Seni Budaya
(Wayang) Sebagai Media Dakwah
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung (QS Ali
Imron : 104) .
Kegiatan berdakwah sudah ada sejak adanya tugas dan
fungsi yang harus diemban oleh manusia di belantara kehidupan dunia ini. Hal
itu dilakukan dalam rangka penyelamatan seluruh alam, termasuk di dalamnya
manusia itu sendiri. Namun kegiatan dakwah sering kali dipahami, baik oleh
masyarakat awam ataupun sebagai masyarakat terdidik, sebagai sebuah kegiatan
yang sangat praktis, sama dengan tabligh (ceramah). Kegiatan dakwah itu
terbatas hanya di majelis-majelis taklim, mesjid-mesjid dan mimbar-mimbar
keagamaan.
Sebagaimana semarak dakwah (dalam dimensi tabligh)
yang terjadi dewasa ini, di satu sisi merupakan perkembangan yang cukup
menggembirakan, sebagai indikator ghirah keagamaan masyarakat mulai
tumbuh kembali. Tapi di sisi lain, secara kualitatif, kegiatan tabligh
di atas kurang sepenuhnya mengena pada tujuan akhir dari kegiatan dakwah itu
sendiri, dan tidak membuat banyak perubahan khalayak dakwah (mad’u). Pasalnya,
para pelaku dakwah nampaknya masih banyak yang belum memahami strategi, metode,
bahkan mengenai hakikat dakwah itu. Sehingga aktivitas dakwahnya terkadang
hanya menekankan pada aspek mobiilitas saja, dan tidak sampai pada peningkatan
pemahaman mengenai ajaran islam yang menyentuh dimensi hidup dan kehidupan
manusia.
Eksistensi dakwah tidak dapat dipungkiri oleh siapa
pun, karena kegiatan dakwah sebagai proses penyelamatan umat manusia dari
berbagai persoalan yang merugikan kehidupannya, merupakan bagian dari tugas dan
fungsi manusia yang sudah direncanakan sejak awal penciptaan manusia sebagai khalifah
fil al-ardh. “Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.”( Q.S Al-Baqarah :
3, 30)”.
Dakwah bersifat multidimensi dan selalu bersentuhan
dengan aneka realitas. Untuk keperluan pemahaman sifat objek kajian yang
demikian, maka sangat diperlukan pendekatan empiris. Alqur’an ternyata berulang
kali memerintahkan supaya manusia meneliti secara empiris fenomena alam
termasuk fenomena yang ada pada diri manusia dan sejarah. Bahkan perintah
pertama Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi saw adalah supaya membaca
(memahami) ayat-ayat kauniyah. Sebab perintah iqra’ tidak menyebut objeknya
secara khusus, dan nabi saw sendiri ketika itu tidak sedang menghadap tulisan
disamping beliau adalah ummi.
Budaya dan Dakwah
Pendekatan dakwah intra dan antarbudaya, yaitu proses
dakwah yang mempertimbangkan keagamaan budaya antarda’I dan mad’u, dan
keagamaan penyebab terjadinya gangguan interaksi pada tingkat intra dan
antarbudaya agar peran dakwah dapat tersampaikan dengan tetap terpeliharanya
situasi damai.
Dengan demikian, pendekatan dakwah intra dan
antarbudaya adalah : pendekatan budaya damai sebagai salah satu watak dasar
islam sebagai agama perdamaian.
Budaya (dari kata budhi artinya akal dan
daya artinya kekuatan atau dorongan) berarti kekuatan akal
karena kebudayaan manusia merupakan ukuran pencurahan kekuatan manusia yang
berpangkal pada akal, baik akal pikiran, akal hati maupun akal tindakan. Budaya
berarti juga akal-budi, pikiran dan cara berperilakunya, berarti pula sebagai kebudayaan.
Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang
diperoleh melalui pembiasaan dan belajar, beserta hasil budi dan karyanya itu.
Jadi secara sederhana, kebudayaan adalah hasil cita, cipta, karya, dan karsa
manusia yang diperoleh melalui belajar.
Di balik keberagamannya, Indonesia juga merupakan
negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dari sekitar 230 juta jiwa
lebih penduduknya 85,2% adalah Muslim. Dalam sejarahnya, proses islamisasi di
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran besar Walisongo.
Jika kita memperhatikan pola penetrasi budaya yang
mereka lakukan ternyata para Walisongo ini sama sekali tidak menempuh jalur
kekerasan sedikit pun. Namun mereka amat memahami pluralitas yang ada di
Indonesia dan secara bijak larut ke dalamnya dan turut berpartisipasi dalam
menentukan alur sejarah bangsa. Mereka juga terlibat dalam peran-peran
pembaruan dan pencerdasan masyarakat.
Hal ini menjadi menarik untuk dicermati seiring saat
ini isu pluralisme tengah menghangat. Seperti kata sebuah ungkapan “Seringkali
bukan masalah benar dan salah yang menyebabkan kita berselisih,namun hanya
karena kita berbeda seringkali kita berselisih.” Potensi keanekaragaman ini jangan
sampai menjadi kontraproduktif bagi bangsa dan negara. Dengan memahami sejarah
banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam konteks masa kini. Kiprah para
Walisongo bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita mengenai sikap bijaksana
dalam menyikapi perbedaan.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar
agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah
penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Walisongo muncul
saat runtuhnya dominasi kerajaan Hindu Budha di Indonesia. Walisongo terdiri
dari sembilan orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan
Kalijaga.
Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya
“penolong” ini merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan
sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari
kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan,
hingga ke pemerintahan.
Yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah
aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada
militer dan pedang,tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan
lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar
pengaruhnya, Hindu dan Budha. Namun mereka melakukan perubahan sosial secara
halus dan bijaksana. Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama
masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka. Salah
satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.
Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi
Nusantara semenjak 1.500 tahun yang lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk
kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau
dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada mulanya sebelum
Walisongo menggunakan media wayang, bentuk wayang menyerupai relief atau arca
yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara
yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang
berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media
mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur
yang bertentangan dengan aqidah, doktrin keesaan Tuhan dalam Islam. Selanjutnya
para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam.
Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi
bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan memanjang
sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam
cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon
Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala
isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada
saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu,
bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya,para Wali berperan besar dalam
pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat
berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah
mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa
Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang
Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana
yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus
dicari (Wayang Golek)”.
Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya,
para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya
lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa,
gamelan, dan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca
syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah
satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan
kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara
suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg
maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota
berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai
karya Sunan Kalijaga.
Kesimpulan
Urgensitas penyampaian pesan nilai-nilai ilahi yang
disampaikan oleh para Walisongo, telah dibungkus dan dikemas dengan semenarik
mungkin. Hal ini menyebabkan ketertarikan dari masyarakat yang ingin
mempelajari ajaran islam. Kedamaian, kehalusan, dengan penyampaiannya tanpa
menggunakan kekerasan dan menginjak-injak citra suatu golongan, telah
memberikan citra yang baik terhadap mereka.
Mereka adalah penolong bagi masyarakat Indonesia yang
memang pada saat itu dikenal memiliki kepercayaan animisme, hampir jatuh pada
hal-hal yang berbau musrik dan yang merusak aqidah masyarakat Indonesia.
Artikel ini diambil
dari http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/573