SENI RUPA TRADISIONAL, MODERN DAN KONTEMPORER
05.42 Edit This 0 Comments »
Karya Lukis Kontemporer dari Semsar Siahaan, diambil dari http://cemara6galeri.wordpress.com/event-2008/mengenang-semsar/http://cemara6galeri.wordpress.com/event-2008/mengenang-semsar/
Karya seni Rupa Modern, diambil dari http://widiwiduraim3m.blogspot.com/2011_09_01_archive.htmlhttp://widiwiduraim3m.blogspot.com/2011_09_01_archive.html
Karya Seni Rupa Tradisional, diambil dari http://www.babadbali.com/seni/drama/dt-drama-gong.htmhttp://www.babadbali.com/seni/drama/dt-drama-gong.htm
A. Seni Rupa Tradisional
Istilah tradisional berasal dari kata “tradisi” yang menunjuk kepada
suatu institusi, artefak, kebiasaan atau prilaku yang didasarkan pada
tata aturan atau norma tertentu baik secara tertulis maupun tidak
tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke
generasi berikutnya. Berdasarkan pengertian tersebut, maka secara
singkat dapat dikatakan bahwa karya seni rupa tradisional adalah karya
seni rupa yang bentuk dan cara pembuatannya nyaris tidak berubah
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bukan hanya itu,
nilai dan landasan filosofis yang berada dibalik bentuk karya seni rupa
tradisional tersebut pun umumnya relatif tidak berubah dari masa-ke
masa. Bentuk-bentuk seni rupa tradisional ini dibuat dan diciptakan
kembali mengikuti suatu aturan (pakem) yang ketat berdasarkan sistem
keyakinan atau otoritas tertentu yang hidup dan terpelihara di
masyarakatnya. Dalam konteks perkembangan seni rupa di Barat (Eropa),
istilah seni rupa tradisional ini menunjukkan pada otoritas penguasa
agama (gereja), raja dan para bangsawan. Para seniman tradisional
menciptakan karya berdasarkan keinginan atau aturan yang telah
ditetapkan sesuai ”selera” institusi-institusi tersebut dan berlangsung
dalam rentang waktu yang panjang, sepanjang kekuasaan
institusi-institusi tersebut.
Berdasarkan pengertian seni tradisional yang telah disebutkan di
atas, kita menjumpai berbagai karya seni rupa di Indonesia khususnya
karya-karya seni kriya dapat dikategorikan sebagai karya seni rupa
tradisional. Banyak sekali benda-benda kriya yang tersebar dikepulauan
Nusantara, yang bentuk, bahan dan cara pembuatannya hingga saat ini
tidak mengalami perubahan yang berarti sejak pertama kali diciptakannya.
Karya-karya seni tradisi ini umumnya hidup di lingkungan masyarakat
yang masih kuat memegang norma atau adat istiadat yang diwariskan para
leluhurnya. Perubahan umumnya terjadi pada fungsi dari benda-benda kriya
tersebut yang semula berfungsi sebagai benda pakai atau benda-benda
pusaka kini menjadi benda hias atau cindera mata. Perubahan sistem
sosial dan budaya masyarakat serta kemajuan teknologi berperan besar
mempengaruhi perubahan fungsi benda-benda tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya dalam konteks seni rupa dunia, istilah
seni rupa tradisional kerap ditujukan kepada karya seni rupa non Barat.
Sifatnya yang mentradisi dan tidak berubah ini menjadi pembeda utama
dengan karya seni rupa Modern yang senantiasa menuntut inovasi dan
kebaruan. Ciri lain dari karya-karya seni rupa tradisional ini adalah
latar belakang penciptaan atau pembuatannya yang senantiasa terikat oleh
fungsi atau konteks tertentu. Pada karya-karya komunal seperti itu,
peran ekspresi individu senimannya nyaris tidak tampak. Hak penciptaan
karya seni rupa bukan milik perorangan tetapi milik masyarakat
pendukungnya. Dengan demikian hampir tidak ada karya seni rupa
tradisional yang menggunakan inisial pembuatnya seperti yang umumnya
terdapat pada karya-karya seni Modern.
