Karya Monoprint I, media cat kayu yang direndam dalam air sebagai sarana pencetaknya (Dokumen Eko Kimianto)
Karya Monoprint II, media cat kayu melalui sarana pencetaknya yaitu air (Dokumen Eko Kimianto)
Karya Monoprint III, Dokumen Eko Kimianto.
Karya Monoprint IV, Dokumen Eko Kimianto
Karya Monoprint V, Dokumen Eko Kimianto
Karya Monoprint VI, Dokumen Eko Kimianto
Karya Monoprint VII, Dokumen Eko Kimianto
Karya Monoprint VIII, Dokumen Eko Kimianto
Karya Monoprint IX, Dokumen Eko Kimianto
Secara konvensional pegrafis atau
printmaker diharuskan mencetak suatu image dalam suatu jumlah yang cukup besar,
misalnya dicetak sebanyak 20 edisi, dan satu sama lainnya identik. Cetakan yang
pertama dari keduapuluh edisi itu ditandai dengan kode '1/20', artinya: cetakan
pertama dari 20 edisi. Cetakan kesembilan dari serial yang sama diberi tanda
dengan '9/20'.
Cetak silkscreen biasanya punya edisi yang jauh lebih besar dibanding karya cetak dengan teknik lithografi, cukilan kayu, atau intaglio. Sejak awalnya Seni Grafis tidak pernah lepas dari perkembangan teknologi cetak, teknologi pengadaan bahan dan media. Teknik cetak lithografi memerlukan bahan, media, dan piranti press sendiri, prinsip kerjanya memanfaatkan prinsip tolak-menolak antara air dan minyak.
Cetak cukilan kayu memerlukan papan berpermukaan rata, untuk dicukili sesuai dengan disainnya, bagian yang akan mencetak dibiarkan begitu saja, sedang bagian yang tidak mencetak dicukil. Teknik ini disebut relief print, karena terlihat jelas perbedaan tinggi rendah antara bagian yang mencetak dan tidak mencetak. Intaglio disebut sebagai teknik cetak dalam, karena bagian yang akan mencetak justru yang digores sampai berupa seperti arit garis yang berfungsi menampung tinta kental yang akan dicetakkan pada kertas lembab yang ditumpangkan padanya, lalu ditekan secara rata dengan bantuan mesin press, sehingga cat yang ada dalam 'parit' itu bisa terserap pada kertas basah, sehingga tercetaklah image yang diharapkan. Cetak silkscreen memanfaatkan pori-pori kain terbuat dari bahan sintetis yang kuat, bagian yang tidak mencetak pada bentangan kain sintetis itu ditutup dengan gelatin yang ditorehkan rata, dan dikeringkan sehingga menutup pori-pori bentangan kain cetak. Bagian yang mencetak adalah bagian pada bentangan yang pori-porinya tidak tertutup gelatin. Ada beberapa jenis kertas yang berbeda satu sama lain, disesuaikan dengan teknik cetak yang dipakai. Cetak intaglio memerlukan ketebalan kertas yang lebih dibandingkan dengan kertas-kertas lain sebagai media teknik cetak lain. Namun secara ideal kertas untuk cetak Seni Grafis adalah kertas yang bebas dari asam, biasa disebut dengan acid-free paper. Kertas yang bebas asam ini tidak berubah warna jadi kuning-kecoklatan, dan dapat bertahan lama asalkan tidak ditaruh di tempat yang lembab. Di negara-negara maju kertas-kertas macam itu mudah diperoleh, misalnya kertas BFK, yang dapat dipakai untuk berbagai teknik cetak, yang bebas asam sama sekali. Secara historis Seni Grafis memang tidak lepas dari perkembangan teknologi yang berjalan secara sinkronis.
Kehadiran Seni Grafis di Indonesia sudah cukup lama, berkembang di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan Bali. Pada umumnya bergulir dan matang di lingkungan akademis, atau di lingkungan seniman muda dan aktivis sosial yang melihat potensi bahwa penyebarluasan suatu image dapat cepat dilakukan dengan reproduksi grafis guna menunjukkan perlawanan kultural terhadap nilai-nilai yang mendominasi atau menghegemoni. Sayangnya, teknologi pembuatan kertas untuk keperluan Seni Grafis yang secara teknis dapat diandalkan belum berkembang sebagaimana seharusnya. Pegrafis harus berfikir lipat dua untuk memilih dan menangani kertas yang mau dipakai mencetak, belum lagi ketika harus menyimpan karya jadi. Padahal, sebagaimana telah diketahui umum, pegrafis sama seperti seniman lain, harus bisa survive sebagai individu profesional dengan cara menjual karya mereka sebagai produk yang dihargai exchange-value-nya. Untuk meyakinkan para kolektor – individual maupun institusional – mereka harus menunjukkan bahwa mereka memakai media yang tahan lama untuk mencetak karya grafisnya. Sehingga layak dikoleksi, dan dapat diandalkan eksistensinya. Dalam beberapa tahun belakangan ini sejumlah pegrafis mencetakkan image kreasi mereka pada kanvas yang sudah ditangani sedemikian rupa sehingga dapat dipakai mencetak karya grafis. Lebih ekstrim lagi, mereka hanya mencetakkan image secara tunggal, sebagai monoprint, yang setara dengan karya lukis yang tidak ada duplikasinya – kecuali disengaja untuk merealisasi suatu konsep tertentu. Memang monoprint, monotype, atau karya one of a kind yang dibuat melalui proses cetak sudah cukup lama berkembang di sejumlah negara, misalnya di USA, Jepang, dan Eropa dimana orang secara leluasa mewarnai karya cetak grafis secara hand-colouring, atau membuat suatu image tunggal pada plat metal atau flexiglass untuk dicetakkan pada kertas melalui proses cetak grafis konvensional. Pada awalnya monoprint dilihat secara kritis dan sinis, bahkan dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan dari Seni Grafis konvensional. Namun dengan berbagai pertimbangan teknis, ternyata monoprint populer di kalangan pegrafis muda. Tidak mengurangi respek kepada karya Seni Grafis konvensional, monoprint dengan teknik pembuatan image yang terbalik dan dengan cetak yang diadopsi dari teknik cetak Seni Grafis konvensional, dapat dilihat sebagai satu genre tersendiri terutama di Indonesia.
Cetak silkscreen biasanya punya edisi yang jauh lebih besar dibanding karya cetak dengan teknik lithografi, cukilan kayu, atau intaglio. Sejak awalnya Seni Grafis tidak pernah lepas dari perkembangan teknologi cetak, teknologi pengadaan bahan dan media. Teknik cetak lithografi memerlukan bahan, media, dan piranti press sendiri, prinsip kerjanya memanfaatkan prinsip tolak-menolak antara air dan minyak.
Cetak cukilan kayu memerlukan papan berpermukaan rata, untuk dicukili sesuai dengan disainnya, bagian yang akan mencetak dibiarkan begitu saja, sedang bagian yang tidak mencetak dicukil. Teknik ini disebut relief print, karena terlihat jelas perbedaan tinggi rendah antara bagian yang mencetak dan tidak mencetak. Intaglio disebut sebagai teknik cetak dalam, karena bagian yang akan mencetak justru yang digores sampai berupa seperti arit garis yang berfungsi menampung tinta kental yang akan dicetakkan pada kertas lembab yang ditumpangkan padanya, lalu ditekan secara rata dengan bantuan mesin press, sehingga cat yang ada dalam 'parit' itu bisa terserap pada kertas basah, sehingga tercetaklah image yang diharapkan. Cetak silkscreen memanfaatkan pori-pori kain terbuat dari bahan sintetis yang kuat, bagian yang tidak mencetak pada bentangan kain sintetis itu ditutup dengan gelatin yang ditorehkan rata, dan dikeringkan sehingga menutup pori-pori bentangan kain cetak. Bagian yang mencetak adalah bagian pada bentangan yang pori-porinya tidak tertutup gelatin. Ada beberapa jenis kertas yang berbeda satu sama lain, disesuaikan dengan teknik cetak yang dipakai. Cetak intaglio memerlukan ketebalan kertas yang lebih dibandingkan dengan kertas-kertas lain sebagai media teknik cetak lain. Namun secara ideal kertas untuk cetak Seni Grafis adalah kertas yang bebas dari asam, biasa disebut dengan acid-free paper. Kertas yang bebas asam ini tidak berubah warna jadi kuning-kecoklatan, dan dapat bertahan lama asalkan tidak ditaruh di tempat yang lembab. Di negara-negara maju kertas-kertas macam itu mudah diperoleh, misalnya kertas BFK, yang dapat dipakai untuk berbagai teknik cetak, yang bebas asam sama sekali. Secara historis Seni Grafis memang tidak lepas dari perkembangan teknologi yang berjalan secara sinkronis.
Kehadiran Seni Grafis di Indonesia sudah cukup lama, berkembang di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, dan Bali. Pada umumnya bergulir dan matang di lingkungan akademis, atau di lingkungan seniman muda dan aktivis sosial yang melihat potensi bahwa penyebarluasan suatu image dapat cepat dilakukan dengan reproduksi grafis guna menunjukkan perlawanan kultural terhadap nilai-nilai yang mendominasi atau menghegemoni. Sayangnya, teknologi pembuatan kertas untuk keperluan Seni Grafis yang secara teknis dapat diandalkan belum berkembang sebagaimana seharusnya. Pegrafis harus berfikir lipat dua untuk memilih dan menangani kertas yang mau dipakai mencetak, belum lagi ketika harus menyimpan karya jadi. Padahal, sebagaimana telah diketahui umum, pegrafis sama seperti seniman lain, harus bisa survive sebagai individu profesional dengan cara menjual karya mereka sebagai produk yang dihargai exchange-value-nya. Untuk meyakinkan para kolektor – individual maupun institusional – mereka harus menunjukkan bahwa mereka memakai media yang tahan lama untuk mencetak karya grafisnya. Sehingga layak dikoleksi, dan dapat diandalkan eksistensinya. Dalam beberapa tahun belakangan ini sejumlah pegrafis mencetakkan image kreasi mereka pada kanvas yang sudah ditangani sedemikian rupa sehingga dapat dipakai mencetak karya grafis. Lebih ekstrim lagi, mereka hanya mencetakkan image secara tunggal, sebagai monoprint, yang setara dengan karya lukis yang tidak ada duplikasinya – kecuali disengaja untuk merealisasi suatu konsep tertentu. Memang monoprint, monotype, atau karya one of a kind yang dibuat melalui proses cetak sudah cukup lama berkembang di sejumlah negara, misalnya di USA, Jepang, dan Eropa dimana orang secara leluasa mewarnai karya cetak grafis secara hand-colouring, atau membuat suatu image tunggal pada plat metal atau flexiglass untuk dicetakkan pada kertas melalui proses cetak grafis konvensional. Pada awalnya monoprint dilihat secara kritis dan sinis, bahkan dianggap sebagai suatu bentuk penyimpangan dari Seni Grafis konvensional. Namun dengan berbagai pertimbangan teknis, ternyata monoprint populer di kalangan pegrafis muda. Tidak mengurangi respek kepada karya Seni Grafis konvensional, monoprint dengan teknik pembuatan image yang terbalik dan dengan cetak yang diadopsi dari teknik cetak Seni Grafis konvensional, dapat dilihat sebagai satu genre tersendiri terutama di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar