Selasa, 17 Oktober 2017

BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU

BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU
         Belajar kadang menjadi momok bagi sebagian besar anak. Mendengar perkataan belajar, anak/siswa seakan mendengar sesuatu  yang enggan untuk dijamah bagi mereka. Rasa berat hati untuk memulai dan melakukan kegiatan yang dinamakan belajar. Anak merasa terbebani untuk melakukan kegiatan belajar. Seakan mereka akan melakukan sesuatu kegiatan yang membuat dirinya tertekan, memberatkan dan menakutkan hingga akhirnya anak-anak tersebut malah menjauhi dan tidak melakukan kegiatan belajar tersebut.
        Kenapa belajar menjadi sesuatu kegiatan yang kurang disukai oleh anak? Kenapa bisa terjadi? Menurut survei yang dilakukan oleh Tony Buzan selama 30 tahun,   ia melakukan penelitian yang berkaitan dengan asosiasi seseorang terhadap kata "belajar". Waktu ditanyakan kepada responden kesan apa yang muncul dalam pikiran mereka saat mendengar kata "pendidikan" atau "belajar", jawabannya adalah "membosankan", "ujian", "pekerjaan rumah", "buang-buang waktu", "hukuman", tidak relevan", "tahanan", 'idih'....., "benci dan takut". Intinya belajar adalah sesuatu yang sangat membebani dan membatasi kebebasan anak untuk melakukan kegiatan yang disenanginya.
       Dari hasil survei tersebut dapat disimpulkan   bahwa belajar dan sekolah bukanlah hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Padahal saat anak-anak belum cukup umur, mereka merengek-rengek mau ikut sekolah bersama kakaknya. Mereka juga senang menulis dan menggambar atau membuka-buka buku walaupun belum mengerti isinya. Mengapa bisa terjadi demikian?   Mungkin ada semacam sesuatu pemaksaan dan beban saat anak mulai bersekolah sehingga keasyikan mereka menguasai keterampilan menjadi hilang? Mari kita telaah terlebih dahulu makna belajar yang sesungguhnya.
       Kegiatan belajar adalah suatu  proses perubahan perilaku yang bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar, melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu sosialisai untuk mendapatkan pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu menjadi target dari belajar. Dengan belajar, seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa.
       Kita perlu memperluas pemahaman tentang belajar tidak hanya pada pengetahuan yang bersifat konseptual, melainkan juga hal-hal yang menyangkut keterampilan serta sikap pribadi yang mempengaruhi perilaku seseorang. Ada beberapa hal yang perlu disentuh berkenaan dengan belajar yaitu: jati diri dan perkembangan kepribadian, latihan meningkatkan kemampuan dalam ketrampilan hidup, teknik berpikir atau pola pikir, kompetensi atau kemampuan yang bersifat akademik, fisik, dan artistik. Satu hal lagi yang sangat penting dan perlu disentuh yaitu sudut pandang keagamaan. Tingkat keyakinan religi seorang anak juga dapat berpengaruh terhadap pola belajar seorang anak.
       Pada dasarnya anak mempunyai tingkat berpikir yang brillian (Tony Buzan), mereka berkembang dalam suatu pembelajaran yang dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga dan sosial belajarnya. Tingkat minat dan keinginan belajar anak sangat dipengaruhi ketiga hal tersebut, sehingga dapat ditarik benang merah ketidaksukaan anak dalam belajar juga dipengaruhi adanya lingkungan, suasana keluarga dan sosial belajarnya yang kurang mendukung. Lingkungan yang kurang mendukung suasana belajar membuat anak kurang berminat untuk mengikuti kegiatan belajarnya. Suasana keluarga dengan tingkat penekanan psikologis anak yang tinggi juga sangat mempengaruhi ketidaksukaan dan rasa ketakutan untuk berkreativitas dalam belajar. Hubungan interaksi sosial yang kurang baik diantara sekian penyebab keengganan anak untuk melakukan kegiatan belajar.
         Paradigma belajar yang lebih menekankan pada seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang kenyataan sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin belajar secara kaku dan tekstual harus mulai ditinggalkan. Mulailah dengan cara pandang yang lebih menyeluruh dengan mengelola suasana emosianal anak ke arah yang lebih baik dan menyenangkan. Keengganan anak dalam belajar berawal dari keadaan emosionalnya. Jika anak tertekan, ketakutan dan dalam suasana yang tidak sesuai dengan kehendaknya bisa berakibat fatal. Akibatnya anak menjadi malas dan ingin menjauhi sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan belajar. Hal mendasar ini yang harus mulai ditinggalkan dan dihapus dari dalam pola pemikiran setiap anak.
        Langkah-langkah yang kaku dan terlalu menekan pada anak disamping membuat ketidaksukaan untuk belajar juga bisa berpengaruh pada suasana yang membosankan. Suasana membosankan ini bisa terjadi pada si anak, guru maupun orangtua yang menginginkan anaknya untuk belajar lebih serius. Hal ini juga perlu dicarikan solusi jalan keluarnya. Langkah-langkah mengenai hal ini misalnya dengan memberikan kesempatan anak untuk ngobrol dan bercanda dengan teman-temannya. Seolah-olah anak tersebut mencatat hal penting yang disampaikan guru. Pada kenyataannya mereka sedang asik berbincang tentang hal yang lebih menarik (musik, film, gossip, bahkan tak jarang membicarakan guru yang sedang mengajar).
        Belajar yang menjadi momok, tidak disukai dan menimbulkan kebosanan, semuanya ini harus dicarikan solusi jalan keluarnya. Jalan keluarnya adalah menciptakan suasana yang segar/fresh, suasana yang lebih santai dan seakan-akan berada diluar area proses belajar si anak. Berusaha menciptakan suasana belajar yang penuh dengan keceriaan, bebas dari tekanan dan dalam suasana yang seakan-akan pada situasi canda tawa mereka, walaupun juga harus dikendalikan dalam keseriusan yang tak nampak. Artinya canda gurau mereka masih dalam pakem belajar yang benar tetapi mereka tidak merasa terkekang dengan suasana kegiatan belajar yang sedang mereka lakukan. Proses belajar ini bisa dikatakan dengan istilah lain yaitu arena “BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU”.
         Bentuk rasa senang dan canda dalam belajar adalah masalah suasana hati. Ini diperoleh melalui perlakukan guru dan orang tua melalui dorongan dan motivasi mereka. Sebenarnya yang diperlukan oleh anak dalam belajar adalah rasa percaya diri. Maka tugas orang tua dan guru tentu saja menumbuhkan rasa percaya diri mereka.. Dari pengalaman hidup, kita sering menemukan begitu banyak anak yang ragu-ragu atas apa yang mereka pelajari, sehingga mereka perlu didorong dan diberi semangat lewat kata – kata dan perlakuan.
        Apabila anak merasa kurang percaya diri, maka anak perlu dibantu. Coba menemukan hal hal positif pada dirinya dan pujilah dia agar rasa percaya dirinya bisa datang. Komentar -komentar positif dapat membangkitkan percaya diri mereka. Anak belajar memang tergantung pada faktor fisik (suasana lingkungan), faktor emosional (suasana hati) dan faktor sosiologi atau lingkungan teman, guru, orang tua dan budaya sekitar. Rasa senang dalam belajar dapat tercipta jika terjalin keakraban antara guru dan anak. Keakraban antara guru dan anak sangat menentukan keberhasilan belajar bagi anak. Jika hal ini terjalin suasana belajar akan lebih santai, lebih bisa mengungkapkan idenya sehingga lebih kreatif, anak akan lebih termotivasi ikut belajar sehingga anak akan lebih mudah menangkap pelajaran. Anak tidak akan merasa sungkan bertanya jika mereka tidak mengerti karena salah satu jalan membuat siswa cepat mengerti adalah dengan cara bertanya.
        Menjadikan suasana akrab dengan anak bukanlah hal yang sulit. Orang tua dan guru perlu menciptakan suasana bahwa pada saat belajar, orang tua, guru dan anak sedang belajar. Bahwa pada saat itu mereka juga didengar ide, pendapat dan kreativitasnya, guru/orang tua akan menjadi pengarah dan fasilitator mereka dalam belajar. Dan guru perlu bersikap adil terhadap siapapun, artinya anak perlu diperhatikan sesuai porsinya. Misalnya anak yang pintar perlu diarahkan untuk lebih memperhatikan temannya yang kurang pintar. Anak yang nakal perlu diaktifkan untuk lebih berperan dalam proses belajar misalnya dengan menunjuk anak tersebut untuk membantu menertibkan teman – temannya. Guru menegur dan marah juga harus pada tempatnya dan ada alasannya. Dan salah satu cara untuk menciptakan suasana akrab dengan anak adalah berusaha untuk mengenal secara fisik dan psikologisnya.
       Lingkungan belajar melibatkan orang-orang, perilaku, gagasan, dan suasana hati. Untuk memaksimalkan dorongan alamiah dalam diri anak, lingkungan belajarnya harus memenuhi beberapa persyaratan. Anak membutuhkan lingkungan yang menanggapi perilakunya. Lebih cepat dan lebih konsisten tanggapan yang diberikan kepadanya, maka lebih cepat ia akan belajar. Persyaratan utama yang lain adalah kebebasan. Anak merasa tidak aman bila tidak ada batasannya. Dengan memberikan batasan tertentu, anak cukup leluasa untuk menyelidiki. Untuk menumbuhkan semangat kemandirian pada seorang anak dan kemampuan untuk mengambil inisiatif, berikan dia kesempatan untuk memilih apa yang ingin dilakukan atau pelajari.
        Langkah-langkah tepat dengan tetap menempatkan anak sebagai sosok yang perlu diberikan perhatian lebih  akan memberikan cara pandang anak tentang apa itu sebenarnya belajar. Mereka akan menyadari bahwa ternyata belajar itu sangat menyenangkan. Belajar bukan sesuatu yang menakutkan, belajar bukan sesuatu yang membosankan tetapi belajar adalah sarana untuk menyegarkan kembali kesenangan dan kegembiraan yang ada pada diri si anak tersebut. Belajar menjadi suatu sarana untuk menyalurkan hobi mereka dalam bentuk afektif (moral), kognitif (pengetahuan) serta psikomotor (ketrampilan/olahraga). Sehingga belajar benar-benar sebagai sarana untuk bercanda dengan ilmu.
         Untuk menciptakan tercapainya suasana “BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU” perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: pertama, peran orang tua dan guru sangat diperlukan dalam membangkitkan semangat belajar siswa. Kedua, guru harus dapat menciptakan suasana yang menyenangkan saat belajar di kelas agar siswa tidak bosan. Ketiga, meningkatkan rasa percaya diri sangat dibutuhkan oleh siswa dalam belajar. Keempat, suasana belajar merupakan factor utama dalam mencapai sasaran pembelajaran. Kelima, belajar juga bisa dilakukan di luar kelas untuk mengganti suasana, agar tidak membosankan.
       Semoga dengan cara-cara di atas akan menciptakan wawasan baru bagi anak tentang nikmat dan bahagianya melakukan suatu kegiatan belajar. Pandangan yang lebih menyegarkan dan lebih santai karena ternyata belajar hanyalah sebagai sarana bercanda dalam mengarungi luasnya suatu ilmu. Belajar tidak harus dilakukan dengan suatu teknik yang terlalu formal dan mungkin terlalu kaku dan kadang menegangkan bagi sebagian besar anak-anak. Dengan cara itu pula akan didapatkan anak-anak yang sehat fisik, moral maupun psikologisnya.

Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus Pendidikan Seni Rupa UNNES/IKIP Semarang
Pendidik Seni Budaya di SMP 2 Gemuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar