DUA LUKISAN SAPTO HUDOYO

16.16 Edit This 0 Comments »
Lukisan Sapto Hudoyo - Mallorca, diambil dari id.88db.com

Lukisan Sapto Hudoyo -Potret Yani I Lukisan Diatas Kanvas 75 X 60 cm 


SAPTO HUDOYO

15.32 Edit This 0 Comments »
 
 Sapto Hudoyo(atas) diambil dari dgi-indonesia.com. Bawah Sapto bersama istri, Yani Sapto Hudoyo diambil dari store.tempo.co
 
SAPTO HUDOYO, Pelukis dan seniman kondang, pemilik galeri di berbagai kota di Indonesia.  Ia pernah menjadi pelukis keluarga kerajaan Malaysia.  Desain interior, patung dan arsitekturnya menjadi langganan konsumen dari dalam dan luar negeri.

Sapto Hudoyo lahir tanggal 6 Februari 1925 di Solo.  Nama kecilnya Piek, anak ketujuh dari  18 bersaudara keturunan KRT dr. Hendronoto.  Kepandaiannya melukis sudah terlihat sejak kecil.  Di sekolah ia mendapatkan nilai tinggi untuk mata pelajaran melukis.  Ia pernah mendapatkan juara pertama lomba melukis antar-sekolah se-kota Solo. 

Pada tahun 1945 Piek yang ketika itu duduk di sekolah lanjutan,  bergabung dengan Tentara Pelajar (TP).  Pada usianya yang ke-20 ia turut bertempur bersama Bung Tomo di    Surabaya dan juga pernah berperang di front Ambarawa. 

Semasa Perang masih berlangsung, Piek jatuh cinta pada Tuti, gadis belia adik mantan menteri penerangan RI Maladi.  Sayang, si gadis tak berumur panjang, wafat lantaran sakit.  Masih memendam rasa kecewa dan frustasi, Piek berkelana mencari pengalaman ke luar negeri.  Negara tujuan pertamanya adalah Singapura.

Sebelum hijrah ke Singapura Piek  telah menyelesaikan pendidikan SMA, dan telah memiliki pengalaman sebagai  fotografer dan teknikus bidang mesin dan elektro.  Ia sempat pula memiliki ijasah Akademi Penerbangan. Pada tahun 1947 Piek  bertekad mati-matian pergi ke Singapura melalui Tegal hanya dengan membawa bekal uang Rp 2000.  Dari Solo ia berjalan kaki ke Tegal.  Pengalaman pergi jauh seperti ini pernah ia dapatkan sewaktu kecil.  Ia pernah bersepeda mini sampai  ke pulau Bali bersama teman-temannya.  Sesampai di Tegal Piek  hanya mendapati sebuah kapal tongkang milik pedagang Cina yang sedang mengangkut telor, cabe, bebek dan kapuk.  Kendati mendapat perlakuan kurang ramah, Piek dipersilakan menumpang kapal hingga ke Singapura.  Syaratnya Piek harus membantu bekerja di depan, sementara tidurnya berada di belakang dekat WC yang berbau tak sedap dan banyak kecoanya.  
Kondisi seperti ini tidak masalah, hanya yang sungguh membuat ia lemas tak berdaya adalah pada saat hujan deras dan kapal terombang-ambing oleh gelombang tinggi.  Berkali-kali ia mabuk laut, badannya lemas dan kaki tangannya sulit digerakkan.  Keadaan itu masih diperparah dengan munculnya gerombolan kecoa yang mengerubuti serta menggigit kakinya hingga berdarah.  Ia hanya bisa menangis dan pasrah kepada Tuhan. 

Di Singapura ia tidur di emperan toko.  Atas jasa baik seorang pemilik toko ia diselamatkan dari tangkapan polisi karena dituduh  menjadi gelandangan gelap.  Untuk bertahan hidup Piek berkerja apa saja seperti menjadi pelayan toko Bombay, tukang angkut ember berisi kotoran manusia untuk pupuk dan pernah menjadi supir taksi.  Di antara kesibukannya itu Piek masih menyempatkan diri melukis.  Skets lukisannya kian lama kian berbobot, hingga seorang konsul Inggris di Singapura mengaguminya.

Piek terus melukis. Hingga suatu hari dia mendapatkan kesempatan melakukan pameran di sebuah ruangan besar konsulat Inggris di Singapura.  Pada tahun 1947 ia mendapatkan hadiah pertama pada suatu exhibition di Malaysia untuk lukisan cat air dan cat minyak.  Berkat prestasinya di bidang seni lukis inilah Piek mendapatkan kesempatan berkenalan dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti Sutan Sjahrir dan Kusumo Utoyo.  Lantas mereka bersama-sama  mendirikan Indonesia Office di Singapura. 

Langkah Piek menjadi pelukis tenar terbuka lebar.  Kerajaan Malaysia pernah mempercayakan lukisan keluarga kepadanya.  Ia lantas mengadakan pameran di Penang, dan sempat bertempat tinggal di  Sunday Market sebuah kawasan di negeri jiran itu yang banyak ditinggali orang Jawa.  Di tempat ini Piek mendirikan kelompok musik “Tiga Teruna” yang dipimpinnya sendiri.  Dalam pergumulan hidup bersama pemusik ini dia pernah mendapat kesempatan tampil menyanyi bersama Felix Manderson, vokalis tenar asal Hawai. 

Pada tahun 1950-1951 Piek pergi ke Negeri Belanda, belajar di Rijks Academic Amsterdam.  Tahun 1952-1953 ia mendapatkan subsidi dari pemerintah Republik Indonesia untuk belajar di State School of Arts London.  Di tempat ini ia berjumpa dengan Kartika, putri pelukis legendaris Affandi, keduanya jatuh cinta kemudian melangsungkan pernikahan.  Dari perkawinannya ini Piek mendapatkan delapan orang buah hati.  Sayang, bahtera rumah tangganya kandas di tengah jalan.  Setelah resmi bercerai Piek kembali menikah dengan gadis Purwokerto bernama Yani.  Mereka dikaruniai seorang putra.  Bersama Yani Piek mendirikan galeri seni di kawasan jalan Solo Yogyakarta diberi nama Sapto Hudoyo Art Gallery. 

Galeri serupa juga didirikan di beberapa kota seperti Airport Semarang, Denpasar Bali, Kaliurang dan Sahid Garden Hotel Yogyakarta, serta Pondok Indah Jakarta Selatan.  Galeri seninya memajang lukisan karya Sapto Hudoyo, batik, dan baju-baju yang memiliki motif kualitas tinggi.  Piek juga menerima order membuat patung perunggu, desain interior dan  arsitektur.   Ia yang membuat dekorasi mural pada Stadion Utama Senayan Jakarta,   mural dan desain interior semen Gresik, interior pada Food Factory di Bandung, mural dan desain interior Hotel Borobudur Jakarta.   Pesanan dari luar negeri datang dari beberapa kota besar seperti Canes, Hamburg, Frankfurt, Roma, London, Perancis, Denmark, Rio de Janeiro Brazil.

Saptohudoyo meninggal dunia, Rabu pagi pukul 05.00 WIB di rumah sekaligus galerinya, Jl. Solo Km 9,8 Desa Maguwoharjo, Depok, Kab. Sleman, D.I.Yogyakarta dalam usia 78 tahun. Jenazahnya dimakamkan di makam seniman Giritirto, Imogiri, Bantul. Sapto Hudoyo meninggalkan dua istri, Kartika Affandi, putri pelukis besar Affandi dan Yani Saptohudoyo, serta 9 anak dan 3 cucu.
Artikel ini diambil dari www.trenggalekjelita.web.id

SENI BUDAYA (WAYANG) SEBAGAI MEDIA DAKWAH

09.03 Edit This 0 Comments »
Gambar Wayang ini diambil dari http://www.wayang.wordpress.com

Pertunjukan Wayang Kulit, diambil dari http://www.agoenk85waone.blogspot.com
 
Seni Budaya (Wayang) Sebagai Media Dakwah
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imron : 104) .
Kegiatan berdakwah sudah ada sejak adanya tugas dan fungsi yang harus diemban oleh manusia di belantara kehidupan dunia ini. Hal itu dilakukan dalam rangka penyelamatan seluruh alam, termasuk di dalamnya manusia itu sendiri. Namun kegiatan dakwah sering kali dipahami, baik oleh masyarakat awam ataupun sebagai masyarakat terdidik, sebagai sebuah kegiatan yang sangat praktis, sama dengan tabligh (ceramah). Kegiatan dakwah itu terbatas hanya di majelis-majelis taklim, mesjid-mesjid dan mimbar-mimbar keagamaan.
Sebagaimana semarak dakwah (dalam dimensi tabligh) yang terjadi dewasa ini, di satu sisi merupakan perkembangan yang cukup menggembirakan, sebagai indikator ghirah keagamaan masyarakat mulai tumbuh kembali. Tapi di sisi lain, secara kualitatif, kegiatan tabligh di atas kurang sepenuhnya mengena pada tujuan akhir dari kegiatan dakwah itu sendiri, dan tidak membuat banyak perubahan khalayak dakwah (mad’u). Pasalnya, para pelaku dakwah nampaknya masih banyak yang belum memahami strategi, metode, bahkan mengenai hakikat dakwah itu. Sehingga aktivitas dakwahnya terkadang hanya menekankan pada aspek mobiilitas saja, dan tidak sampai pada peningkatan pemahaman mengenai ajaran islam yang menyentuh dimensi hidup dan kehidupan manusia.
Eksistensi dakwah tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun, karena kegiatan dakwah sebagai proses penyelamatan umat manusia dari berbagai persoalan yang merugikan kehidupannya, merupakan bagian dari tugas dan fungsi manusia yang sudah direncanakan sejak awal penciptaan manusia sebagai khalifah fil al-ardh. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”( Q.S Al-Baqarah : 3, 30)”.
Dakwah bersifat multidimensi dan selalu bersentuhan dengan aneka realitas. Untuk keperluan pemahaman sifat objek kajian yang demikian, maka sangat diperlukan pendekatan empiris. Alqur’an ternyata berulang kali memerintahkan supaya manusia meneliti secara empiris fenomena alam termasuk fenomena yang ada pada diri manusia dan sejarah. Bahkan perintah pertama Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi saw adalah supaya membaca (memahami) ayat-ayat kauniyah. Sebab perintah iqra’ tidak menyebut objeknya secara khusus, dan nabi saw sendiri ketika itu tidak sedang menghadap tulisan disamping beliau adalah ummi.
Budaya dan Dakwah
Pendekatan dakwah intra dan antarbudaya, yaitu proses dakwah yang mempertimbangkan keagamaan budaya antarda’I dan mad’u, dan keagamaan penyebab terjadinya gangguan interaksi pada tingkat intra dan antarbudaya agar peran dakwah dapat tersampaikan dengan tetap terpeliharanya situasi damai.
Dengan demikian, pendekatan dakwah intra dan antarbudaya adalah : pendekatan budaya damai sebagai salah satu watak dasar islam sebagai agama perdamaian.
Budaya (dari kata budhi artinya akal dan daya artinya kekuatan atau dorongan) berarti kekuatan akal karena kebudayaan manusia merupakan ukuran pencurahan kekuatan manusia yang berpangkal pada akal, baik akal pikiran, akal hati maupun akal tindakan. Budaya berarti juga akal-budi, pikiran dan cara berperilakunya, berarti pula sebagai kebudayaan. Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang diperoleh melalui pembiasaan dan belajar, beserta hasil budi dan karyanya itu. Jadi secara sederhana, kebudayaan adalah hasil cita, cipta, karya, dan karsa manusia yang diperoleh melalui belajar.
Di balik keberagamannya, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dari sekitar 230 juta jiwa lebih penduduknya 85,2% adalah Muslim. Dalam sejarahnya, proses islamisasi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran besar Walisongo.
Jika kita memperhatikan pola penetrasi budaya yang mereka lakukan ternyata para Walisongo ini sama sekali tidak menempuh jalur kekerasan sedikit pun. Namun mereka amat memahami pluralitas yang ada di Indonesia dan secara bijak larut ke dalamnya dan turut berpartisipasi dalam menentukan alur sejarah bangsa. Mereka juga terlibat dalam peran-peran pembaruan dan pencerdasan masyarakat.
Hal ini menjadi menarik untuk dicermati seiring saat ini isu pluralisme tengah menghangat. Seperti kata sebuah ungkapan “Seringkali bukan masalah benar dan salah yang menyebabkan kita berselisih,namun hanya karena kita berbeda seringkali kita berselisih.” Potensi keanekaragaman ini jangan sampai menjadi kontraproduktif bagi bangsa dan negara. Dengan memahami sejarah banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam konteks masa kini. Kiprah para Walisongo bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita mengenai sikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Walisongo muncul saat runtuhnya dominasi kerajaan Hindu Budha di Indonesia. Walisongo terdiri dari sembilan orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya “penolong” ini merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang,tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar pengaruhnya, Hindu dan Budha. Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana. Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka. Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.
Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi Nusantara semenjak 1.500 tahun yang lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang, bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, doktrin keesaan Tuhan dalam Islam. Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya,para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.
Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Kesimpulan
Urgensitas penyampaian pesan nilai-nilai ilahi yang disampaikan oleh para Walisongo, telah dibungkus dan dikemas dengan semenarik mungkin. Hal ini menyebabkan ketertarikan dari masyarakat yang ingin mempelajari ajaran islam. Kedamaian, kehalusan, dengan penyampaiannya tanpa menggunakan kekerasan dan menginjak-injak citra suatu golongan, telah memberikan citra yang baik terhadap mereka.
Mereka adalah penolong bagi masyarakat Indonesia yang memang pada saat itu dikenal memiliki kepercayaan animisme, hampir jatuh pada hal-hal yang berbau musrik dan yang merusak aqidah masyarakat Indonesia.
Artikel ini diambil dari  http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/573

KARYA KALIGRAFI INDONESIA 2

11.27 Edit This 0 Comments »
Kaligrafi berjudul "Tahlil-Bulu" diambil dari www.jepara-mebel.com
Kaligrafi berjudul "Allah Esa" diambil dari 
indonetwork.co.id
Karya kaligrafi diambil dari archive.kaskus.co.id
Kaligrafi berjudul "Arabic Caligraphy" diambil dari www.dinomarket.com
Karya kaligrafi ini diambil dari
archive.kaskus.co.id
Kaligrafi berjudul "Lukisanku" diambil dari denpasar.olx.co.id
Karya kaligrafi ini diambil dari indonetwork.co.id

HASIL KARYA KALIGRAFI INDONESIA

10.58 Edit This 0 Comments »
 Kaligrafi karya Anwar Sanusi diambil dari senipasuruan.blogspot.com

 Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html

 Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html

 Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html

 Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html

 Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html

 Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html

 Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html

 Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html

 Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html


Kaligrafi ini diambil dari http://karyarupa.blogspot.com/2012/01/kumpulan-karya-lukis-kaligrafi.html

SEJARAH KALIGRAFI INDONESIA

10.11 Edit This 0 Comments »


SEJARAH KALIGRAFI INDONESIA
Di Indonesia, kaligrafi merupakan bentuk seni budaya Islam yang pertama kali ditemukan, bahkan ia menandai masuknya Islam di Indonesia. Ungkapan rasa ini bukan tanpa alasan karena berdasarkan hasil penelitian tentang data arkeologi kaligrafi Islam yang dilakukan oleh Prof. Dr. Hasan Muarif Ambary, kaligrafi gaya Kufi telah berkembang pada abad ke-11, datanya ditemukan pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat 495 H/1082 M) dan beberapa makam lainnya dari abad-abad ke-15. Bahkan diakui pula sejak kedatangannya ke Asia Tenggara dan Nusantara, disamping dipakai untuk penulisan batu nisan pada makam-makam, huruf Arab tersebut (baca: kaligrafi) memang juga banyak dipakai untuk tulisan-tulisan materi pelajaran, catatan pribadi, undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat, dalam mata uang logam, stempel, kepala surat, dan sebagainya. Huruf Arab yang dipakai dalam bahasa setempat tersebut diistilahkan dengan huruf Arab Melayu, Arab Jawa atau Arab Pegon.
Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi kegiatan kreasi seniman Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti kayu, kertas, logam, kaca, dan media lain. Termasuk juga untuk penulisan mushaf-mushaf al-quran tua dengan bahan kertas deluang dan kertas murni yang diimpor. Kebiasaan menulis al-Qur’an telah banyak dirintis oleh banyak ulama besar di pesantren-pesantren semenjak akhir abad XVI, meskipun tidak semua ulama atau santri yang piawai menulis kalgrafi dengan indah dan benar. Amat sulit mencari seorang khattat yang ditokohkan di penghujung abad XIX atau awal abad XX, karena tidak ada guru kaligrafi yang mumpuni dan tersedianya buku-buku pelajaran yang memuat kaidah penulisan kaligrafi. Buku pelajaran tentang kaligrafi pertama kali baru keluar sekitar tahun 1961 karangan Muhammad Abdur Razaq Muhili berjudul ‘Tulisan Indah’ serta karangan Drs. Abdul Karim Husein berjudul ‘Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab’ tahun 1971.
Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan sosoknya lebih nyata dalam kitab-kiab atau buku-buku agama hasil goresan tangan mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H. Abdur Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim Bakary, H.M. Salim Fachry dan K.H. Rofi’I Karim. Angkatan yang menyusul kemudian sampai angkatan generasi paling muda dapat disebutkan antara lain Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq), K. Mahfudz dari Ponorogo, Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq dan Muhammad Wasi’ Abdur Razaq, H. Yahya dan Rahmat Arifin dari Malang, D. Sirojuddin dari Kuningan, M. Nur Aufa Shiddiq dari Kudus, Misbahul Munir dari Surabaya, Chumaidi Ilyas dari Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya aktif menulis buku-buku kaligrafi danmengalihkan kreasinya pada lukisan kaligrafi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi tidak hanya dikembangkan sebatas tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga mulai dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual art. Dalam konteks ini kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian bagi para seniman lukis yang ragu untuk menggambar makhluk hidup. Dalam aspek kesenirupaan, kaligrafi memiliki keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola geometrisnya, serta lengkungan ritmisnya yang luwes sehingga mudah divariasikan dan menginspirasi secara terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai muncul pertama kali sekitar tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada pameran Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan dengan diselenggarakannya MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran pada Muktamar pertama Media Massa Islam se-Dunia than 1980 di Balai Sidang Jakarta dan Pameran pada MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran Kaligrafi Islam di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Tahun Baru Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang mempelpori kaligrafi lukis adalah Prof. Ahmad Sadali (Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous (Bandung, asal Aceh), Drs. H. Amri Yahya (Yogyakarta, asal Palembang), dan H. Amang Rahman (Surabaya), dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa pembaharuan bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang menjauhkannya dari kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan. Kehadiran seni lukis kaligrafi tidak urung mendapat berbagai tanggapan dan reaksi, bahkan reaksi itu seringkali keras dan menjurus pada pernyataan perang. Namun apapun hasil dari reaksi tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para khattat sendiri membawa banyak hikmah, antara lain menimbulkan kesadaran akan kelemahan para khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal ragam-ragam media dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka khalayak. Kekurangan mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis mengolah karya mereka adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang ternyata lebih atau hanya dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia adalah dimasukkan seni ini menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam even MTQ. Pada awalnya dipicu oleh sayembara kaligrafi pada MTQ Nasional XII 1981 di Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di Padang 1983. Sayembara tersebut pada akhirnya dipandang kurang memuaskan karena sistemnya adalah mengirimkan hasil karya khat langsung kepada panitia MTQ, sedangkan penulisannya di tempat masing-masing peserta. MTQ Nasional XIV di Pontianak meniadakan sayembara dan MTQ tahun selanjutnya kaligrafi dilombakan di tempat MTQ.
Diambil dari : hilyatulqalam.wordpress.com