MOTIF BURUNG
05.22 Edit This 0 Comments »Motif Burung (Blue Birds) diambil dari http://www.countryliving.com/cm/countryliving/images/antique-coverlet-eagle-awc0507-de.jpg
Herry Dim (lahir di Bandung, Jawa Barat, 19 Mei 1955; umur 54 tahun) adalah seorang pelukis Indonesia. Herry menjadi pelukis pertama
Ia melukis sejak kecil, mulai giat betul melukis selepas SMA di tahun 1973. Berbagai kegiatan melukis dia tekuni. Pada tahun 1975 ikut bergabung dengan Bengkel Pelukis Jakarta, dan diteruskan bergabung dengan Sanggar Garajas di tahun 1976. Kemudian Herry Dim kembali ke
Herry Dim pernah tinggal di Berlin selama 6 bulan. Sempat melakukan kegiatan seni di Mime Centrum dengan seniman setempat dan seniman Ethiopia.
Selain melukis Herry Dim mengerjakan pula artistik untuk seni pertunjukan (drama, tari, musik), seni grafis, disain grafis, seni instalasi, dan kadang-kadang menulis esei seni dan kebudayaan di berbagai media. (diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Herry_Dim).
Mengambil artikel dari LEA PAMUNGKAS
21-08-2008
"...Sering aku memikirkan Indonesia, dengan penuh kenangan dan kesedihan.
Lebih dari 10 tahun, aku mendengar namanya. Salim. Seorang pelukis di belantara prestisius, Paris. Banyak orang membicarakan dengan mata penuh kekaguman. "...Seorang yang punya sikap," begitu rata-rata pendapat orang.
Dalam sebuah kesempatan tanpa sengaja, aku melihat karya lukisnya di sebuah rumah di Herengracht, Amsterdam. Karyanya dikoleksi oleh seorang budayawan terkenal Indonesia. Sedikit garis, bidang-bidang, dan warna-warna.
"Karya kubisme?" tanyaku saat itu pada seseorang. "Tidak, ini Salim."
Pikiranku mulai pontang-panting, saat seseorang meminta aku pergi untuk mewawancarai Salim. Dan waktunya makin dekat. Tak banyak referensi tentang dia kuperoleh lewat tulisan. Juga pembicaraan yang kukorek dari beberapa orang yang kusangka bisa bercerita banyak tentang dia, nyatanya tidak membuatku ‘makin kenal'.
Olehnya bayangan aku tentang dia mengembara sendirian. Selain dia pelukis, ‘punya sikap', lalu apalagi? Usianya 100 tahun, pada tahun 1919, ia berangkat ke Eropa. Masa awal remajanya, ia habiskan di Amsterdam, kemudian seterusnya secara resmi bermukim di Paris, dan banyak berkelana ke berbagai penjuru budaya Eropa.
Wow! Kepalaku sedikit tegang. Pertama adalah, dalam sepanjang hidupku aku belum pernahngobrol -apalagi mewawancarai-, seorang yang berusia 100 tahun. Sisanya adalah bagaimana ‘isi' seseorang yang telah melewati pasang surut zaman dan kebudayaan? Apa yang telah dialaminya? Pembicaraan apa yang menarik baginya?
Gelap.
Montparnasse
"Apartemennya penuh dengan burung yang dilepas begitu saja," tukas seorang rekan.
Baik, aku sudah memperoleh alamatnya. Sebuah apartemen di Neuilly sur Seine, kawasan Montparnasse, Paris.
Layaknya orang awak, jika seseorang menyebut Paris, maka yang berseliweran di kepalaku adalah rumah-rumah mode, wangi parfum, orang-orang yang lalu lalang dengan penampilan yang chic dan semerbak. Lalu cafe-cafe dengan bau hangat cappucino dan croisant, masakan khas Perancis di restaurant-restaurant berinterior khas.
Tapi lebih dari itu, adalah kehidupan kebudayaan di Paris. Selain Universitas Sorbonne, banyak budayawan dan seniman besar lahir di sini, atau memilih menetap, atau tak bisa tidak, jatuh cinta pada Paris.
Pelukis legendaris Belanda Vincent van Gogh pernah menetap cukup lama di Paris, kemudian pelukis Italia, Amadeo Modigliani. Juga bintang The Doors, Jim Morrison, dan penulis Irlandia pemenang hadiah nobel, Samuel Becket.
Aku membuka-buka segala macam buku untuk memberikan gambaran lebih detil tentang Salim.
Montparnasse, kawasan apartemen tempat ia tinggal, terletak di selatan kota Paris.
Kendati daerah modern Paris, Montparnasse tak juga dilepaskan dengan kecambah kebudayaan dunia. Di sini ada sebuah restaurant ikan sangat terkenal ke penjuru dunia. Bukan sekadar karena makanan dan atmosfernya yang mengesankan, tetapi karena dulu tempat ini kerap dijadikan tempat nangkringnya para seniman besar.
Filosof Jean Paul Sartre, adalah pelanggan tetap, restaurant yang kini berusia ratusan tahun ini. Begitu pula pelukis Edgar Degas, Pierre-Auguste Renoir, Picasso, Modigliani, dan ...Salim.
"Orang datang ke tempat ini untuk duduk dan bersantai selama berjam-jam, sambil minum-minum, ngobrol, baca koran, atau melamun. Di sinilah saya pernah bertemu dengan seorang Belanda yang boleh dikatakan mengantarkan saya ke dunia sastra," jelas Salim.
Di tempat ini, ada sebuah makam, konon, paling sibuk dikunjungi para pelayat: makam si urakan Jim Morrison The Doors. Dalam matinya, Jim Morrison, bertetangga dengan para seniman dan filsuf besar. Filofof besar Perancis Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvior dimakamkan di Montparnasse, begitu pula penulis romantis terbesar Perancis, Guy de Maupassant, dan penyair Charles Baudelaire.
Montmatre
Penyanyi paling legendaris Perancis, Edith Piaf tak jarang ngamen di bawah bukit Montmatre, kala ia baru saja menapak karir. Dan pelukis Pablo Picasso mengerjakan karyanya Les demoisselles d'Avignon di tempat ini. Sementara Salvador Dali banyak menyelesaikan karya-karya surealistisnya, dan Eduard Manet mengejutkan dunia pada akhir abad 19 dengan karya telanjangnya, juga kala ia tinggal di Montmatre.
Orang-orang Paris, lebih sering menyebut Kawasan Montmatre dengan ‘butte' (bukit), karena tempat ini adalah tempat yang paling tinggi di kota Paris. Dari sini orang-orang bisa melihat lanskap indah ke arah Sacre-Cœur dengan deretan cafe-cafe kecil yang menapak ke arah Montmatre. Kemudian juga Kawasan Pigalle, yang dulu pernah sangat terkenal sebagai kawasan tari dan teater. Dan daerah lampu merah yang sangat banyak mengilhami kaum seniman: De Moulin Rouge
Delsy Sjamsumar atau Delsy Syamsumar beliau adalah pelukis Indonesia satu-satunya yang diakui oleh Lembaga Seni dan Sejarah Perancis lewat buku literatur seni dunia "France Art journal 1974" sebagai seniman Asia Tenggara terbaik dengan segudang bakat propesi seperti sebagai pelukis, illustrator, komikus, disainer, story board film,art director, production disainer film dan sebagainya.
Dalam tulisan journal tersebut ditulis bahwa Delsy adalah " II'exellent dessinateur" dan "Litteratures Contemporaines L' Azie du Sud Est.
Disamping sebagai pelukis cerita bergambar, illustrator yang berbakat beliau juga pernah mendapat penghargaan sebagai Art Director terbaik Asia lewat film berjudul Holiday in Bali, karya sutradara H. Usmar Ismail pada festival film Asia di Tokyo tahun 1964, disaat Olimpiade musim panas berlangsung di Jepang.
Karya-karya lukisnya banyak menghiasi berbagai masmedia cetak ternama
Banyak sekali karya-karya komik yang ia buat seperti komik Mawar putih, Bajak laut Aceh, Pertempuran lima hari lima malam di Palembang, Mat pilun, Tonggeret, Komik pahlawan bersejarah Indonesia seperti: Diponegoro, Sentot Alibasya, Sultan Hassanudin, Christina MT, Tuanku Imambonjol, Cut Nyak Dien dan masih banyak lagi karya-karya yang tak terbilang jumlahnya. Karya-karya komiknya merupakan perpaduan antara seni lukis klasik dan moderen yang mewakili identitas wujud rakyat jelata
Pamaeran lukisan yang dilakukan bersama (biennale) dengan para pelukis ternama Indonesia seperti Basuki Abdullah, Sudjoyono dan sebagainya di Jakarta tahun 1986 telah mengangkat nama pelukis Delsy ini lebih jauh lagi karena karyanya lebih banyak terjual, termahal dan lebih banyak diminati oleh para pencandu lukisan luar dan dalam negeri Indonesia.
Saat itu para pengamat dunia lukis telah menganalisa bahwa faktor-faktor yang menjadi pendorong para pembeli karyanya adalah terletak pada wujud karyanya yang mampu mengekspresikan situasi masyarakat
Beliau dilahirkan di
Ditengah hempasan badai komik dan animasi Jepang yang sedang melanda
Di dunia perfilm-an ada beberapa film-film yang ikut ditanganinya seperti Malam jahanam, Kemelut hidup, Saur sepuh, Bernafas dalam lumpur, Sebelum usia 17,Jangan sakiti hatinya, Live love and tears, Buaya Deli, Jayaprana, dan sebagainya.
Beliau telah menghembuskan nafas terakhir dipangkuan istri pertamanya "Adila" pada tahun 2001 di Jakarta, Indonesia dengan meninggalkan 9 orang anak dan 5 orang istri yang pernah ia nikahi.
Sudah tentu bagi masyarakat
Salah satu contoh karya beliau yang kerap-kali mewarnai penerbitan masmedia
Attachment: delsy lks1.bmp
Attachment: lks4.bmp
Tags: インドネシアの漫画家イラストレーター等
Next: Memorizing an Indonesian Legendary Painter: Delsy Syamsumar
Artikel ini di ambil dari: http://logasiume.multiply.com/journal/item/1
LEE MAN FONG
Seorang pelukis berasal dari cina yang dilahirkan di Cina, Ghuangzhaou, caton pada tahun 1913. ayahnya yang seorang pedagang meninggal pada tahun 1930 saat mereka di
Pada tahun 1936 pemimpin asosiasi Hindia Belanda Timur mengundang Lee Man Fong, yang dikenal sebagai pelukis otodidak, untuk berpartisipasi dalam pameran lukisan yang akan diadakan di belanda, sebelumnya pameran ini diadakan hanya untuk para pelukis yang berkebangsaan belanda. Tentu saja undangan ini dianggap sangat luar biasa, dan hal itu membuat marah komunitas seniman belanda, karena diluar kebiasaan komunitas seniman setempat.
Setelah tahun 1940an, Lee Man Fong mencurah
“saya suka Indonesia” kalimat itu yang sering terlontar dari mulut Lee Man Fong, maka ketika jepang datang ke Indonesia dan hendak menjajah Indonesia,secara gerilya Lee Man Fong turut serta melawan fasisme jepang hingga akhirnya dia harus terpenjara selama 6 bulan pada tahun 1942. untunglah dia ditolong oleh Takahashi Masao seorang opsir yang juga seniman ikebana (rangkaian bunga). mereka berkenalan hingga Takashi Masao tahu kalau Lee Man Fong adalah seorang seniman dan dia tertarik dengan potensi yang dimilikinya maka Lee Man Fong pun dibebaskan.
Pada tahun 1949, Lee Man Fong di beri beasiswa oleh pemerinta Belanda untuk belajar melukis di
Tahun 1952 presiden Soekarno sebagai pecinta seni lukis datang ketempat Lee Man Fong di Jalan Gedong, semangat Lee Man Fong semakin terpacu. Dan pada tahun 1955 dia mendiri
Lukisan Lee Man Fong sangat disukai presiden Soekarno karena lukisan Lee Man Fong dipandang seperti ventilasi ditengah sibuknya revolusi. Maka pada tahun 1961 Lee Man Fong diangkat resmi menjadi pelukis istana dan warga
Tapi setelah diangkat menjadi pegawai resmi istana, dan bertugas mengurus koleksi sang presiden, Lee Man Fong merasa ada yang kurang, karena Lee Man Fong bukanlah seorang pekerja kantoran yg terbiasa dengan jam kerja, lingkungan yang protokoler, dan harus selalu patuh terhadap Presiden. Semua itu tak mudah bagi Lee Man Fong. Akhirnya Lee Man Fong mengajak sahabatnya Lim Wasim yang seorang pelukis juga sebagai asisten Lee Man Fong dan Presiden Soekarno pun menyetujuinya.
Pada masa Presiden Soekarno harus turun, dan keadaan politik di Indonesia sangat kacau, Lee Man Fong pun akhirnya terpaksa harus “lari” ke Singapore, sempat lama tinggal di Singapore dan dianggap tokoh besar Singapore dan pelukis Singapore.
Pada tahun 1985, Lee Man Fong kembali ke
|
ARTKIMIANTO BLOG 2008 All Rights Reserved
Blogger Templates