DEWASA ini banyak orang merasa berdosa bila gagal melanjutkan sekolah atau kuliah di perguruan . Padahal, tak ada jaminan bahwa orang yang lulus sekolah atau kuliah di perguruan tinggi itu bisa langsung jadi pegawai negeri atau bisa bekerja di perusahaan. Untuk itu, yang harus dilakukan oleh orang-orang yang gagal sekolah atau kuliah bukan terus-menerus tenggelam dalam kubangan penyesalan dan rasa bersalah tanpa ujung, melainkan ia harus berani mengolah kemampuan yang tersedia di dalam dirinya untuk dijadikannya sebagai daya hidup.
"Dalam mengolah kemampuan yang tersedia di dalam dirinya itu bukan hanya dengan kerja keras yang harus dilakukannya, tetapi kerja cerdas. Saya termasuk salah seorang yang gagal melanjutkan kuliah di tingkat perguruan tinggi, khususnya di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Saya tidak sedih atas kejadian itu. Saya malah terus berpikir bahwa sukses dan tidak suksesnya seseorang bukan ditentukan oleh kelulusan dari perguruan tinggi, tetapi sangat ditentukan oleh kerja cerdas yang dilakukannya dalam membaca gerak zaman!" ujar pelukis Jeihan Sukmantoro dalam percakapannya dengan "PR", Selasa pekan lalu di Studio Jeihan, Jln. Padasuka 143-145, Bandung.
Yang dimaksud dengan kerja cerdas oleh pelukis Jeihan Sukmantoro adalah bahwa seseorang harus mampu berpikir jauh ke masa depan, dalam arti kata mampu membaca gerak zaman. Sedangkan yang dimaksud kerja keras adalah upaya yang dilakukan seseorang secara fisik untuk mewujudkan apa-apa yang sudah dipikirkan secara matang sebelumnya. Misalnya, jika ia seorang seniman, dalam hal ini seniman seni lukis, maka ia harus menjadi dirinya sendiri dan bukannya jadi pengekor. Ia harus mampu melahirkan kecenderungan-kecenderungan baru dalam berkarya seni. Jika ia hanya jadi pengekor dalam bidang apa pun, maka ia tidak akan jadi apa-apa.
"Karena saya tidak mau jadi pengekor siapa pun, maka saya melahirkan ungkapan-ungkapan baru dalam seni lukis dengan menghilangkan objek mata dalam setiap figur yang saya lukis. Objek mata tersebut saya biarkan bolong dengan warna hitam pekat. Ketika saya melakukan di awal-awal penemuan saya melukis semacam itu, saya dicaci-maki banyak kritikus seni rupa. Saya yakin bahwa apa yang saya temukan itu merupakan daya ungkap baru dalam perkembangan dan pertumbuhan seni rupa Indonesia modern. Hasilnya zaman membuktikan bahwa lukisan saya diminati banyak orang," lanjut pelukis yang pernah hidup miskin di tahun 60-an hingga pertengahan tahun 1980-an. Setiap kontrakan habis dari satu tempat ke tempat lainnya selalu ada kepedihan yang menyesak di dalam dirinya. Rumah kontrakan Jeihan di awal tahun 60-an itu berdekatan dengan rumah Yunus Winoto, di Jln. Ancol Kawung, Bandung.
Di bawah ini, merupakan petikan percakapan "PR" dengan pelukis Jeihan Sukmantoro tentang sepenggal hidupnya dalam upaya menaklukkan kemiskinan dengan cara kerja cerdas di samping kerja keras. Selain itu, bicara pula tentang hal lainnya, baik menyangkut karya seni maupun keluarga. Di dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan seni modern di Indonesia, Jeihan Sukmantoro tidak hanya dikenal sebagai perupa, tetapi juga sebagai penyair. Ia merupakan salah seorang pelopor gerakan puisi mBeling bersama penyair Remy Sylado di awal tahun 1970-an di Bandung.
Bisa dijelaskan lebih jauh bahwa putus sekolah itu bukan sebuah bencana yang menakutkan dalam kehidupan Anda?
Bila kita gagal kuliah atau sekolah yang kemudian kegagalan tersebut dianggap sebagai bencana, itu adalah jalan pikiran yang salah. Orang yang putus sekolah itu harus berani masuk ke dalam dirinya sendiri untuk melihat potensi macam apa yang ada di dalam dirinya. Jika ia menemukan bakat yang bisa dikembangkannya dalam bidang apa pun, maka ia harus mengembangkannya dengan sesungguh hati. Dalam dunia seni rupa, bisa kita catat begitu banyak orang yang bukan lulusan perguruan tinggi seni rupa sukses sebagai pelukis. Hidup mereka lebih makmur dari orang-orang sekolahan. Itu artinya ia telah melakukan kerja cerdas dalam membaca gerak zaman! Inilah yang ingin saya utarakan atas sepenggal kisah hidup yang telah saya jalani selama ini.
Tetapi dewasa ini, setiap ada lowongan kerja, maka pekerjaan itu hanya terbuka bagi orang-orang yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang tinggi. Sedangkan orang yang SDM-nya rendah, jangan harap bisa bekerja di perusahaan yang membuka lowongan kerja itu?
Ya, memang SDM sekarang ini sangat diberhalakan oleh mereka yang menjalankan bisnisnya demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Yang disebut sebagai manusia itu, dewasa ini hanya orang-orang yang ber-SDM tinggi. Di luar itu seakan-akan bukan manusia. Kalau demikian adanya, mengapa ia tidak menciptakan dunia kerja secara mandiri? Hidup di kota besar sesungguhnya tidak sulit, bila kita sanggup berhadapan dengan realitas kehidupan itu sendiri. Yang penting jangan bertindak kriminal! Di luar itu, kalau hanya SDM yang melulu dilihat, lantas bagaimana dengan akhlak, moral, dan keteguhannya dalam menjalankan agama? Tak ada jaminan orang ber-SDM tinggi itu lurus jalan hidupnya. Bukankah mereka yang melakukan tindak pidana korupsi itu adalah orang-orang pintar? Begitu kita baca di koran-koran. Jadi mutu SDM itu tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual semata-mata, tetapi juga sangat ditentukan oleh kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Lepas dari itu, kerja cerdas macam apa yang sudah dilakukan oleh Anda, sehingga lepas dari jurang kemiskinan?
Pertama kita harus percaya pada proses. Dalam proses ini, saya terus berpikir dalam melahirkan karya seni yang saya buat. Bagi saya lahirnya karya seni itu bukan melulu bertumpu pada perasaan, tetapi pada pikiran. Nah, ketika pikiran saya bekerja, saya menemukan celah bahwa melukis orang dengan mata bolong belum dilakukan oleh seorang pelukis pun di muka bumi. Mula-mula lukisan figur (orang) yang bermata bolong itu, gambar orangnya tidak pipih. Kalau demikian itu bukan sesuatu yang baru. Lantas saya berpikir keras. Saya melihat wayang kulit. Daya estetik yang terdapat dalam wayang kulit itu saya ambil ke dalam lukisan-lukisan saya. Sekarang selain mata bolong, bentuk tubuh orang pun saya bikin pipih. Itulah yang dimaksud dengan kerja cerdas dalam proses kreatif yang saya geluti selama ini.
Lantas setelah menemukan bentuk semacam itu, apakah Anda mendadak menjadi orang kaya?
Tidak. Mula-mula lukisan-lukisan saya yang dicaci-maki para kritikus seni lukis itu hanya laku ditukar dengan beras. Itu semua saya lakukan asal keluarga saya bisa makan. Ruang dan waktu terus bergulir. Kehadiran saya mulai dibicarakan bahwa saya melahirkan bentuk baru dalam seni rupa Indonesia modern. Kesempatan datang pada saya ketika bulan Agustus 1985 tiba dengan amat cepatnya. Saat itu, Citibank menawari saya untuk menyelenggarakan pameran tunggal. Tapi saya menolak untuk berpameran tunggal. Saya minta kepada pihak penyelenggara untuk berpameran berdua, saya pilih pelukis S. Sudjoyono. Dalam pameran yang digelar pada 4-11 Agustus 1985 di Istana Ballroom, Hotel Sari Pacific itu, saya pasang harga untuk satu lukisan senilai 50.000 dolar AS. Saat itu harga satu dolar sama dengan Rp 1.000,00.
Ketika saya pasang harga semacam itu, saya dicaci maki, karena harga lukisan saya lebih mahal dari harga lukisan S. Sudjoyono yang pada saat itu pasang harga antara Rp 2 juta - Rp 4 juta. Sungguh di luar dugaan, lukisan saya habis terjual. Seketika saya menjadi orang kaya baru di Indonesia. Hidup saya terbalik 180 derajat, yang tadinya miskin dan tidak punya nama dalam bidang seni lukis itu, kini jadi orang ternama dan kaya raya.
Sejak itulah saya mulai punya rumah, mobil, dan studio yang lebih luas lagi. Apa yang saya dapat itu, saya utamakan untuk hari depan anak-anak saya. Alhamdulillah pendidikan anak-anak saya saat ini terjaga dengan baik. O, ya, selain mampu beli rumah, alhamdulillah saya pun kini telah membangun dua masjid. Mudah-mudahan apa yang saya bangun ini bisa menjadi bekal hidup saya di akhirat kelak.
Selain itu, lantas apa lagi rahasia sukses hidup Anda dalam meraih kekayaan?"
Kekayaan itu akan datang dengan sendirinya, bila kita bekerja secara sungguh-sungguh dalam bidang yang kita minati dan kita kuasai. Hal yang paling utama adalah kita harus ikhlas terhadap segala cobaan hidup yang kita yakini bahwa semua itu datang dari Allah SWT. Saya tidak pernah mengeluh ketika saya hidup miskin, dan ketika kaya, saya tidak kikir. Saya tahu, bila saya kikir, Allah SWT akan mengambil harta-benda saya dengan amat mudahnya. Di samping itu, dalam menghadapi kemiskinan saya tidak bergantung pada belas-kasih orang lain. Saya senantiasa berserah diri pada Allah SWT.
Sebagai Muslim, saya ingin hidup terjaga dengan baik, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Karena itu, saya selalu bertindak keras kepada anak-anak untuk senantiasa menegakkan agama Allah SWT semampunya di muka bumi. Saya tidak rela harta yang saya dapat ini dipakai mabuk-mabukan oleh anak saya. Alhamdulillah anak-anak saya hingga saat ini tidak melakukan perbuatan tercela. Semua anak saya bersungguh-sungguh dalam menjalankan agama Islam. Pada titik ini saya menjadi takut, yakni takut tidak bisa bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah diberikan-Nya kepada saya selama ini.
Lantas apa yang Anda lakukan saat ini, setelah apa yang Anda inginkan bisa Anda beli?
Saya masih melukis, tentu saja. Dalam melukis, dalam menghabiskan sisa umur yang entah kapan saya akan dipanggil oleh Allah SWT untuk menghadap-Nya, saya terus meningkatkan kemampuan saya dalam bidang melukis. Itu saya lakukan, agar anak-anak saya di kemudian hari punya sesuatu yang bisa disimpan oleh mereka. Pada sisi yang lain, tentu saya mengasah daya spiritual saya, berbuat amal baik sebanyak-banyaknya demi kehidupan akhirat kelak.
Saya percaya bahwa siksa kubur itu ada. Saya manusia yang lemah. Saya ingin bahwa hidup saya kelak terbebas dari ancaman tersebut, karena itu saya harus meningkatkan amal-ibadah saya kepada Allah SWT. Kini yang saya kejar bukan lagi hal-hal yang bersifat kebendaan atau keduniawian. Saya kejar sekarang adalah ke akhiratan. Usia saya saat ini lebih lima tahun dari usia Nabi Muhammad saw yang meninggal dunia dalam usia 63 tahun. Untuk itulah, saya patut mensyukurinya. Jadi, hari-hari ini adalah hari-hari bersyukur saya, menjaga ucapan dan tindakan saya agar tidak menyakiti hati orang lain. Jika selama ini saya telah melakukan kesalahan pada siapa pun mohon kiranya dimaafkan. Demikian pula saya sebaliknya. Sungguh mengisi hidup yang baik dan benar itu, ternyata tidak mudah. Itulah yang saya renungkan saat ini. Semoga Allah SWT senantiasa menjaga ucapan saya maupun tindak-tanduk saya dari segala yang merugikan hidup saya di akhirat kelak. Sekali lagi saya bersyukur punya anak yang baik akhlaknya dan punya istri yang baik pula akhlaknya. Mereka memberi sepasang sayap dan kekuatan kepada saya untuk terbang ke langit-Nya, kelak. (Soni Farid Maulana/"PR")
Sumber HU Pikiran Rakyat, Minggu 30 Juli 2006 |
0 komentar:
Posting Komentar