Karya seni rupa tradisional tersebar luas dari ujung Barat hingga
ujung Timur kepulauan Nusantara (Indonesia). Sejak masuknya kolonialisme
barat (penjajahan bangsa Eropa) ke kepulauan Nusantara dan
berkembangnya paham seni rupa Modern di Eropa, maka karya-karya seni
rupa Nusantara di luar kategori karya yang menggunakan konsep Modern
tersebut dikategorikan sebagai karya seni rupa tradisional.
Pengkategorian ini dalam pandangan yang sempit seringkali digunakan
untuk menunjukkan karya seni rupa yang bermutu tinggi (modern) dengan
karya yang bermutu rendah (tradisional). Pengaruh penjajahan bangsa
Barat yang cukup lama di kepulauan Nusantara menyebabkan pandangan
semacam ini terus berkembang yang memandang karya-karya seni kriya (seni
rupa tradisional) lebih rendah dari karya seni lukis atau patung
modern. Hal tersebut tidak terlepas dari pandangan sebagian masyarakat
yang memandang modern identik dengan kemajuan dan perkembangan sedangkan
tradisional identik dengan stagnasi, kuno atau ketinggalan jaman. Sikap
dan cara mengapresiasi yang keliru ini seringkali menyebabkan
karya-karya seni rupa tradisional yang sesungguhnya bernilai tinggi
terabaikan dan terlupakan. Padahal karya-karya seni rupa tradisional
Nusantara ini memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan dan
menjadi gagasan dalam berkarya seni rupa. Apresiasi yang tepat
diharapkan dapat menghasilkan inovasi karya-karya seni rupa yang
memiliki cirikhas Indonesia.
B. Karya Seni Rupa Modern
Seni rupa Modern adalah istilah umum yang digunakan untuk
kecenderungan karya seni yang diproduksi sejak akhir abad 19 hingga
sekitar tahu 1970 an. Seni rupa modern menunjuk kepada suatu pendekatan
baru dalam seni dimana tidak lagi mementingkan representasi subjek
secara realistik—penemuan fotografi menyebabkan fungsi penggambaran di
dalam seni menjadi absolut, para seniman modern berksperimen
mengeksplorasi cara baru dalam melihat sesuatu, dengan ide segar tentang
alam, material dan fungsi ini, seringkali bergerak melaju kearah
abstraksi.
Istilah Modernisme sendiri menunjukkan ideologi yang mempengaruhi
gerakan budaya, politik dan seni yang menyertai perubahan masyarakat di
Barat pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Secara meluas, modernisme
dideskripsikan sebagai satu seri pergerakan budaya progresif dalam seni
rupa, arsitektur dan musik, literatur dan seni pakai yang muncul dalam
dekade sebelum 1914. tercakup di dalam perubahan dan kehadirannya,
modernisme menjadi arah karya seniman, pemikir, penulis dan perancang
yang memberikan label baru tradisi akademi dan sejarah seni pada akhir
abad 19 serta mengkonfrontasi aspek ekonomi, sosial dan politik baru
yang dimunculkan dunia modern.
Memahami seni rupa modern dapat juga dengan melakukan analisis
terhadap istilah pembentuknya yaitu ”seni” dan ”modern”. Istilah seni
umumnya merujuk pada segala kegiatan dan hasil karya manusia yang
mengutarakan pengalaman batinnya yang karena disajikan secara unik dan
menarik memungkinkan timbulnya pengalaman atau kegiatan batin pula pada
diri orang lain yang melihat dan menghayatinya. Hasil karya ini lahir
bukan karena didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan hidup manusia yang
paling pokok, melainkan oleh kebutuhan spiritualnya, untuk melengkapi
dan menyempurnakan derajat kemanusiaannya. Dengan batasan seperti ini
kita dapat mencoba untuk menunjukkan benda apa saja yang layak untuk
disebut seni dapat masuk ke dalamnya. Adapun istilah “modern” dalam hal
ini tidak selalu harus dihubungkan dengan waktu. Sarah Newmeyer
misalnya, walaupun terasa agak absurd, menulis dalam bukunya bahwa seni
modern itu boleh jadi berupa gambar bison yang digoreskan 20.000 tahun
yang lalu dan boleh jadi juga karya Picasso yang baru saja diselesaikan
pagi ini.‟ Berdasarkan pendapat ini jelaslah bahwa ia menggunakan
istilah modern tidak dalam hubungannya dengan kronologi melainkan
dimaksudkan untuk menunjukkan sesuatu kelompok karya yang memifiki
sifat-sifat tertentu. Maka sifat-sifat tertentu itulah yang dapat
dipandang sebagal ciri khas seni modem sehingga dengan mudah akan dapat
dikenali mana yang bisa digolongkan dalam seni modern dan mana yang
tidak. Dengan ungkapan itu sesungguhnya artian modern tersebut diperluas
tetapi sekaligus juga dipersempit. Diperluas, karena istilah itu
menyangkut juga seni prasejarah dan dipersempit karena sebaliknya, belum
tentu apa yang dilukiskan sekarang dapat masuk di dalamnya. Apabila
kita ingin membenarkan kata-kata Newmeyer tersebut, dapatlah dikatakan
bahwa setidaknya pada saat diciptakan, seni prasejarah ini memang
memifiki sifat-sifat modern. Kalaupun secara kronologis kita akan
membatasi daerah seni modern ini dan menyempitkan pada karya-karya yang
diciptakan pada apa yang biasa kita sebut sebagai jaman modern, kita
akan juga mengalami kesukaran, yaitu di mana menarik garis batasnya;
kapan dan di manakah mulainya seni rupa modern itu. “Modern art
begins nowhere because it begins everywhere. It is fed by a thousand
roots, from cave paintings 30,000 years old to the spectacular novelties
in the last week’s exhibitions,” kata Canaday yang kurang lebih
menunjang ungkapan Newmeyer di atas. Semua pencapaian dari masa ke masa
di banyak tempat di dunia ini memberikan andilnya pada pembentukan seni
modern, sehingga susahlah untuk menentukan kapan dan di mana periode
seni rupa modern itu sebenarnya mulai. Maka untuk itu, sekali lagi, kita
harus mempunyai pegangan, kualitas apakah yang paling berharga dalam
seni modern tersebut dan dengan itu mencoba untuk mencari kapan kualitas
tadi mulai ada atau berkembang biak dengan baik (Soedarso, 2000).
Kalau kita mengacu periodisasi sejarah umum di Eropa—dimana sebagian
besar kejadian dalam panggung sejarah seni rupa modern ini
berlangsung—maka babakan sejarah modern Eropa dianggap mulai sejak zaman
Renesans pada abad ke-15 sedangkan sejarah seni rupa modern di Eropa
baru pada abad ke-19, dengan munculnya tokoh pelukis J.L. David di
Perancis yang dianggap memiliki sesuatu yang dapat disejajarkan dengan
kualitas modern tadi. Bahkan ada pula yang menganggap seni modern Eropa
dimulai pada massa yang lebih akhir lagi.
Seperti telah diuraikan di atas, seni modern pada dasarnya tidak
terbatas oleh hal-hal yang kasatmata seperti objek-objek lukisan
tertentu ataupun corak dan gaya tertentu, melainkan ditentukan oleh
sikap batin senimannya. Seni modern pun, berkat perkembangan komunikasi
modern yang menyertai kemajuan teknologi, tidak kenal lagi akan
batas-batas daerah dengan kekhasan tradisinya masing-masing. Seni modern
menjadi universal sifatnya. Walaupun di sana-sini ada pula terdapat
cap-cap daerah atau ada kalanya seni tradisi secara sadar atau tidak
dimunculkan oleh seseorang pelukis modern ke dalam hasil karyanya, namun
kenyataannya kita akan kesulitan untuk dapat menebak dari mana asal
sesuatu lukisan yang dihadapkan kepada kita. “Today the boundaries are vague Horizons are infinite; the artist is tempted to explore in a hundred directions at once.” Tulis
Canaday pula. Mengenai yang terakhir ini, yaitu bahwa para seniman
modern terangsang untuk menjelajah ke segala arah, kebenarannya tidak
hanya sebatas arah di peta bumi saja, bahwa misalnya banyak seniman
Eropa meninggalkan negerinya untuk mencari objek lukisan yang lain,
tetapi juga karena daerah perhatian mereka itu meluas ke mana-mana.
Bukan hanya pemandangan yang indah dan wanita cantik saja yang ingin
dilukisnya, tetapi juga toilet bekas yang sudah tidak terpakai lagi atau
kulit pokok kayu yang memiliki jenis permukaan atau texture yang unik,
atau bahkan jaringan sel-sel yang hanya dapat diamati melalui mikroskop
yang dulu sama sekali tidak terjamah oleh perhatian seniman, kini
menjadi lahan yang subur bagi objek lukisan para seniman modern. Dengan
ini jelaslah bahwa bagi mereka itu seni modern tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu, bahkan di sana-sini juga tidak terikat oleh tatabahasa
maupun kaidah-kaidah seni yang sudah mapan. Mereka sanggup menerima
segala macam bentuk seni hampir dengan tiada bersyarat. Batasan-batasan
yang dulu ada seperti ikatan tradisi (spirit of the race) atau ikatan zaman (spirit of the age), demikian juga ketentuan-ketentuan tentang isi ataupun tema telah disisihkan semuanya.
Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan
merupakan ciri khasnya, ialah “kreativitas”. Dan sebuah perkataan ini
tercantumlah beberapa sifat yang merupakan gejala-gejalanya. Oleh karena
itu untuk menghindarkan istilah „modern‟ yang bermuka banyak itu ada
pula yang menamai seni modern tersebut dengan istilah “seni kreatif”.
Seorang seniman modern akan melihat dunia atau bagian daripadanya yang
sedang dihadapi sebagai objek dari lukisannya seolah-olah seperti baru
saja objek itu diciptakan. Artinya, seakan-akan baru sekali itu saja ia
menghayatinya dan baru kali itu pula mencoba untuk melukisnya, walaupun
kenyataannya sudah berkalikali Ia melukiskan objek tersebut, dan entah
telah berapa kali ia melihatnya. Kita tidak tahu sudah berapa kali
pelukis kita yang terkenal, Affandi, melukis potret diriya. Namun setiap
kali kita menatapnya, sekian kali pula kita menemukan sesuatu yang baru
pada karya-karya itu, karena sang pelukis setiap kali selalu menghayati
kembali dan mendapatkan pengalaman baru dalam objeknya, walaupun objek
itu adalah dirinya sendiri. Seorang pelukis lain harus melupakan kuda
atau gambar kuda yang telah seribu kali dilihatnya apabila ia akan
melukis seekor kuda. Ia harus melihat kuda itu dengan mata kepalanya
sendiri— atau mata hatinya—dan memperoleh impresi pertama dari
pengalaman tersebut. Sebagaimana kita ketahui, hasil pengamatan itu amat
dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan serta kesan si pengamat atas
objek pengalaman yang sudah dimiliki sebelumnya yang tentunya berbeda
dari tiap pengamat yang lain, dan kiranya juga dipengaruhi oleh suasana
hati Si pengamat itu sendiri ketika Ia sedang mengamatinya. Yang
teràkhir inilah yang menuntut pengamatan itu harus selalu dilakukan
setiap saat seseorang akan berkarya. Dalam hubungannya dengan keadaan
tersebut, kira-kira 100 tahun yang lalu Gustave Courbet, Si pelopor
realisme dari Perancis itu, pernah berharap agar museum-museum ditutup
saja sekurang-kurangnya 20 tahun lamanya agar para seniman muda tidak
sempat berdialog dengan karya-karya yang ada di dalamnya yang semuanya
merupakan hasil pengamatan orang lain. Ia berkeinginan agar apa yang
pernah diciptakan orang tidak mempengaruhi pengamatan pelukis
berikutnya. Mungkinkah itu dan perlukah itu, adalah soal-soal lain yang
harus dijawab lewat ilmu pendidikan seni rupa.
