balarama (Rama yang kuat) atau Baladewa. Baladewa menghabiskan masa kanak-kanaknya sebagai seorang pengembala sapi bersama Kresna dan teman-temannya. Ia menikah dengan Reawati, puteri Raiwata dari Anarta.

Baladewa mengajari Bima dan Duryodana menggunakan senjata Gada. Dalam perang di Kurukshetra, Baladewa bersikap netral. Seperti kerajaan Widarbha dan Raja Rukmi, ia tidak memihak Pandawa maupun Korawa. Namun, ketika Bima hendak membunuh Duryodana, ia mengancam akan membunuh Bima. Hal itu dapat dicegah oleh Kresna dengan menyadarkan kembali Baladewa bahwa Bima membunuh Duryodana adalah sebuah kewajiban untuk memenuhi sumpahnya. Selain itu, Kresna mengingatkan Baladewa akan segala prilaku buruk Duryodana.

Ciri-ciri fisik

Balarama seringkali digambarkan berkulit putih, khususnya jika dibandingkan dengan saudaranya, yaitu Kresna, yang dilukiskan berkulit biru gelap atau bercorak hitam. Senjatanya adalah bajak dan gada. Secara tradisional, Baladewa memakai pakaian biru dan kalung dari rangkaian bunga hutan. Rambutnya diikat pada jambul dan ia memakai giwang dan gelang. Baladewa digambarkan memiliki fisik yang sangat kuat, dan kenyataannya, bala dalam bahasa Sanskerta berarti "kuat". Baladewa merupakan teman kesayangan Kresna yang terkenal.

Baladewa dalam susastra Hindu

Bhagawatapurana

Pada suatu hari, Nanda Maharaja menyuruh Gargamuni, pendeta keluarga, untuk mengunjungi rumah mereka dalam rangka memberikan nama kepada Kresna dan Baladewa. Ketika Gargamuni tiba di rumahnya, Nanda Maharaja menyambutnya dengan ramah dan kemudian menyuruh agar upacara pemberian nama segera dilaksanakan. Gargamuni memperingatkan Nanda Maharaja bahwa Kamsa mencari putera Dewaki dan jika upacara dilaksanakan secara mewah maka akan menarik perhatian Kamsa, dan ia akan mencurigai Kresna sebagai putera Dewaki. Maka Nanda Maharaja menyuruh Gargamuni untuk melangsungkan upacara secara rahasia, dan Gargamuni memberi alasan mengenai pemberian nama Balarama sebagai berikut:

Karena Balarama, putera Rohini, mampu menambah pelbagai berkah, namanya Rama, dan karena kekuatannya yang luar biasa, ia dipanggil Baladewa. Ia mampu menarik Wangsa Yadu untuk mengikuti perintahnya, maka dari itu namanya Sankarshana.

(Bhagawatapurana, 10.8.12)

Mahabharata

Baladewa terkenal sebagai pengajar Duryodana dari Korawa dan Bima dari Pandawa seni bertarung menggunakan gada. Ketika perang meletus antara pihak Korawa dan Pandawa, Baladewa memiliki rasa sayang yang sama terhadap kedua pihak dan memutuskan untuk menjadi pihak netral. Dan akhirnya ketika Bima (yang lebih kuat) mengalahkan Duryodana (yang lebih pintar) dengan memberikan pukulan di bawah perutnya dengan gada, Baladewa mengancam akan membunuh Bima. Hal ini dicegah oleh Kresna yang mengingatkan Baladewa atas sumpah Bima untuk membunuh Duryodana dengan menghancurkan paha yang pernah ia singkapkan kepada Dropadi.

Akhir riwayat hidup

Dalam Bhagawatapurana dikisahkan setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran yang menyebabkan kehancuran Dinasti Yadu, dan setelah ia menyaksikan Kresna yang menghilang, ia duduk bermeditasi di bawah pohon dan meninggalkan dunia dengan mengeluarkan ular putih besar dari mulutnya, kemudian diangkut oleh ular tersebut, yaitu Sesa.

Tradisi dan pemujaan

Dalam tradisi Waisnawa dan beberapa sekte Hindu di India, Baladewa dipuja bersama Sri Kresna sebagai kepribadian dari Tuhan yang Maha Esa dan dalam pemujaan mereka sering disebut "Krishna-Balarama". Mereka memiliki hubungan yang dekat dan selalu terlihat bersama-sama. Jika diibaratkan, Kresna merupakan pencipta sedangkan Baladewa merupakan potensi kreativitasnya. Baladewa merupakan saudara Kresna, dan kadang-kadang dilukiskan sebagai adik, kadang-kadang dilukiskan sebagai kakaknya. Baladewa juga merupakan Laksmana pada kehidupan Wisnu sebelum menitis pada Kresna, dan pada zaman Kali, beliau menitis sebagai Nityananda, sahabat Sri Caitanya.

Dalam Bhagawatapurana diceritakan, setelah Baladewa ambil bagian dalam pertempuran antara wangsa Yadu dan Wresni, dan setelah ia menyaksikan Kresna mencapai moksa, ia duduk untuk bermeditasi agar mampu meninggalkan dunia fana lalu mengeluarkan ular putih dari dalam mulutnya. Setelah itu ia diangkut oleh Sesa dalam wujud ular.

Baladewa dalam Pewayangan Jawa

Prabu Baladewa atau Balarama dalam bentuk wayang kulit versi Jawa.

Dalam pewayangan Jawa, Baladewa adalah saudara Prabu Kresna. Prabu Baladewa yang waktu mudanya bernama Kakrasana, adalah putra Prabu Basudewa, raja negara Mandura dengan permaisuri Dewi Mahendra atau Maekah. Ia lahir kembar bersama adiknya, dan mempunyai adik lain ibu bernama Dewi Subadra atau Dewi Lara Ireng, puteri Prabu Basudewa dengan permaisuri Dewi Badrahini. Baladewa juga mempunyai saudara lain ibu bernama Arya Udawa, putra Prabu Basudewa dengan Ken Sagupi, seorang swarawati keraton Mandura.

Prabu Baladewa yang mudanya pernah menjadi pendeta di pertapaan Argasonya bergelar Wasi Jaladara, menikah dengan Dewi Erawati, puteri Prabu Salya dengan Dewi Setyawati atau Pujawati dari negara Mandaraka. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putera bernama Wisata dan Wimuka.

Baladewa berwatak keras hati, mudah naik darah tapi pemaaf dan arif bijaksana. Ia sangat mahir mempergunakan gada, sehingga Bima dan Duryodana berguru kepadanya. Baladewa mempunyai dua pusaka sakti, yaitu Nangggala dan Alugara, keduanya pemberian Brahma. Ia juga mempunyai kendaraan gajah bernama Kyai Puspadenta. Dalam banyak hal, Baladewa adalah lawan daripada Kresna. Kresna berwarna hitam sedangkan Baladewa berkulit putih.

Pada perang Bharatayuddha sebenarnya prabu Baladewa memihak para Korawa, tetapi berkat siasat Kresna, beliau tidak ikut namun sebaliknya bertapa di Grojogan Sewu (Grojogan = Air Terjun, Sewu = Seribu) dengan tujuan agar apabila terjadi perang Bharatayuddha, Baladewa tidak dapat mendengarnya karena tertutup suara gemuruh air terjun. Selain itu Kresna berjanji akan membangunkannya nanti Bharatayuddha terjadi, padahal keesokan hari setelah ia bertapa di Grojogan Sewu terjadilah perang Bharatayuddha. Jika Baladewa turut serta, pasti para Pandawa kalah, karena Baladewa sangatlah sakti.

