BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU
17.11 Posted In https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=714179692937171353#editor/target=post;postID=539461858046922745 , PENDIDIKAN Edit This 0 Comments »
BELAJAR
SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU
Belajar kadang menjadi momok bagi sebagian
besar anak. Mendengar perkataan belajar, anak/siswa seakan mendengar sesuatu yang enggan untuk dijamah bagi mereka. Rasa
berat hati untuk memulai dan melakukan kegiatan yang dinamakan belajar. Anak
merasa terbebani untuk melakukan kegiatan belajar. Seakan mereka akan melakukan
sesuatu kegiatan yang membuat dirinya tertekan, memberatkan dan menakutkan
hingga akhirnya anak-anak tersebut malah menjauhi dan tidak melakukan kegiatan
belajar tersebut.
Kenapa belajar menjadi sesuatu kegiatan
yang kurang disukai oleh anak? Kenapa bisa terjadi? Menurut survei yang
dilakukan oleh Tony Buzan selama 30 tahun, ia melakukan penelitian yang berkaitan dengan
asosiasi seseorang terhadap kata "belajar". Waktu ditanyakan kepada
responden kesan apa yang muncul dalam pikiran mereka saat mendengar kata
"pendidikan" atau "belajar", jawabannya adalah
"membosankan", "ujian", "pekerjaan rumah",
"buang-buang waktu", "hukuman", tidak relevan",
"tahanan", 'idih'....., "benci dan takut". Intinya belajar
adalah sesuatu yang sangat membebani dan membatasi kebebasan anak untuk
melakukan kegiatan yang disenanginya.
Dari hasil survei tersebut dapat
disimpulkan bahwa belajar dan sekolah
bukanlah hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Padahal saat anak-anak belum
cukup umur, mereka merengek-rengek mau ikut sekolah bersama kakaknya. Mereka
juga senang menulis dan menggambar atau membuka-buka buku walaupun belum
mengerti isinya. Mengapa bisa terjadi demikian? Mungkin ada semacam sesuatu pemaksaan dan
beban saat anak mulai bersekolah sehingga keasyikan mereka menguasai
keterampilan menjadi hilang? Mari kita telaah terlebih dahulu makna belajar
yang sesungguhnya.
Kegiatan
belajar adalah suatu proses perubahan
perilaku yang bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak
sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar,
melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu
sosialisai untuk mendapatkan pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah
perubahan perilaku, dan itu menjadi target dari belajar. Dengan belajar,
seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa.
Kita perlu memperluas pemahaman tentang
belajar tidak hanya pada pengetahuan yang bersifat konseptual, melainkan juga
hal-hal yang menyangkut keterampilan serta sikap pribadi yang mempengaruhi
perilaku seseorang. Ada beberapa hal yang perlu disentuh berkenaan dengan
belajar yaitu: jati diri dan perkembangan kepribadian, latihan meningkatkan
kemampuan dalam ketrampilan hidup, teknik berpikir atau pola pikir, kompetensi
atau kemampuan yang bersifat akademik, fisik, dan artistik. Satu hal lagi yang
sangat penting dan perlu disentuh yaitu sudut pandang keagamaan. Tingkat keyakinan
religi seorang anak juga dapat berpengaruh terhadap pola belajar seorang anak.
Pada
dasarnya anak mempunyai tingkat berpikir yang brillian (Tony Buzan), mereka
berkembang dalam suatu pembelajaran yang dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga
dan sosial belajarnya. Tingkat minat dan keinginan belajar anak sangat
dipengaruhi ketiga hal tersebut, sehingga dapat ditarik benang merah
ketidaksukaan anak dalam belajar juga dipengaruhi adanya lingkungan, suasana
keluarga dan sosial belajarnya yang kurang mendukung. Lingkungan yang kurang
mendukung suasana belajar membuat anak kurang berminat untuk mengikuti kegiatan
belajarnya. Suasana keluarga dengan tingkat penekanan psikologis anak yang
tinggi juga sangat mempengaruhi ketidaksukaan dan rasa ketakutan untuk
berkreativitas dalam belajar. Hubungan interaksi sosial yang kurang baik
diantara sekian penyebab keengganan anak untuk melakukan kegiatan belajar.
Paradigma belajar yang lebih
menekankan pada seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan
dalam memandang kenyataan sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin
belajar secara kaku dan tekstual harus mulai ditinggalkan. Mulailah dengan cara
pandang yang lebih menyeluruh dengan mengelola suasana emosianal anak ke arah
yang lebih baik dan menyenangkan. Keengganan anak dalam belajar berawal dari
keadaan emosionalnya. Jika anak tertekan, ketakutan dan dalam suasana yang
tidak sesuai dengan kehendaknya bisa berakibat fatal. Akibatnya anak menjadi
malas dan ingin menjauhi sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan belajar. Hal
mendasar ini yang harus mulai ditinggalkan dan dihapus dari dalam pola pemikiran
setiap anak.
Langkah-langkah yang kaku dan terlalu
menekan pada anak disamping membuat ketidaksukaan untuk belajar juga bisa
berpengaruh pada suasana yang membosankan. Suasana membosankan ini bisa terjadi
pada si anak, guru maupun orangtua yang menginginkan anaknya untuk belajar
lebih serius. Hal ini juga perlu dicarikan solusi jalan keluarnya.
Langkah-langkah mengenai hal ini misalnya dengan memberikan kesempatan anak
untuk ngobrol dan
bercanda dengan teman-temannya. Seolah-olah anak tersebut mencatat hal penting yang disampaikan guru.
Pada kenyataannya mereka sedang asik berbincang tentang hal yang lebih menarik
(musik, film, gossip, bahkan tak jarang membicarakan guru yang sedang
mengajar).
Belajar yang menjadi momok, tidak
disukai dan menimbulkan kebosanan, semuanya ini harus dicarikan solusi jalan
keluarnya. Jalan keluarnya adalah menciptakan suasana yang segar/fresh, suasana
yang lebih santai dan seakan-akan berada diluar area proses belajar si anak.
Berusaha menciptakan suasana belajar yang penuh dengan keceriaan, bebas dari
tekanan dan dalam suasana yang seakan-akan pada situasi canda tawa mereka,
walaupun juga harus dikendalikan dalam keseriusan yang tak nampak. Artinya
canda gurau mereka masih dalam pakem belajar yang benar tetapi mereka tidak
merasa terkekang dengan suasana kegiatan belajar yang sedang mereka lakukan.
Proses belajar ini bisa dikatakan dengan istilah lain yaitu arena “BELAJAR
SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU”.
Bentuk
rasa senang
dan canda dalam belajar
adalah masalah suasana hati. Ini diperoleh melalui perlakukan guru dan orang
tua melalui dorongan dan motivasi mereka. Sebenarnya yang diperlukan oleh anak dalam belajar adalah rasa percaya diri. Maka tugas
orang tua dan guru tentu saja menumbuhkan rasa percaya diri mereka.. Dari
pengalaman hidup, kita sering menemukan begitu banyak anak yang ragu-ragu atas
apa yang mereka pelajari, sehingga mereka perlu didorong dan diberi semangat
lewat kata – kata dan perlakuan.
Apabila anak merasa kurang percaya diri, maka anak perlu
dibantu. Coba menemukan hal hal positif pada dirinya dan pujilah dia agar rasa
percaya dirinya bisa datang. Komentar -komentar positif dapat membangkitkan
percaya diri mereka. Anak belajar memang tergantung pada faktor fisik (suasana
lingkungan), faktor emosional (suasana hati) dan faktor sosiologi atau
lingkungan teman, guru, orang tua dan budaya sekitar. Rasa senang dalam belajar
dapat tercipta jika terjalin keakraban antara guru dan anak. Keakraban antara guru dan anak sangat menentukan keberhasilan belajar bagi anak. Jika hal ini terjalin suasana belajar akan lebih
santai, lebih bisa mengungkapkan idenya sehingga lebih kreatif, anak akan lebih
termotivasi ikut belajar sehingga anak akan lebih mudah menangkap pelajaran. Anak tidak akan
merasa sungkan bertanya jika mereka tidak mengerti karena salah satu jalan
membuat siswa cepat mengerti adalah dengan cara bertanya.
Menjadikan suasana akrab dengan anak bukanlah hal yang sulit. Orang
tua dan guru perlu
menciptakan suasana bahwa pada saat belajar, orang tua, guru dan anak sedang belajar. Bahwa pada saat itu mereka juga
didengar ide, pendapat dan kreativitasnya, guru/orang tua akan menjadi pengarah dan fasilitator mereka dalam
belajar. Dan guru perlu bersikap adil terhadap siapapun, artinya anak perlu diperhatikan sesuai porsinya. Misalnya anak
yang pintar perlu diarahkan untuk lebih memperhatikan temannya yang kurang
pintar. Anak yang nakal perlu diaktifkan untuk lebih berperan dalam proses
belajar misalnya dengan menunjuk anak tersebut untuk membantu menertibkan teman
– temannya. Guru menegur dan marah juga harus pada tempatnya dan ada alasannya.
Dan salah satu cara untuk menciptakan suasana akrab dengan anak adalah berusaha
untuk mengenal secara fisik dan psikologisnya.
Lingkungan belajar melibatkan orang-orang, perilaku, gagasan,
dan suasana hati. Untuk memaksimalkan dorongan alamiah dalam diri anak,
lingkungan belajarnya harus memenuhi beberapa persyaratan. Anak membutuhkan
lingkungan yang menanggapi perilakunya. Lebih cepat dan lebih konsisten
tanggapan yang diberikan kepadanya, maka lebih cepat ia akan belajar.
Persyaratan utama yang lain adalah kebebasan. Anak merasa tidak aman bila tidak
ada batasannya. Dengan memberikan batasan tertentu, anak cukup leluasa untuk
menyelidiki. Untuk menumbuhkan semangat kemandirian pada seorang
anak dan kemampuan untuk
mengambil inisiatif, berikan dia kesempatan untuk memilih apa yang ingin dilakukan atau pelajari.
Langkah-langkah tepat dengan tetap
menempatkan anak sebagai sosok yang perlu diberikan perhatian lebih akan memberikan cara pandang anak tentang apa
itu sebenarnya belajar. Mereka akan menyadari bahwa ternyata belajar itu sangat
menyenangkan. Belajar bukan sesuatu yang menakutkan, belajar bukan sesuatu yang
membosankan tetapi belajar adalah sarana untuk menyegarkan kembali kesenangan
dan kegembiraan yang ada pada diri si anak tersebut. Belajar menjadi suatu
sarana untuk menyalurkan hobi mereka dalam bentuk afektif (moral), kognitif
(pengetahuan) serta psikomotor (ketrampilan/olahraga). Sehingga belajar
benar-benar sebagai sarana untuk bercanda dengan ilmu.
Untuk menciptakan tercapainya suasana “BELAJAR
SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU” perlu diperhatikan beberapa hal sebagai
berikut: pertama, peran orang
tua dan guru sangat diperlukan dalam membangkitkan semangat belajar siswa.
Kedua, guru harus dapat
menciptakan suasana yang menyenangkan saat belajar di kelas agar siswa
tidak bosan. Ketiga, meningkatkan rasa percaya diri sangat dibutuhkan oleh siswa dalam
belajar.
Keempat, suasana belajar
merupakan factor utama dalam mencapai sasaran pembelajaran.
Kelima, belajar juga bisa
dilakukan di luar kelas untuk mengganti suasana, agar tidak membosankan.
Semoga dengan cara-cara di atas akan
menciptakan wawasan baru bagi anak tentang nikmat dan bahagianya melakukan
suatu kegiatan belajar. Pandangan yang lebih menyegarkan dan lebih santai
karena ternyata belajar hanyalah sebagai sarana bercanda dalam mengarungi luasnya
suatu ilmu. Belajar tidak harus dilakukan dengan suatu teknik yang terlalu
formal dan mungkin terlalu kaku dan kadang menegangkan bagi sebagian besar
anak-anak. Dengan cara itu pula akan didapatkan anak-anak yang sehat fisik,
moral maupun psikologisnya.
Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus Pendidikan Seni Rupa UNNES/IKIP Semarang
Pendidik Seni Budaya di SMP 2 Gemuh
0 komentar:
Posting Komentar