Sikap batin yang demikian itulah yang membedakan seniman modern dan
golongan tradisional ataupun akademik—yang sekarang juqa sudah menjadi
tradisional. Sikap batin yang tidak stereotip, yang selalu ingin akan
yang baru dan yang lain dari pada yang lain. Kreativitas :sangat penting
dalam seni modern, dan dalam kretivitas ini berkembanglah sifat-sifat
orijinalitas, kepribadian, kesegaran, dan sebagainya. Dengan bayaran
apapun (yang kadangkala sangat tinggi, dengan mengorbankan nilai-nilai
yang sesungguhnya masih baik dan masih diperlukan oleh seni yang manapun
juga), para seniman modern amat menghargai dan mengejar-ngejar
nilai-nilai tersebut yang singkat kata dapat disebut sebagai nilai
kebaruan atau novelty.
Apabila seorang anak menunjukkan coreng moreng dan mengatakan bahwa
itu adalah gambar anjing atau kucing, maka kiranya itulah konsepnya atas
hewan-hewan tersebut yang belum sempat “diperbaiki” oleh hubungan anak
itu dengan tradisi dan masyarakat disekitarnya. Karya-karya itu adalah
ekspresi anak tersebut yang masih murni. Seorang-seniman dewasa tidak
mungkin berada dalam keadaan semurni itu karena ia tidak dapat
melepaskan diri dari ikatan sosial yang ada di sekitarnya. Oleh karena
itu seorang seniman modern dengan sadar berusaha untuk membebaskan
dirinya dari ikatan tersebut dalam hubungannya dengan tanggapannya
terhadap objeknya. Berhasil atau tidaknya usaha ini tidak selalu identik
dengan keberhasilan karya seninya. Maka usaha dan sikap batin itulah
yang harus menjadi ukuran, bukan sematamata hasil usahanya. Sekalipun
tidak sedikit yang mendiskreditkan seni lukis yang realistik dan
lingkungan seni modern, namun bertolak dari pendapat di atas tentunya
ada juga lukisan yang bergaya realistik itu yang dapat digolongkan dalam
seni modern, yaitu apabila sikap batin si seniman dalam melukisnya
dapat dikembalikan kepada watak seni modern di atas; yaitu apabila si
seniman tidak bertindak stereotip dan selalu mengadakan pengamatan
dahulu sebelum melahirkan karya realistiknya. Perlu ditekankan bahwa
bagaimanapun juga lukisan atau hasil seni yang lain itu selalu merupakan
interpretasi si seniman dalam menanggapi objeknya. Baik hasil seni itu
merupakan suatu taferil yang secara perspektip dapat
dipertanggungjawabkan ataukah bercorak dekoratif ala Mesir kuna,
keduanya adalah interpretasi juga. Pada suatu saat seorang sehiman
menggunakan imajinasi atau visinya untuk menangkap objek lukisannya
sehingga terjadilah “perspektif susun timbun” seperti yang ada di Mesir
kuna itu, tetapi pada saat lain ia menggunakan ketajaman matanya yang
kemudian ternyata menjadi pendorong diketemukannya perspektif di zaman
Renesans. Namun keduanya jelas tidak berhasil dalam memberikan kepada
kita “realitas” objeknya secara total; yang satu mengikuti ide atau
pengertiannya tentang objek itu dan dengan demikian terjadilah karya
yang ideoplastik yang secara visual tampak tidak wajar, dan
yang lain menganakemaskan matanya membentuk suatu lukisan yang lebih
“enak” dipandang mata (visioplastik) walaupun masih belum
terhindar dart “kesalahan”. Dapat disaksikan misalnya, meja yang bujur
sangkar menjadi tidak sama lagi panjang sisi-sisinya, sudut-sudutnya
tidak 90° tetapi ada yang tumpul dan ada yang runcing, dan kakinya yang
empat seningkali hanya kelihatan tiga. Dalam sebuah gambar pemandangan
sering terlihat tiang-tiang listrik yang sama tingginya tergambar tidak
sama tinggi; makin jauh jaraknya dan taferil ukurannya menjadi makin
pendek. Akibat luasnya daerah seni modern itu maka variasi yang terdapat
di dalamnya pun tak terhingga pula jumlahnya, sehingga tidak mungkin
untuk memasukkannya ke dalam suatu difinisi yang formal.
Pada saat semua objek yang kasatmata ini mulai mengering dan makin
susah menawarkan hal-hal baru yang menarik, kreatif, dan lain dan pada
yang lain, maka perkembangan ilmu jiwa dalam ala Freud (Sigmund Freud)
menampilkan lahan baru yang tidak kering-keringnya, yaitu dunia
imajinasi manusia. Dunia baru ini tidak ada batasnya, kecuali batas
kemampuan manusia untuk mengedarinya atau batas kneativitas seniman
untuk menemukan inovasinya. Sementara itu, penemuan teknik fotografi
dalam satu hal telah mengurangi daerah gerak seni lukis, karena
fotografi yang dengan cepat dan tepat mampu merekam objek itu
menggantikan sebagian fungsi seni lukis yaitu fungsi dokumentatif dan
fungsi menyajikan presentasi realistik bagi objek-objeknya. Sejak
berkembangnya fotografi tersebut seni lukis tidak lagi dibebani dengan
fungsi sosial berupa penggambaran secara visual ataupun pembuatan
gambar-gambar ilustratif untuk bermacam tujuan. Namun perlu juga diingat
bahwa di lain pihak fotografi telah sempat pula memperluas daerah
jelajah seni lukis. Banyak teknik-teknik melukis di zaman teknologi
tinggi ini yang menggunakan pertolongan fotografi. ilustrasi – ilustrasi
tertentu sekarang ini memang masih ada yang dikerjakan dengan tangan,
tetapi itupun sudah disenimodernkan, artinya, kekreatifan diperlukan
juga di dalamnya, sedangkan yang betul-betul memerlukan ketepatan
presentasi objek lebih baik disajikan saja dengan menggunakan kamera.
Maka oleh karena itu timbullah kemudian perbedaan antara “representasi”
dengan “interpretasi”, antara citra dan lambang, yang merupakan fondasi
yang kuat untuk menelaah perkembangan seni modern.
Dari masa lampau kita mengenal adanya patronage (patron)
dalam seni, yaitu perlindungan terhadap seni yang diberikan oleh
tokoh-tokoh penguasa atau gereja demi kelangsungan perkembangannya.
Pasang surutnya kemampuan pelindung atau penunjang seni ini dalam
melakukan fungsinya besar sekali pengaruhnya dalam perkembangan seni
modern. Misalnya, apabila pada masa kejayaannya patron-patron seni
tersebut adalah diktator-diktator seni yang bisa memaksakan arah
perkembangan seni karena merekalah yang membiayainya, maka kini
sebaliknyalah yang terjadi; mereka itu yang harus tunduk pada kemauan
para seniman. Pada zaman modern ini seniman tidak lagi menunggu uluran
tangan mereka yang memiliki uang untuk menciptakan karyanya. Mereka
mampu membiayai sendiri ciptaan-ciptaannya. Hal ini dimungkinkan pula
antara lain oleh makmn populernya seni-seni kecil semacam lukisan ukuran
esel (easel-painting) atau patung dada ukuran sebenarnya (life size),
yang biayanya relatif murah dan dapat diusahakan sendiri oleh para
seniman penciptanya, sehingga karenanya mereka dapat melepaskan diri
dari ketergantungannya pada seorang pelindung. Sebagaimana diketahui di
masa lampau, pada saat keemasan agama atau di waktu kejayaan kekaisaran
yang absolut, yang berkembang sangat menonjol adalah jenis kesenian
kolosal, lukisan dinding yang besar-besar, arsitektur istana dan gereja,
maupun patung-patung besar yang disejajarkan dengan kebesaran para
pendukungnya yang tidak mungkin di usahakan sendiri oleh senimannya.
Dengan demikian si sponsor ini menjadi penentu kemana seniman atau karya
seni akan di arahkan.
Pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789 merupakan titik akhir dan
kekuasaan feodalisme di Perancis yang pengaruhnya terasa juga pada
bagian-bagian dunia lainnya. Demikian pula revolusi ini ternyata tidak
hanya merupakan perubahan tata politik dan tata sosial saja, tetapi juga
menyangkut kehidupan seni, karena dengan ini berarti berakhir pulalah
pengaruh raja atas kehidupan dan perkembangan seni. Jauh sebelum itu
antara gereja dan seniman telah pufa terjadi keretakan hubungan yang di
satu fihak disebabkan oleh kemunduran fungsi dan daya tarik gereja di
masyarakat sejak zaman Renesans dan di lain fihak karena dunia seni
telah menemukan tuannya yang baru, yaltu raja dan para bangsawan yang
merupakan penguasa-penguasa dan pemilik harta sejak kemerosotan fungsi
gereja. tersebut. Oleh karena itu kini para seniman menjadi tokoh-tokoh
yang bebas, melayang-layang tanpa tambatan. Mereka tidak punya lagi
fungsi yang terang dalam tatà sosial yang baru itu. Maka lambat laun
terbentuklah kelompok baru dalam masyarakat, ialah kelompok seniman.
Sedikit demi sedikit mereka mulai mencipta semata-mata memperturutkan
panggilan hati masing-masing, melukis bukan karena ada yang meminta atau
memberi tugas, melainkan semata-mata karena ingin melukis saja. Maka
dengan demikian mulailah riwayat seni lukis modern dalam sejarah yang
ditandai dengan individualisasi dan isolasi diri ini.
C. Karya Seni Rupa Kontemporer
Selain berdasarkan medianya, kesenian juga dapat digolongkan
berdasarkan sifatnya, yakni dengan seni kontemporer dan klasik. Seni
klasik yang dimaksud adalah kesenian yang diasosiasikan pada puncak
penciptaan seni tertinggi pada suatu masyarakat. Sedangkan dalam seni
kontemporer, sifat kesenian dihubungkan dengan penciptaan kekinian dan
tengah mengalami proses perkembangan.
Istilah kontemporer sendiri berasal dari kata contemporary yang
berarti apa-apa atau mereka yang hidup pada masa yang bersamaan (D.
Maryanto, 2000). Walaupun demikian istilah “seni rupa kontemporer”
ternyata tidak dapat begitu saja diterjemahkan sebagai seni dengan sifat
kekinian seperti dijelaskan di atas. Istilah seni rupa kontemporer di
Barat pada kenyatannya masih menimbulkan perdebatan, terutama karena
tidak ada ciri dominan yang dapat dirujuk untuk menunjuk kepada suatu
praktek atau bentuk seni yang baku. Pengertian kontemporer semakin
menimbulkan perdebatan, apalagi jika istilah tersebut digunakan untuk
menunjuk pada praktek seni rupa di Indonesia. Berbagai perdebatan ini
muncul karena penggunaan artinya secara leksikal menerangkan kekinian
sekaligus juga mewakili konsep seni rupa kontemporer yang dipengaruhi
wacana dalam seni rupa Barat.
Di Barat, wacana kontemporer dimulai dengan menunjukkan pada berakhirnya era modernisme dalam seni rupa (modern art). Berakhirnya era ini memunculkan terminologi baru yang kemudian dipakai dalam praktek seni rupa di Barat yaitu kecenderungan postmodern (post modernisme).
Penggunaan istilah posmodern ternyata menyimpan persoalan—karena
kompleksitas dan keragaman pengertian yang dibawanya—sehingga lebih
banyak digunakan istilah seni rupa kontemporer (contemporary art).
Walaupun demikian, istilah ini masih mendatangkan masalah karena tidak
mengarah pada pengertian seni rupa tertentu. Kerumitan ini ditambah
dengan pengertian contemporary yang secara leksikal sama dengan pengertian modern yang berarti juga ”masa kini” (A. Irianto, 2000).
Seni rupa kontemporer dapat dikatakan sebagai sebuah wacana dalam
praktek seni rupa di Barat yaitu praktek seni rupa yang menunjuk kepada
kecenderungan posmodern. Kecenderungan ini menyiratkan wacana dalam
praktek seni rupa yang “anti modern”. Hal ini disebabkan karena salah
satu paradigma kemunculan posmodern adalah paradigma yang menolak
modernisme. Sifat-sifat modern yang ditolak diantaranya adalah semangat
universalisme, kolektivitas, membelakangi tradisi, mengedepankan
teknologi, individualitas (I. M. Pirous, 2000) serta penolakan
(pelecehan) non-Barat. Sifat-sifat modern ini pada perkembangannya
seolah-olah mengesampingkan berbagai produksi kesenian non Barat yang
dianggap lebih rendah dari seni modern karena bersifat tradisional.
Sifat inilah yang ditentang oleh penganut seni rupa posmodern karena
sifat-sifat modern tadi tidak mengakui karya seni rupa tradisonal yang
dihasilkan oleh budaya komunal sebagai karya seni rupa yang sejajar
dengan karya seni rupa modern.
Ciri kontemporer dalam wacana seni rupa kemudian dikukuhkan dengan
semangat pluralisme (keberagaman), berorientasi bebas serta
menghilangkan batasan-batasan kaku yang dianggap baku (konvensional)
dalam seni rupa selama ini. Dalam seni rupa kontemporer batasan medium
dan pengkotak-kotakan seni seperti “seni lukis”, “seni patung” dan “seni
grafis” nyaris diabaikan. Orientasi bebas dan medium yang tidak
terbatas memunculkan karya-karya dengan media-media inkonvensional serta
lebih berani menggunakan konteks sosial, ekonomi serta politik
(Sumartono, 2000)..
Walaupun ada pemaknaan khusus dalam wacana seni rupa kontemporer
seperti telah disebutkan di atas, tetapi arti leksikal yang menunjukkan
konteks kekinian tidak dapat diabaikan begitu saja. Berdasarkan konteks
kekinian, seni rupa kontemporer dapat dipandang sebagai karya seni yang
ide dan pembahasannya dibentuk serta dipengaruhi sekaligus merefleksi
kondisi yang mewarnai keadaan zaman ini tempat “budaya global”
menyeruak, yang menebarkan banyak pengaruh yang menjadi penyebab
berbagai perubahan dan perkembangan (Sumartono, 2000)
Dengan demikian konsep seni rupa kontemporer yang dimaksud dalam
tulisan ini dapat dipakai untuk menunjukkan wacana seni anti modernisme
yang mengagung-agungkan universalisme, menggunakan medium
inkonvensional, berorientasi bebas, tidak terikat pada konvensi-konvensi
yang baku, meniadakan pengkotak-kotakan serta lebih berani menyentuh
persoalan sosial, ekonomi serta politik. Persoalan sosial, ekonomi dan
politik ini diwarnai dengan keadaan zaman di mana budaya global banyak
memberikan pengaruh terhadap perubahan dan perkembangan yang bersifat
kultural. (Artikel diambil dari http://elfaroeq.wordpress.com/2011/05/24/seni-rupa-tradisional-modern-dan-kontemporer/) .
0 komentar:
Posting Komentar