Baladewa ada yang mengatakan sebgai titisan daripada naga sementara yang lainya meyakini sebagai titisan Sanghyang Basuki, Dewa keselamatan. Ia berumur sangat panjang. Setelah selesai perang Bharatayudha, Baladewa menjadi pamong dan penasehat Prabu Parikesit, raja negara Hastinapura setelah mangkatnya Prabu Kalimataya atau Prabu Puntadewa. Ia bergelar Resi Balarama. Ia mati moksa setelah punahnya seluruh Wangsa Wresni.

Artikel dan gambar diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Baladewa

PRABU BALADEWA

00.01 Edit This 0 Comments »

PRABU BALADEWA

Raden Kakrasana waktu jadi raja di Madura bergelar Prabu Baladewa. Ia naik tahta setelah menjadi menantu Prabu Salya, raja di Madraka. Ketika itulah ia mendapat gelar Prabu Baladewa, karena pada waktu kawin dihadiri oleh para dewa. Ia mendapat hadiah dari Betara Guru berupa senjata Algora dan diberi nama oleh dewa Kusumawalikita, Balarama, Basukiyana. Hyang Narada memberi nama Alayuda. Setelah menjadi raja ia memihak pada Kurawa dan memusuhi Pandawa, saudara misannya sendiri. Karena kesaktian Prabu Baladewa itu dipandang oleh Sri Kresna tidak akan tertandingi, maka menjelang perang Baratayudha, ia ditipu oleh Sri Kresna supaya bertapa di Grojogan Sewu.
Setelah Prabu Baladewa mendapat nasehat Sri Kresna, ia menuju tempat yang ditunjuk dan bertapa di Grojogan Sewu. Pada saat bertapa di air terjun, terlihat darah mengalir dan mengertilah ia bahwa perang Baratayudha telah terjadi. Setelah perang, Prabu Baladewa kembali Ke Hastinapura, dan mengetahui kekalahan Kurawa dan binasa di medan perang. Kemudian Prabu Baladewa mengikuti Pandawa mengasuh Prabu Parikesit hingga ajalnya.
Prabu Baladewa mempunyai senjata bernama Nanggala, kesaktiannya tak seorang pun yang mampu menahannnya sekalipun ia dewa.

BENTUK WAYANG

Prabu Baladewa bermata kedondongan, hidung dan muka serba lengkap, bermahkota jamang tiga susun dan garuda membelakang. Berpraba, bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Berkain katongan.
Prabu Baladewa berwanda; 1) Geger karangan Susuhunan Anyakrawati wafat Krapyak, 2) Kaget, 3) Sembada, 4) Paripeksa, 5) Rayung.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

Artikel dan gambar diambil dari http://wayangku.wordpress.com/2008/11/08/prabu-baladewa/

GAMBAR WAYANG PURWA: PRABU KRESNA

18.00 Edit This 0 Comments »
Gambar Prabu Kresna diambil dari
Kresna Duta, diambil dari http://wayangprabu.files.wordpress.com/2010/02/kresna-duta.jpg

Prabu Kresna, gambar diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kresna

CERITA LENGKAP TENTANG KRESNA

15.05 Edit This 0 Comments »
Awatara Wisnu
Dewanagari:कृष्ण
Ejaan Sanskerta:kṛṣṇa
Nama lain:Narayana; Madhawa;
Wasudewa; Gopala;
dan lain-lain
Golongan:Wangsa Yadawa,
Awatara Wisnu
Kediaman:Wrindawan dan
Kerajaan Dwaraka
Senjata:Chakram
Pasangan:Radha, Rukmini,
Satyabama, Jambawati,
dan 16.104 istri lainnya


Kresna dan Yasoda, ibu tirinya. Lukisan karya Raja Ravi Varma

Ilustrasi Kresna sebagai pengembala, sedang memainkan bansuri (seruling)

Lukisan yang menggambarkan Kresna sedang mengangkat Bukit Gowardhana. Salah satu koleksi dariInstitusi Smithsonian.

Kresna

Artikel dan gambar diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kresna

Kresna atau Krishna (Dewanagari: कृष्ण; dilafalkan kṛṣṇa menurut IAST; dilafalkan 'kɹ̩ʂ.nə dalam bahasa Sanskerta) adalah salah satu Dewa yang banyak dipuja oleh umat Hindu karena dianggap merupakan aspek dari Brahman.[1] Ia disebut pula Nārāyana, yaitu sebutan yang merujuk kepada perwujudan Dewa Wisnu yang berlengan empat di Waikuntha. Ia biasanya digambarkan sebagai sosok pengembala muda yang memainkan seruling (seperti misalnya dalam Bhagawatapurana) atau pangeran muda yang memberikan tuntunan filosofis (seperti dalam Bhagawadgita). Dalam Agama Hindu pada umumnya, Kresna dipuja sebagai awatara Wisnu yang kedelapan, dan dianggap sebagai Dewa yang paling hebat dalam perguruan Waisnawa. Dalam tradisi Gaudiya Waisnawa, Kresna dipuja sebagai sumber dari segala awatara (termasuk Wisnu).[2]

Menurut kitab Mahabharata, Kresna berasal dari Kerajaan Surasena, namun kemudian ia mendirikan kerajaan sendiri yang diberi nama Dwaraka. Dalam wiracarita Mahabharata, ia dikenal sebagai tokoh raja yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Dalam kitab Bhagawadgita, ia adalah perantara kepribadian Brahman yang menjabarkan ajaran kebenaran mutlak (dharma) kepada Arjuna. Ia mampu menampakkan secercah kemahakuasaan Tuhan yang hanya disaksikan oleh tiga orang pada waktu perang keluarga Bharata akan berlangsung. Ketiga orang tersebut adalah Arjuna, Sanjaya, dan Byasa. Namun Sanjaya dan Byasa tidak melihat secara langsung, melainkan melalui mata batin mereka yang menyaksikan perang Bharatayuddha.

Asal usul nama "Krishna"

Dalam bahasa Sanskerta, kata Krishna berarti "hitam" atau "gelap", dan kata ini umum digunakan untuk menunjukkan pada orang yang berkulit gelap. Dalam Brahma Samhita dijabarkan bahwa Krishna memiliki warna kulit gelap bersemu biru langit.[3] Dan umumnya divisualkan berkulit gelap atau biru pekat. Sebagai Contoh, di Kuil Jaganatha, di Puri, Orissa, India (nama Jaganatha, adalah nama yang ditujukan bagi Kresna sebagai penguasa jagat raya) di gambarkan memiliki kulit gelap berdampingan dengan saudaranya Baladewa dan Subadra yang berkulit cerah.

Nama lain

Kresna sebagai awatara sekaligus orang bijaksana memiliki banyak sekali nama panggilan sesuai dengan kepribadian atau keahliannya. Nama panggilan tersebut digunakan untuk memuji, mengungkapkan rasa hormat, dan menunjukkan rasa persahabatan atau kekeluargaan. Nama panggilan Kresna di bawah ini merupakan nama-nama dari kitab Mahabarata dan Bhagawadgita versi aslinya (versi India). Nama panggilan Kresna adalah:

  1. Achyuta (Acyuta, yang tak pernah gagal)
  2. Arisudana (penghancur musuh)
  3. Bhagavān (Bhagawan, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa)
  4. Gopāla (Gopaala, Pengembala sapi)
  5. Govinda (Gowinda, yang memberi kebahagiaan pada indria-indria)
  6. Hrishikesa (Hri-sikesa, penguasa indria)
  7. Janardana (juru selamat umat manusia)
  8. Kesava (Kesawa, yang berambut indah)
  9. Kesinishūdana (Kesini-sudana, pembunuh raksasa Kesin)
  10. Mādhava (Madawa, suami Dewi Laksmi)
  11. Madhusūdana (Madu-sudana, penakluk raksasa Madhu)
  12. Mahābāhu (Maha-bahu, yang berlengan perkasa)
  13. Mahāyogi (Maha-yogi, rohaniawan besar)
  14. Purushottama (Purusa-utama, manusia utama, yang berkepribadian paling baik)
  15. Varshneya (Warsneya, keturunan wangsa Wresni)
  16. Vāsudeva (Waasudewa, putera Basudewa)
  17. Vishnu (Wisnu, penitisan Batara Wisnu)
  18. Yādava (Yaadawa, keturunan dinasti Yadu)
  19. Yogesvara (Yoga-iswara, penguasa segala kekuatan batin)

Kehidupan Sang Kresna

Ikthisar kehidupan Sri Kresna di bawah ini diambil dari Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana. Lokasi dimana Kresna diceritakan adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, Delhi, dan Gujarat. Kutipan pada permulaan dan akhir cerita merupakan teologi yang tergantung pada sudut pandang cerita.

Penitisan

Kutipan di bawah ini menjelaskan alasan mengapa Wisnu menjelma. Dalam sebuah kalimat dalam Bhagawatapurana:

Dewa Brahma memberitahu para Dewa: Sebelum kami menyampaikan permohonan kepada Beliau, Beliau sudah sadar terhadap kesengsaraan di muka bumi. Maka dari itu, selama Beliau turun ke bumi demi menuntaskan kewajiban dengan memakai kekuatan-Nya sendiri sebagai sang waktu, wahai kalian para Dewa semuanya akan mendapat bagian untuk menjelma sebagai para putera dan cucu dari keluarga Wangsa Yadu.[4]

Kitab Mahabharata yang pertama (Adiparwa, bagian Adiwansawatarana) memberikan alasan yang serupa, meskipun dengan perbedaan yang kecil dalam bagian-bagiannya.

Kelahiran

Kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi mengatakan bahwa Sri Kresna lahir pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.[5]

Kresna berasal dari keluarga bangsawan di Mathura, dan merupakan putera kedelapan yang lahir dari puteri Dewaki, dan suaminya Basudewa. Mathura adalah ibukota dari wangsa yang memiliki hubungan dekat seperti Wresni, Andhaka, dan Bhoja. Mereka biasanya dikenali sebagai Yadawa karena nenek moyang mereka adalah Yadu, dan kadang-kadang dikenal sebagai Surasena setelah adanya leluhur terkemuka yang lain. Basudewa dan Dewaki termasuk ke dalam wangsa tersebut. Raja Kamsa, kakak Dewaki, mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya ke penjara, yaitu Raja Ugrasena. Karena takut terhadap ramalan yang mengatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu putera Dewaki, maka ia menjebloskan pasangan tersebut ke penjara dan berencana akan membunuh semua putera Dewaki yang baru lahir. Setelah enam putera pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putera ketujuhnya, lahirlah Kresna. Karena hidupnya terancam bahaya maka ia diselundupkan keluar dan dirawat oleh orangtua tiri bernama Yasoda dan Nanda di Gokula, Mahavana. Dua anaknya yang lain juga selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putera ketujuh Dewaki, dipindahkan ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putera dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).

Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai Krishnajanmabhumi, dimana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.

Masa kanak-kanak dan remaja

Nanda merupakan pemimpin di komunitas para pengembala sapi, dan ia tinggal di Vrindavana. Kisah tentang Kresna saat masa kanak-kanak dan remaja ada di sana termasuk dengan siapa dia tinggal, dan perlindungannya kepada orang-orang sekitar. Kamsa yang mengetahui bahwa Kresna telah kabur terus mengirimkan raksasa (seperti misalnya Agasura) untuk membinasakannya. Sang raksasa akhirnya terkalahkan di tangan Kresna dan kakaknya, Baladewa. Beberapa di antara kisah terkenal tentang keberanian Kresna terdapat dalam petualangan ini serta permainannya bersama para gopi (pengembala perempuan) di desa, termasuk Radha. Kisah yang menceritakan permainannya bersama para gopi kemudian dikenal sebagai Rasa lila.

Kresna Sang Pangeran

Kresna yang masih muda kembali ke Mathura, dan menggulingkan kekuasaan pamannya – Kamsa – sekaligus membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kembali kepada ayah Kamsa, Ugrasena, sebagai Raja para Yadawa. Ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut. Dalam masa ini ia menjadi teman Arjuna serta para pangeran Pandawa lainnya dari Kerajaan Kuru, yang merupakan saudara sepupunya, yang tinggal di sisi lain Yamuna. Kemudian, ia memindahkan kediaman para Yadawa ke kota Dwaraka (di masa sekarang disebut Gujarat). Ia menikahi Rukmini, puteri dari Bismaka dari Kerajaan Widarbha.


Menurut beberapa sastra, Kresna memiliki 16.108 istri, delapan orang di antaranya merupakan istri terkemuka, termasuk di antaranya Radha, Rukmini, Satyabama, dan Jambawati. Sebelumnya 16.000 istri Kresna yang lain ditawan oleh Narakasura, sampai akhirnya Kresna membunuh Narakasura dan membebaskan mereka semua. Menurut adat yang keras pada waktu itu, seluruh wanita tawanan tidak layak untuk menikah sebagaimana mereka masih di bawah kekuasaan Narakasura, namun Kresna dengan gembira menyambut mereka sebagai puteri bangsawan di kerajaannya. Dalam tradisi Waisnawa, para istri Kresna di Dwarka dipercaya sebagai penitisan dari berbagai wujud Dewi Laksmi.

Bharatayuddha dan Bhagawad Gita

Kresna merupakan saudara sepupu dari kedua belah pihak dalam perang antara Pandawa dan Korawa. Ia menawarkan mereka untuk memilih pasukannya atau dirinya. Para Korawa mengambil pasukannya sedangkan dirinya bersama para Pandawa. Ia pun sudi untuk menjadi kusir kereta Arjuna dalam pertempuran akbar. Bhagawadgita merupakan wejangan yang diberikan kepada Arjuna oleh Kresna sebelum pertempuran dimulai.

Kehidupan di kemudian hari

Setelah perang, Kresna tinggal di Dwaraka selama 36 tahun. Kemudian pada suatu perayaan, pertempuran meletus di antara para kesatria Wangsa Yadawa yang saling memusnahkan satu sama lain. Lalu kakak Kresna – Baladewa – melepaskan raga dengan cara melakukan Yoga. Kresna berhenti menjadi raja kemudian pergi ke hutan dan duduk di bawah pohon melakukan meditasi. Seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian. Menurut Mahabharata, kematian Kresna disebabkan oleh kutukan Gandari. Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan.

Menurut referensi dari Bhagawatapurana dan Bhagawad Gita, ditafsirkan bahwa Kresna wafat sekitar tahun 3100 SM.[6] Ini berdasarkan deskripsi bahwa Kresna meninggalkan Dwarka 36 tahun setelah peperangan dalam Mahabharata terjadi. Matsyapurana mengatakan bahwa Kresna berusia 89 tahun saat perang berkecamuk. Setelah itu Pandawa memerintah selama 36 tahun, dan pemerintahan mereka terjadi saat permulaan zaman Kaliyuga. Selanjutnya dikatakan bahwa Kaliyuga dimulai saat Duryodana dijatuhkan ke tanah oleh Bima berarti tahun 2007 sama dengan tahun 5108 (atau semacam itu) semenjak Kaliyuga.[7]

Hubungan keluarga

Ayah Kresna adalah Prabu Basudewa, yang merupakan saudara lelaki (kakak) dari Kunti atau Partha, istri Pandu yang merupakan ibu para Pandawa, sehingga Kresna bersaudara sepupu dengan para Pandawa. Saudara misan Kresna yang lain bernama Sisupala, putera dari Srutadewa alias Srutasrawas, adik Basudewa. Sisupala merupakan musuh bebuyutan Kresna yang kemudian dibunuh pada saat upacara akbar yang diselenggarakan Yudistira.




Ahuka



























Ugrasena


Dewaka








Surasena














































Kamsa


Dewaki


Basudewa


9 putera



3 puteri


Srutasrawas


Damagosa

































































Baladewa


Kresna


Subadra


Kunti


Pandu


Sisupala


















































































Yudistira


Bhima


Arjuna


















Kresna dalam pewayangan Jawa

Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para keturunan Yadu (Yadawa) dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Ia (dengan nama kecil "Narayana") dilahirkan sebagai putera kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya dikenal sebagai Baladewa (alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Subadra, yang tak lain adalah istri dari Arjuna. Ia memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Istri isterinya adalah Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.

Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah sais atau kusir Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding sebagai sais Arjuna, beliau memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan beliau dikenal sebagai Bhagawadgita.

Kresna dikenal sebagai seorang yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, mengubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia, pusaka-pusaka sakti, antara lain Senjata Cakra, Kembang Wijayakusuma, terompet kerang (Sangkala) Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.

Setelah meninggalnya Prabu Baladewa (Resi Balarama), kakaknya, dan musnahnya seluruh Wangsa Wresni dan Yadawa, Prabu Kresna menginginkan moksa. Ia wafat dalam keadaan bertapa dengan perantara panah seorang pemburu bernama Jara yang mengenai kakinya.

Kresna dalam Bhagawadgita

Kresna dianggap sebagai penjelmaan Sang Hyang Triwikrama, atau gelar Bhatara Wisnu yang dapat melangkah di tiga alam sekaligus. Ia juga dipandang sebagai perantara suara Tuhan dalam menjalankan misi sebagai juru selamat umat manusia, dan disetarakan dengan segala sesuatu yang agung. Kutipan di bawah ini diambil dari kitab Bhagawadgita (percakapan antara Kresna dengan Arjuna) yang menyatakan Sri Kresna sebagai awatara.

Kutipan

Terjemahan

yadā yadā hi dharmasya, glānir bhavati bhārata, abhyutthānam adharmasya tadātmana sjāmy aham

Kapan pun kebenaran merosot dan kejahatan merajalela, pada saat itu Aku turun menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna)

paritrāāya sādhūnā, vināśāyā ca duktām, dharma-sasthāpanārthāa, sambhavāmi yuge yuge

Untuk menyelamatkan orang saleh dan membinasakan orang jahat, dan menegakkan kembali kebenaran, Aku sendiri menjelma dari zaman ke zaman

aham ātmā guākeśa sarva-bhūtāśaya-sthita, aham ādiś ca madhya ca bhūtānām anta eva ca

O Arjuna, Aku adalah Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam hati semua makhluk hidup. Aku adalah awal, pertengahan dan akhir semua makhluk

purodhasā ca mukhya viddhi pārtha bhaspatim, senāninām aha skanda, sarasām asmi sāgara

Wahai Arjuna, di antara semua pendeta, ketahuilah bahwa Aku adalah Brihaspati, pemimpinnya. Di antara para panglima, Aku adalah Kartikeya, dan di antara segala sumber air, Aku adalah lautan

prahlādaś cāsmi daityānā, kāla kalayatām aham mā ca mgendro ‘ha vainateyaś ca pakiām

Di antara para Detya, Aku adalah Prahlada, yang berbakti dengan setia. Di antara segala penakluk, Aku adalah waktu. Di antara segala hewan, Aku adalah singa, dan di antara para burung, Aku adalah Garuda.

dyūta chalayatām asmi tejas tejasvinām aham jayo ‘smi vyavasāyo ‘smi sattva sattvavatām aham

i antara segala penipu, Aku adalah penjudi. Aku adalah kemulian dari segala sesuatu yang mulia. Aku adalah kejayaan, Aku adalah petualangan, dan Aku adalah kekuatan orang yang kuat


vṛṣṇīnā vāsudevo ‘smi pāṇḍavānām dhanañjaya, munīnām apy aha vyāsa kavīnām uśanā kavi

Di antara keturunan Wresni, Aku ini Kresna. Di antara Panca Pandawa, Aku adalah Arjuna. Di antara para Resi, Aku adalah Wyasa. Di antara para ahli pikir yang mulia, aku adalah Usana.