POTRET KEHIDUPAN MANUSIA DALAM SIMBOL BUDAYA WAYANG
Kehidupan manusia merupakan cerminan
beraneka ragam liku-liku dan suka duka yang ada dalam segala watak dan karakter
yang dimiliki individu. Permasalahan yang ada disikapi dengan temperamen
spesifik yang tidak sama antara individu satu dengan yang lainnya. Mereka
menghadapi dan mengalami kehidupannya dengan kemampuan dan sikap yang berbeda
pula. Tergantung dari kekuatan fisik, kemampuan dan tingkat intelegensi yang
dimiliki oleh masing-masing individu. Termasuk juga dalam segi emosional yang
sedang dialami individu pada saat menghadapi permasalahan dan tantangan
kehidupan yang ada. Kondisi tersebut sangat berpengaruh dan mewarnai dengan
beraneka cara dan sikap yang melekat pada tiap insan, sehingga hasilnya bisa
diraih sesuai dengan kondisi emosional yang ada pada saat itu.
Begitulah potret kehidupan manusia
dari suatu masa ke masa berikutnya. Potret kehidupan manusia dengan berbagai
karakter dan watak yang dimiliki setiap individu merupakan cerminan keseluruhan
kehidupan secara umum dari satu zaman ke zaman lainnya. Oleh karena itu
simbol-simbol kehidupan manusia dapat dipetik dari kurun waktu kehidupan yang
sangat lama dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berlangsung secara
terus menerus. Sehingga dapat diambil satu garis lurus untuk menggambarkan
ciri-ciri seseorang dengan watak dan sikap yang dimiliki oleh manusia yang
dipadukan dengan ciri-ciri fisik yang melekat pada dirinya.
Sejarah budaya Nusantara telah
membuktikan adanya pengambilan potret kehidupan manusia dalam bentuk-bentuk
simbol sebagai cerminan karakter dan sifat manusia. Karakter tersebut dapat
dikaitkan dengan kondisi fisik orangnya atau kondisi kehidupan lingkungan
sebagai tempat mengarungi kehidupannya. Karakter yang menonjol dalam budaya
Nusantara adalah tradisi yang penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai
bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi bentuk yang kongkrit.
Ide abstrak melalui simbol-simbol
bentuk ungkapan menjadi bentuk yang kongkrit dapat dilihat pada hasil budaya
para leluhur yang berupa wayang. Wayang merupakan bentuk seni budaya yang
menyatukan masyarakat secara menyeluruh, baik secara horisontal maupun
vertikal. Wayang merupakan simbol klasik kehidupan masyarakat yang kurang
begitu ditangkap oleh generasi bangsa saat ini. Wayang adalah bentuk konsepsi
diri manusia Indonesia dengan berbagai aspek yang merefleksikan diri kedalam
kehidupan dan kedudukan relatif sosial dalam hubungan kehidupan secara
horisontal dan vertikal. Hubungan kehidupan horisontal adalah hubungan
kehidupan antar manusia, lingkungan dan mahkluk hidup yang ada di
sekelilingnya. Sedangkan hubungan kehidupan vertikal adalah hubungan kehidupan
manusia dengan penciptanya, hubungan kehidupan dengan Tuhannya.
Pagelaran Wayang Purwa
Wayang dalam konteks kehidupan
horisontal menyiratkan tata nilai yang menunjukkan upaya-upaya untuk mencapai
keserasian hidup. Keadaan ideal yang wajib dipertahankan itu berupa
keseimbangan tata tertib sosial yang digambarkan sebagai masyarakat yang
tentram, makmur, aman dan adil. Walaupun demikian dalam cerita pewayangan yang
menghadirkan Mahabharata terdapat karakterisasi dan simbolisasi yang saling
berlawanan, yaitu Pandawa sebagai simbol protagonis atau kebaikan, dan Kurawa
sebagai simbol antagonis atau kejahatan. Ditampilkannya epos utama ini
menunjukan keadaan kehidupan manusia yang sebenarnya yang selalu diwarnai oleh
kebaikan dan kejahatan.
Sejarah telah memposisikan wayang
sebagai bentuk karya seni budaya yang selain berfungsi sebagai sarana hiburan
juga berfungsi sebagai sarana untuk mengenal Tuhan. Seluruh komponen yang
terdapat pada karya seni budaya wayang pernah memberikan kontribusi yang sangat
besar bagi berlangsungnya suatu proses keberagaman pada masyarakat yang telah
lampau. Ajaran tentang kebaikan dan kejahatan ini yang kemudian mempengaruhi
pola pikir dan tindakan keberagaman dalam masyarakat Nusantara.
Kebaikan bisa di wujudkan dalam bentuk
ksatria pilih tanding dengan segala keutamaan sifat-sifat yang di visualkan
dalam simbol bentuk fisik, penampilan dalam busana, cara bicara dan gerakan
wayang yang dilakonkan oleh dalangnya. Kejahatan juga bisa dilambangkan dengan bentuk
fisik seperti raksasa atau buto, atau mungkin juga dengan pewarnaan wajah dan
penampilan busana tokoh-tokoh durjana tersebut yang perbedaannya sangat kontras
berbeda dengan tokoh wayang yang dianggap baik atau berlaku utama.
Strata kehidupanpun juga digambarkan
secara mendetail, dari tingkatan kehidupan terendah hingga tingkat kehidupan
yang paling tinggi. Pembagian tingkat kehidupan ini merupakan contoh nyata
dalam kehidupan sesungguhnya. Kehidupan nyata memperlihatkan adanya tingkat
kehidupan masyarakat bawah, sebagai masyarakat jelata ataupun masyarakat
pinggiran yang dalam dunia pewayangan bisa digambarkan sebagai abdi, pembantu
ataupun tokoh-tokoh liar yang kehidupannya dihutan sebagai pengganggu para
ksatria maupun begawan yang sedang melakukan tapabrata. Penggambaran masyarakat
kelas menengah bisa dilihat para tokoh ksatria yg bukan raja atau mungkin para
prajurit yang membela para rajanya. Masyarakat strata tertinggi digambarkan
dalam bentuk Raja atau Begawan yang mempunyai kelebihan dibidang tata negara, politik
maupun agama.
Wayang memang diciptakan untuk
membeberkan makna kehidupan yang berisi tentang bermacam-macam tujuan,
hendaknya kitapun bisa melihat dari bermacam-macam segi dan sudut pandang. Segi
yang bersifat “kelahiran” dapat segera di tangkap arti dan maksudnya.
Sebaliknya, sudut pandang yang bersifat rohani tidaklah segera dapat kita mengerti.
Maksud yang bersifat rohani ini terbungkus rapi, di dalam jalinan seni yang
amat tinggi nilanya. Nilai yang tersembunyi yang harus dicari dengan mengupas
kulit yang menjadi kelopak pembungkusnya. Bahkan di dalam pertunjukan pagelaran
wayang purwa kita telah diajak menuju kesana sekalipun secara sinandi
(rahasia).
Akhir suatu pertunjukkan wayang
purwa, pada pagelaran yang mengikuti tata-cara dan aturan asli selalu di susul
dengan keluarnya “Golek”. Ki Dhalang melakonkan cerita wayang beberapa lamanya,
barulah pertunjukkan berakhir. Hal tersebut memberi petunjuk kepada kita bahwa
apa yang telah kita resapi di dalam pertunjukkan wayang kulit seharusnya
segeralah kita cari makna yang tersirat di dalamnya. “Golek”, dalam bahasa
Indonesia berarti “cari”. Dengan demikian kita mendapat ajakan untuk mencari
makna yang tersimpan sebagai isi dari pagelaran yang baru saja di pentaskan.
Wayang mempunyai simbol dan nilai-nilai
istimewa yang tersembunyi di dalamnya, makna simbolis di dalam istilah
“Ringgit” sebagai sinonim dari wayang. Wayang purwa, disebut pula “Ringgit
Purwa”. Ringgit berasal dari dua kata: Miring dan Anggit yang dipersatukan. Miring
mempunyai arti tidak tegak lurus. Jadi untuk memperoleh pandangan isi dan
bentuk yang sebenarnya haruslah kita memproyeksikan kembali pada proyeksi
tegaknya. Sedangkan Anggit berarti “Cipta”. Secara keselurhan Ringgit berarti:
di cipta dalam bentuk yang miring. Selain kenyataan dari bentuk wayang juga
dalam bentuk proyeksi miring, simbolis ini mengandung ajaran-ajaran yang belum nampak
jelas, yang masing miring, merupakan perumpamaan (yang harus kita kupas).
Istilah wayang itu sendiri telah
memberikan petunjuk kepada kita bahwa yang disaksikan itu hanyalah bayangannya.
Belum wujud yang sebenarnya. Sebab wujud yang sebenarnya terletak di balik
“Kelir” (tabir). Untuk melihat bentuk yang sebenarnya kita harus menyingkirkan
kelir itu. Perumpamaan wayang sebagai bayangan dari seluruh segi kehidupan,
kita harus membuka tabir yang menyelubungi makna yang sebenarnya. Atau dengan
kata lain, makna yang menjadi intisari terbungkus oleh selubung, kupaslah
selubung yang menyelimuti itu, di sanalah isinya, di sanalah maknanya.
Tempat pagelaran wayang diterangi
dengan lampu yang disebut BLENCONG (semacam lampu dengan bahan bakar minyak
kelapa). Pada awal pergelaran Ki Dhalang selalu memutar gunungan berkeliling
Blencong. Gunungan sebagai lambang dari bumi, sedangkan blencong melukiskan
matahari. Hal tersebut menggambarkan bahwa bumi mengelilingi matahari. Gunungan
melukiskan bumi, oleh karena itu di dalamnya dipahatkan gambar manusia, rumah,
bermacam-macam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Blencong menyala dengan bahan
bakar minyak kelapa, cahayanya menerangi seluruh ruangan. Artinya bahwa
matahari menyinari seluruh bumi yang berguna untuk kehidupan yang ada
didalamnya. Minyak kelapa melukiskan bahwa sinar matahari amat bermanfaat oleh
bermacam kehidupan di bumi, dan planet lainnya (kelapa, pergeseran dari kata ke
– alap, yang berarti terpakai/berguna).
Cerita Wayang adalah simbol potret
kehidupan dan jiwa manusia. Dengan demikian atau lebih tegasnya dengan memahami
cerita pewayangan, kita dapat melihat diri sendiri yang sudah dibawa ke luar
dari kepribadiannya sendiri. Kita bisa membaca, mempelajari, memahami dan meresapi,
kemudian bisa mengoreksi dan memperbaikinya. Setelah itu baru bisa masuk
kembali dengan lebih “mengerti” maknanya. Maka dari itu kita seolah-olah
terlahir menjadi “manusia baru” yang lebih manusia dari sebelumnya. Lebih
memahami makna sesungguhnya dari budaya kita sendiri.
Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus Pendidikan Seni Rupa
UNNES/IKIP Semarang
Pendidik Seni Budaya di SMP Negeri 2 Gemuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar