18.47 Edit This 0 Comments »
MENDIDIK : BAGAIKAN AIR YANG MENETES PADA BATU KERAS SECARA TERUS MENERUS

          Ide memang bisa muncul kapan dan dimanapun juga. Ide menulis pun juga sama seperti itu. Memang luar biasa bersosialisasi dalam hal kebaikan, terutama  dalam hal pendidikan atau seluk beluk pengembangan ilmu pengetahuan bagi pendidik maupun maupunpeserta didiknya. Bisa juga berimbas kepada orangtua dan lingkungan di sekitarnya.
          Hal ini terjadi saat penulis berdiskusi kecil dengan Bapak Hadi Suryanto, S.Pd dan Bapak Setio Siam Tririyadi, S.Pd. Mulanya memang sekedar membicarakan beberapa kasus kecil dalam kegiatan belajar mengajar (KBM). Kedua sahabat tersebut melontarkan kalimat yang amat berharga. Bapak Tririyadi mengatakan di dalam mengajar tak usahlah mengharap berlebih untuk memintarkan siswa, tetapi yang terpenting adalah ihlas. Sedangkan Bapak Hadi berpendapat bahwa mendidik itu bagaikan air yang terus menerus menerpa sebuah batu yang keras. 
         Sekilas memang kalimat tersebut merupakan sesuatu yang biasa, tetapi setelah direnungkan dengan sungguh-sungguh, ternyata mempunyai makna yang sangat dalam. Pendidik pada dasarnya memberikan pemahaman ilmu kepada muridnya. Sehingga murid tersebut menjadi paham apa yang mereka  pelajari. Paham akan tujuan utama dalam pendidikan. Keberhasilan dari pendidikan bukan sekedar mengukur peserta didik menjadi pandai, pintar dan serba bisa. Kalau hal tersebut yang menjadi ukuran, semua pendidik tidak akan pernah berhasil.
          Kenapa pendidik dikatakan tidak pernah berhasil kalau takarannya seperti itu, karena setiap angkatan tahun pelajaran,ilmu yang diberikan pada peserta didik pastilah tidak semuanya akan paham dan menjadi pintar. Hal itu tergantung dari kesungguhan dan tingkat intelegensia masing-masing siswa. Sedangkan apabila pendidik takarannya dari ke-ihlasan-nya dalam mengajar, tingkat keberhasilannya akan lain. Pendidik akan merasa selalu berhasil dikala dia dengan ihlas dan setulus hati untuk mendidik para muridnya dengan berbagai kondisi emosional, tingkat kecerdasan dan tingkat sosial yang berbeda-beda.
Ilustrasi Abstrak Bagaikan Air Yang Menetes Pada Batu
 
        Keberhasilannya akan diukur dari bagaimana keihlasan pendidik menerima hasil yang dicapai setiap peserta didiknya. Usaha secara ihlas yang dilakukan menjadi tolok ukur keberhasilan dalam kegiatan belajar dan mengajar. Adanya perubahan sikap yang positif itulah salah satu tanda keberhasilan dari sang pendidik maupun peserta didiknya. Sehingga akhirnya tidak ada bentuk manipulasi hasil yang dipaksakan, karena keberhasilannya selalu dilihat dari keihlasan dalam memandang peserta didik dengan berbagai  kondisi yang ada. Tingkat keberhasilannya tidak hanya dilihat dari skor pencapaian nilai yang ada, tetapi lebih dari itu. Perubahan sikap, daya pikir dan peningkatan kemampuan kearah positif itu adalah bentuk keberhasilan dalam istilah keihlasan di atas.
         Bagaimana hubungannya dengan kalimat “Proses belajar bagaikan batu yang terkena tetesan air hujan secara terus menerus”.  Peribasa ini mempunyai makna simbolis bahwa setiap perjuangan dalam menempuh ilmu  tidak akan pernah sia-sia, selama kita terus menerus bekerja keras untuk belajar dan tidak pernah menyerah, maka pasti kita akan berhasil dalam menimba ilmu yang dipelajari. Semua itu hanya masalah waktu saja.."
         Peribahasa tersebut kita nukil dari Ibn Hajar Al Asqalani pada sebuah kisah beliau dengan batu yang ia jadikan sebagai permulaan motivasi dan keinginannya yang kuat untuk belajar.  Kisah itu bermula ketika beliau masih belajar disebuah madrasah, ia terkenal sebagai murid yang rajin namun ia selalu tertinggal jauh dari teman-temannya. Bahkan sering lupa dengan pelajaran-pelajaran yang telah di ajarkan oleh gurunya di sekolah yang membuatnya patah semangat dan frustasi.

         Beliaupun meminta izin kepada gurunya untuk meninggalkan sekolahnya. Dalam kegundahan hatinya meninggalkan sekolahnya hujan pun turun dengan sangat lebatnya, mamaksa dirinya untuk berteduh didalam sebuah gua. Ketika berada didalam gua pandangannya tertuju pada sebuah tetesan air yang menetes sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu, ia pun terkejut. Beliau  pun berguman dalam hati, sungguh sebuah keajaiban. Bagaimana mungkin batu itu bisa terlubangi hanya dengan setetes air. Ia terus mengamati tetesan air itu dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa batu itu berlubang karena tetesan air yang terus menerus.  

        Dari peristiwa itu, seketika ia tersadar bahwa betapapun kerasnya sesuatu jika dia di asah terus menerus maka ia akan manjadi lunak. Batu yang keras saja bisa terlubangi oleh tetesan air apalagi kepala saya yang tidak menyerupai kerasnya batu. Jadi kepala saya pasti bisa menyerap segala pelajaran jika dibarengi dengan ketekunan, rajin dan sabar. Sejak saat itu semangatnya pun kembali tumbuh lalu beliau kembali ke sekolahnya dan menemui Gurunya dan menceritakan pristiwa yang baru saja ia alami. Melihat semangat tinggi yang terpancar dijiwa beliau, gurunya pun berkenan menerimanya kembali untuk menjadi murid disekolah itu.

        Sejak saat itu perubahan pun terjadi  dalam diri Ibnu Hajar. Beliau manjadi murid yang tercerdas dan malampaui  teman-temannya yang telah manjadi para Ulama Besar dan ia pun tumbuh menjadi ulama tersohor dan memiliki banyak karangan dalam kitab-kitab yang terkenal dijaman kita sekarang ini. “Kisah Beliau diatas bisa menjadi motivasi bagi kita semua, bahwa sekeras apapun itu dan sesulit apapun itu jika kita betul-betul  ihlas dan telaten serta kontinyu dalam belajar niscaya kita akan menuai kesuksesan. Jangan pernah mengeluarkan kata-kata menyerah atau kalah sebelum kita berjuang dan mencobanya.

         Seorang pendidik memang dituntut secara ihlas dan kesabarannya untuk memberikan ilmunya kepada peserta didik. Apapun kondisi yang ada pada para peserta didik itu. Ihlas menerima kondisi yang dimiliki baik secara intelegensia, moral, fisik maupun tingkat kemampuan materi yang dimilikinya. Harus benar-benar ihlas, kemudian perlu ditanamkan kemauan yang keras untuk bisa merubah kondisi yang ada pada para peserta didiknya.

        Sebodoh apapun peserta didik, tetap dituntut kegigihannya dengan berbagai cara penerapan teori belajar dan langkah-langkah praktik secara nyata tanpa ada rasa keluhan sedikitpun. Pendidik harus tetap berprasangka baik bahwa sekeras apapun sebuah batu akan terkikis juga apabila terkena tetesan air secara terus menerus. Biarkan mereka berkembang sesuai tingkat kemampuan yang ada. Tiap siswa mempunyai tempo waktu yang berbeda untuk bisa menerima dan memahami ilmu yang diberikan oleh pendidik.

        Perlu juga diberikan pemahaman pada peserta didik untuk tidak mudah patah semangat karena kesulitan dalam menerima materi mata pelajaran yang ada. Berikan perumpaan-perumpaan yang bisa menggugah semangatnya kembali dalam menempuh mata pelajaran yang bisa menyulitkan diri para siswa. Seperti halnya, “BATU SEKERAS APAPUN, JIKA DITETESI AIR SECARA TERUS MENERUS, MAKA BATU TERSEBUT PASTI AKAN BERLUBANG JUGA” dengan penjelasan dan pendekatan yang bisa menyentuh hati siswa, niscaya semangat belajar siswa akan meningkat juga.

         Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa proses belajar mengajar diperlukan adanya “KEIHLASAN DAN KETEGUHAN SEMANGAT” dari berbagai sektor baik itu Pendidik maupun  Peserta Didiknya. Sehingga keberhasilan pendidikan akan dapat diraih sesuai dengan yang diharapkan. Tanamkan semangat berjuang untuk semua yang terkait dalam dunia pendidikan. Semangat berjuang tersebut juga dibutuhkan adanya rasa ihlas sepenuh hati dari permulaan kegiatan belajar, proses belajar hingga hasil belajar nantinya. Dan satu lagi yang perlu kita perhatikan, bahwa kunci dari segala keberhasilan adalah pada diri kita sendiri yang terkait di dalamnya. Ini sejalan dengan firman Allah : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai ia sendirilah yang mengubah keadaan mereka sendiri” ( QS. Ar Rad : 11 ).

         Harus mulai ditanamkan pada diri kita bahwa mendidik adalah suatu bentuk keihlasan yang membutuhkan perjuangan yang terus menerus (kontinyu) tidak kenal menyerah yang juga membutuhkan materi dan dana yang tidak sedikit untuk dapat meraih suatu tujuan keberhasilan dalam pendidikan. Sedangkan tolok ukur keberhasilannya adalah adanya perubahan kearah positif pada para pendidik, peserta didik dan lingkungannya.


Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus Pendidikan Seni Rupa IKIP Semarang (UNNES)
Pendidik Seni Budaya SMP Negeri2 Gemuh

0 komentar: