SEJARAH
KALIGRAFI INDONESIA
Di Indonesia, kaligrafi merupakan bentuk seni
budaya Islam yang pertama kali ditemukan, bahkan ia menandai masuknya Islam di
Indonesia. Ungkapan rasa ini bukan tanpa alasan karena berdasarkan hasil
penelitian tentang data arkeologi kaligrafi Islam yang dilakukan oleh Prof. Dr.
Hasan Muarif Ambary, kaligrafi gaya Kufi telah berkembang pada abad ke-11,
datanya ditemukan pada batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Gresik (wafat
495 H/1082 M) dan beberapa makam lainnya dari abad-abad ke-15. Bahkan diakui
pula sejak kedatangannya ke Asia Tenggara dan Nusantara, disamping dipakai
untuk penulisan batu nisan pada makam-makam, huruf Arab tersebut (baca:
kaligrafi) memang juga banyak dipakai untuk tulisan-tulisan materi pelajaran,
catatan pribadi, undang-undang, naskah perjanjian resmi dalam bahasa setempat,
dalam mata uang logam, stempel, kepala surat, dan sebagainya. Huruf Arab yang
dipakai dalam bahasa setempat tersebut diistilahkan dengan huruf Arab Melayu,
Arab Jawa atau Arab Pegon.
Pada abad XVIII-XX, kaligrafi beralih menjadi
kegiatan kreasi seniman Indonesia yang diwujudkan dalam aneka media seperti
kayu, kertas, logam, kaca, dan media lain. Termasuk juga untuk penulisan
mushaf-mushaf al-quran tua dengan bahan kertas deluang dan kertas
murni yang diimpor. Kebiasaan menulis al-Qur’an telah banyak dirintis oleh
banyak ulama besar di pesantren-pesantren semenjak akhir abad XVI, meskipun
tidak semua ulama atau santri yang piawai menulis kalgrafi dengan indah dan
benar. Amat sulit mencari seorang khattat yang ditokohkan di penghujung abad
XIX atau awal abad XX, karena tidak ada guru kaligrafi yang mumpuni dan
tersedianya buku-buku pelajaran yang memuat kaidah penulisan kaligrafi. Buku
pelajaran tentang kaligrafi pertama kali baru keluar sekitar tahun 1961
karangan Muhammad Abdur Razaq Muhili berjudul ‘Tulisan Indah’ serta karangan
Drs. Abdul Karim Husein berjudul ‘Khat, Seni Kaligrafi: Tuntunan Menulis Halus
Huruf Arab’ tahun 1971.
Pelopor angkatan pesantren baru menunjukkan
sosoknya lebih nyata dalam kitab-kiab atau buku-buku agama hasil goresan tangan
mereka yang banyak di tanah air. Para tokoh tersebut antara lain; K.H. Abdur
Razaq Muhili, H. Darami Yunus, H. Salim Bakary, H.M. Salim Fachry dan K.H.
Rofi’I Karim. Angkatan yang menyusul kemudian sampai angkatan generasi paling
muda dapat disebutkan antara lain Muhammad Sadzali (murid Abdur Razaq), K.
Mahfudz dari Ponorogo, Faih Rahmatullah, Rahmat Ali, Faiz Abdur Razaq dan
Muhammad Wasi’ Abdur Razaq, H. Yahya dan Rahmat Arifin dari Malang, D.
Sirojuddin dari Kuningan, M. Nur Aufa Shiddiq dari Kudus, Misbahul Munir dari
Surabaya, Chumaidi Ilyas dari Bantul dan lainnya. D. Sirajuddin AR selanjutnya
aktif menulis buku-buku kaligrafi danmengalihkan kreasinya pada lukisan
kaligrafi.
Dalam perkembangan selanjutnya, kaligrafi tidak
hanya dikembangkan sebatas tulisan indah yang berkaidah, tetapi juga mulai
dikembangkan dalam konteks kesenirupaan atau visual art. Dalam konteks
ini kaligrafi menjadi jalan namun bukan pelarian bagi para seniman lukis yang
ragu untuk menggambar makhluk hidup. Dalam aspek kesenirupaan, kaligrafi
memiliki keunggulan pada faktor fisioplastisnya, pola geometrisnya, serta
lengkungan ritmisnya yang luwes sehingga mudah divariasikan dan menginspirasi
secara terus-menerus.
Kehadiran kaligrafi yang bernuansa lukis mulai
muncul pertama kali sekitar tahun 1979 dalam ruang lingkup nasional pada
pameran Lukisan Kaligrafi Nasional pertama bersamaan dengan diselenggarakannya
MTQ Nasional XI di Semarang, menyusul pameran pada Muktamar pertama Media Massa
Islam se-Dunia than 1980 di Balai Sidang Jakarta dan Pameran pada MTQ Nasional
XII di Banda Aceh tahun 1981, MTQ Nasional di Yogyakarta tahun 1991, Pameran
Kaligrafi Islam di Balai Budaya Jakarta dalam rangka menyambut Tahun Baru
Hijriyah 1405 (1984) dan pameran lainnya.
Para pelukis yang mempelpori kaligrafi lukis
adalah Prof. Ahmad Sadali (Bandung asal Garut), Prof. AD. Pirous (Bandung, asal
Aceh), Drs. H. Amri Yahya (Yogyakarta, asal Palembang), dan H. Amang Rahman
(Surabaya), dilanjutkan oleh angkatan muda seperti Saiful Adnan, Hatta Hambali,
Hendra Buana dan lain-lain. Mereka hadir dengan membawa pembaharuan
bentuk-bentuk huruf dengan dasar-dasar anatomi yang menjauhkannya dari
kaedah-kaedah aslinya, atau menawarkan pola baru dalam tata cara mendesain
huruf-huruf yang berlainan dari pola yang telah dibakukan. Kehadiran seni lukis
kaligrafi tidak urung mendapat berbagai tanggapan dan reaksi, bahkan reaksi itu
seringkali keras dan menjurus pada pernyataan perang. Namun apapun hasil dari
reaksi tersebut, kehadiran seni lukis kaligrafi dianggap para khattat sendiri
membawa banyak hikmah, antara lain menimbulkan kesadaran akan kelemahan para
khattat selama ini, kurang wawasan teknik, kurang mengenal ragam-ragam media
dan terlalu lama terisolasi dari penampilan di muka khalayak. Kekurangan
mencolok para khattat, setelah melihat para pelukis mengolah karya mereka
adalah kelemahan tentang melihat bahasa rupa yang ternyata lebih atau hanya
dimiliki para pelukis.
Perkembangan lain dari kaligrafi di Indonesia
adalah dimasukkan seni ini menjadi salah satu cabang yang dilombakan dalam even
MTQ. Pada awalnya dipicu oleh sayembara kaligrafi pada MTQ Nasional XII 1981 di
Banda Aceh dan MTQ Nasional XIII di Padang 1983. Sayembara tersebut pada
akhirnya dipandang kurang memuaskan karena sistemnya adalah mengirimkan hasil
karya khat langsung kepada panitia MTQ, sedangkan penulisannya di tempat
masing-masing peserta. MTQ Nasional XIV di Pontianak meniadakan sayembara dan
MTQ tahun selanjutnya kaligrafi dilombakan di tempat MTQ.
Diambil dari : hilyatulqalam.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar