
Graffiti dahulunya adalah dianggap seperti pedagang kaki lima yang hanya  bisa merusak keindahan/pemandangan kota(VANDALISM)....tetapi di zaman  sekarang ,,graffiti sudah dianggap sebagai KARYA SENI(ART)...
Sebenarnya...apakah graffiti itu art atau vandalism....??
Sebuah tanda tanya besar bagi orang yang belum menguasai apa arti graffiti...
di sini anda dapat mengetahi itu...!!
Dinding-dinding  di sepanjang Jalan Tamblong yang semula putih bersih, kini sedikit  berwarna. Kini, selain dipenuhi oleh "flyers" dan poster yang ditempel  sembarangan, coretan-coretan jahil yang dibuat dengan cat semprot, juga  mulai memenuhi dinding-dinding tersebut. Bikin mata orang-orang yang  lalu lalang, mau nggak mau seperti tersihir untuk melihat atau sekadar  melirik. Katanya sih, itu adalah graffiti, coretan yang dibuat untuk  mengekspresikan kebebasan.
Graffiti yang berasal dari bahasa  Yunani "graphein" (menuliskan), diartikan oleh wikipedia.org sebagai  coretan pada dinding atau permukaan di tempat-tempat umum, atau tempat  pribadi. Coretan tersebut, bentuknya bisa berupa seni, gambar, atau  hanya berupa kata-kata. Graffiti yang banyak bertebaran di jalanan kota  Bandung, masih sebatas coretan kata-kata yang merupakan identitas geng  atau malah hanya berupa nama. "Itu masih bisa dikategorikan sebagai  seni, walau mungkin pada levelnya berbeda, ya," ungkap Roy, seorang  pelaku graffiti yang sempat belia temui ketika membuat satu graffiti di  sebuah distro di bilangan Jalan Burangrang, Jumat (9/12).
Penggunaan cat semprot untuk bikin sebuah graffiti, sudah mulai dikenal  di New York, akhir tahun 60-an. Coretan pertama dengan cat semprot,  dilakukan pada sebuah kereta subway. Seorang bernama Taki yang tinggal  di 183rd Street Washington Heights, selalu menuliskan namanya, entah itu  di dalam kereta subway, atau di bagian luar dan dalam bis. Taki183,  gitu bunyi tulisan yang ia buat menggunakan spidol. Taki ini seperti  ingin nunjukkin identitas dirinya. 183 yang ia tulis setelah namanya,  nunjukkin tempat tinggalnya.
Gara-gara coretannya tersebut,  orang-orang di seluruh kota jadi kenal dengan Taki, lewat  coretan-coretan misteriusnya. Di tahun 1971, mister Taki ini diinterview  oleh sebuah majalah terbitan New York. Dari situlah, kepopuleran Taki  diikuti oleh anak-anak seluruh New York. Anak-anak ini tertarik karena  kepopuleran bisa diperoleh dengan hanya menuliskan identitas mereka  --disebut juga tagging-- pada bus atau kereta yang melewati seluruh  kota. Semakin banyak nama atau identitas seorang anak, sudah pasti ia  akan semakin populer.
Setelah spidol, media yang kemudian biasa  digunakan adalah cat semprot, yang dipakai untuk nge-bomb (istilah untuk  menyemprot) bagian luar kereta. Karena semakin banyaknya orang-orang  yang bikin tagging, nggak heran kalau setiap writers, pengen punya style  sendiri. Dari situ, mereka nambahin warna-warna yang eyecatching,  efek-efek khusus, bahkan mereka mencoba untuk menuliskan namanya lebih  besar. Dengan bantuan cat semprot, pengerjaan graffiti ini lebih cepet  beres.
Makanya, untuk mengantisipasi tagging yang mulai mewabah,  pihak kepolisian setempat sampai melarang penjualan cat semprot pada  anak-anak di bawah umur. Saking banyaknya pelaku graffiti, di Meksiko  pun diberlakukan aturan serupa. Bahkan, setiap pembeli cat semprot harus  menunjukkan identitas yang jelas dan menyertakan alasan untuk apa cat  semprot itu digunakan.
"Bikin graffiti di public space itu  seperti punya gengsi sendiri. Selain itu adrenalin bakal terpacu, karena  takut dikejar polisi atau gangster," kenang Roy, yang pernah ke-gap  sama gangster pas bikin graffiti di public space. Yup. Selalu public  space yang menjadi sasaran para seniman jalanan ini untuk berkreasi.  "Sebagian orang ada yang nganggep graffiti sebagai karya seni, tapi  nggak sedikit juga yang bilang kalau coretan-coretan itu malah  ngerusak," kata Radi, seorang mahasiswa seni lukis Fakultas Seni Rupa  dan Desain (FSRD) ITB.
Jika graffiti ini dilakukan tanpa seizin  pemilik tempat, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai tindakan  vandal. Mungkin banyak di antara Belia yang belum tau apa itu arti  vandalisme. Vandalisme bisa diartikan sebagai tindakan yang merusak  properti orang lain. It means, graffiti atau mural yang dilakukan tanpa  izin di tempat-tempat umum, bisa dikategorikan sebagai vandalisme.  Sementara, banyak orang yang berpendapat, kalau graffiti di  dinding-dinding jalan, masih lebih baik daripada dinding-dinding  tersebut kotor, tidak terawat, dan penuh dengan tempelan flyers atau  brosur-brosur yang nggak penting.
Kalau Belia lewat Jalan  Siliwangi, mata terasa lebih segar karena ngeliat mural di sepanjang  dinding jalan, pasti setuju kalau karya seni yang seperti itu bukan  termasuk perbuatan vandal. "Iyalah. Soalnya mural di Siliwangi itu legal  kok. Pihak Pemda, sekitar dua tahun lalu, pernah ngasih proyek itu buat  kita," kata Yogie, yang bareng Radi, jadi konseptor pembuatan mural  tersebut.
Mural yang berarti lukisan pada permukaan yang lebar,  memang terasa lebih legal dibandingkan dengan graffiti yang berkesan  liar. "Bedanya sih, mungkin hanya pada medianya aja ya. Kalau graffiti  banyak pake cat semprot, sementara mural make cat tembok. Kalau nyeni  atau nggaknya ya, tergantung yang liat. Nggak ada parameter khusus,"  lanjut Yogie.
Senada dengan Yogie, Roy pun bilang kalau bagus  atau jelek itu relatif. "Susah sih, kalau mau bilang bagus atau jelek.  Isi tulisan-tulisannya, mungkin dibilang jelek tapi malah keinget terus  sama yang baca. Tapi graffiti di film Alexandria saya bilang butut,  sementara orang lain mungkin bilang itu bagus," tandas Roy sembari  memberi contoh.
Legal atau nggaknya sebuah karya di jalanan, bagi  Roy yang juga lulusan FSRD ini, tetap dinilai sebagai sebuah karya. "Di  Jogja, graffiti dan mural malah dilegalkan. Pemerintah setempat  ngebolehin, bahkan menyediakan lahan untuk para street art berkarya.  Sementara di Bandung, belum ada pelegalan seperti itu. Beda ceritanya  kalau lu punya duit," katanya sedikit berapi-api.
Alih-alih  sebagai tindakan vandal, graffiti, mural, tagging, dan sebagainya adalah  merupakan kebebasan berekspresi. Tetapi, kebebasan berekspresi saat ini  masih didominasi oleh kaum berduit, yang mampu membeli tempat untuk  menumpahkan kreativitasnya. Sementara para seniman jalanan, mesti  sembunyi-sembunyi atau malah kejar-kejaran dengan pihak aparat hanya  untuk berkreasi. "Seniman yang jelas-jelas bikin karya di privat place  aja sempat dibakar aparat, apalagi street art yang berkarya di public  space," lanjut Roy.
Setiap seniman punya style masing-masing  untuk mengekspresikan karyanya. Makanya, tidak sedikit seniman yang  malah "bersaing" untuk bisa menciptakan karya bagus di tempat yang lebih  lebar, misalnya, atau untuk meraih kepopuleran. Selain saingan, ada  juga proses pembelajaran yang diturunkan dari seniman yang tergolong  kelas senior kepada juniornya. "Yang baru belajar biasanya jadi kenek  dulu. Kerjaannya masih sebatas ngewarnain, atau bantuin yang gampang.  Seniornya, yang bikin sketsa di kertas dan di dinding," ujar Roy.
Proses  bikin graffiti atau mural kurang lebih sama. Pertama, sketsa dibuat  pada kertas, lalu kemudian sketsa tersebut dipindahkan ke dinding. "Yang  lebih gampang sih, si sketsa udah "ditembakkin" pake proyektor, jadi  nggak perlu bikin sketsa di tembok. Tapi, ya, gengsinya mungkin lebih  turun kalau dibantu pake proyektor," kata Roy lagi.
Nggak sedikit  duit yang dikeluarin untuk bikin satu graffiti atau mural. "Untuk bikin  gambar di tembok yang berukuran sedang, bisa habis kira-kira dua puluh  kaleng cat semprot. Sementara ini (garasi distro yang sedang dibuat  graffiti-red) abis 40an kaleng," jelas Roy.
Sayang banget kan  kalau hanya ngabisin cat semprot untuk tulisan-tulisan yang nggak ada  maknanya, atau malah bikin sebel orang yang liat. Radi dan Yogie pun  punya pendapat serupa. "Kalau mau bikin graffiti atau mural, mending  sekalian yang edun, daripada hanya tulisan atau gambar yang teu  kaharti."katanya.
Graffiti sampai kapan pun mungkin bakal jadi  kontroversi. Di satu pihak bakal bilang kalau graffiti itu perbuatan  vandal, tapi pihak yang lain mengartikan seni, kebebasan berekspresi.  Lain halnya di Yogyakarta, yang setiap seniman bebas berkarya, pihak  pemerintah pun nggak perlu repot-repot ngejar-ngejar seniman yang  bandel. Karya yang nggak bikin sakit mata, lebih-lebih sakit hati, tentu  bakal diapresiasi dengan baik oleh masyarakat. Kebebasan berekspresi  bisa saja diredam, tapi nggak bisa dihentikan.

Di Amerika lah graffiti pertama kali ditemukan, karena semakin banyaknya  bomber-bomber yang membom-bardir sudut-sudut kota di Amerika, akhirnya  pemerintah mulai menyediakan sebuah lahan untuk para bomber  mengekplorasikan karya-karya mereka. Di Philadelphia misalnya. Pada  tahun 1984, Philadephia Anti-Graffiti Network (PAGN) yang tadinya sangat  menentang seni ini akhirnya meciptakan sebuah program yang diberi nama  Mural Arts Program. Program ini menyediakan tempat yang sangat layak,  namun jika para bomber tersebut membuat graffiti di luar wilayah  tersebut, maka hukuman yang berat pun harus siap mereka terima.
Di kota New York tahun 1995, Mayor Rudolph Giuliani dari membuat  sebuah pasukan yang dinamakan Anti-Graffiti Task Force, yaitu pasukan  yang dibuat untuk memberantas para bomber yang berkeliaran di kota ini.  Selain itu para penjual cat semprot hanya boleh menjual dagangannya pada  orang yang sudah berumur 18 tahun ke atas dengan menunjukan identitas  mereka tersebut. Para bomber yang tertangkap juga harus membayar denda  sebesar US$ 350, yang tentunya sangat memberatkan para bomber.  Akhirnya  salah seorang bomber terkenal NYC yang bernama Zephyr melakukan  serangkaian usaha untuk melegalkan kegiatan ini, yaitu dengan menulis  surat ke pemerintah. Peter Vallone, Jr. yang pada saat itu menjabat  sebagai anggota pemerintahan melegalkan permintaan tersebut pada tanggal  1 Januari 2006, namun dengan syarat para bomber yang melakukan kegiatan  tersebut harus berumur 21 tahun ke atas.

Aliran atau gaya dalam graffiti cukup banyak, namun “tag” merupakan  salah satu dasar yang harus dimiliki oleh para bomber. Tag merupakan  gaya dalam menulis atau membuat gambar-gambar atau tulisan sehingga  menarik, biasanya para bomber memiliki ciri khas masing-masing pada  tag-nya tersebut. Selain tag ada pula yang disebut throw-up atau biasa  disebut fill-in, ini adalah sebuah teknik menggambar dengan sangat cepat  dengan menggunakan dua hingga tiga warna, di mana kecepatan menjadi  tujuan utama dalam gaya yang satu ini.
Paling seru dalam graffiti  ialah apa yang di sebut dengan wildstyle. Gaya ini adalah sebutan di  mana seorang bomber dapat melakukan apa saja, baik itu dari segi desain  atau pun pemilihan warna, dan karya yang paling ekstrim menjadi sesuatu  yang paling menarik di sini. Para bomber pun saling menghasilkan  karya-karya yang terkadang membuat seseorang harus memperhatikan dengan  seksama maksud dan arti dari karya-karya mereka tersebut.

Graffiti sekarang mulai memasuki masa keemasannya, selain di Indonesia  sendiri, di Amerika atau tepatnya di Brooklyn Museum sering diadakan  pameran graffiti yang kini disebut juga sebagai seni kontemporer.  Berbagai bomber profesional seperti Crash, Lee, Daze, Keith Haring dan  Jean-Michel Basquiat menjadi pahlawan dalam seni graffiti. Sekitar 22  bomber ikut berpartisipasi dalam pameran ini. Lain di Amerika lain pula  di Australia. Negara yang satu ini bahkan menjadikan graffiti sebagai  lomba publik yang selalu memiliki jumlah peserta yang sangat banyak.
Semua artikel dan gambar diambil dari 
http://graffiti-indonesia.blogspot.com/