Senin, 08 Februari 2010

SALIM SANG PELUKIS KITA

Salim dengan hasil karyanya diambil dari http://cemara6galeri.wordpress.com/collections/

Menemukan SALIM

Mengambil artikel dari LEA PAMUNGKAS

21-08-2008

"...Sering aku memikirkan Indonesia, dengan penuh kenangan dan kesedihan.

Biarlah Indonesia pada suatu saat kelak menemukan jalan
menuju impian kita, impian di Gedung Nasional Kenari"

Lebih dari 10 tahun, aku mendengar namanya. Salim. Seorang pelukis di belantara prestisius, Paris. Banyak orang membicarakan dengan mata penuh kekaguman. "...Seorang yang punya sikap," begitu rata-rata pendapat orang.

Dalam sebuah kesempatan tanpa sengaja, aku melihat karya lukisnya di sebuah rumah di Herengracht, Amsterdam. Karyanya dikoleksi oleh seorang budayawan terkenal Indonesia. Sedikit garis, bidang-bidang, dan warna-warna.

"Karya kubisme?" tanyaku saat itu pada seseorang. "Tidak, ini Salim."

Pikiranku mulai pontang-panting, saat seseorang meminta aku pergi untuk mewawancarai Salim. Dan waktunya makin dekat. Tak banyak referensi tentang dia kuperoleh lewat tulisan. Juga pembicaraan yang kukorek dari beberapa orang yang kusangka bisa bercerita banyak tentang dia, nyatanya tidak membuatku ‘makin kenal'.

Olehnya bayangan aku tentang dia mengembara sendirian. Selain dia pelukis, ‘punya sikap', lalu apalagi? Usianya 100 tahun, pada tahun 1919, ia berangkat ke Eropa. Masa awal remajanya, ia habiskan di Amsterdam, kemudian seterusnya secara resmi bermukim di Paris, dan banyak berkelana ke berbagai penjuru budaya Eropa.

Wow! Kepalaku sedikit tegang. Pertama adalah, dalam sepanjang hidupku aku belum pernahngobrol -apalagi mewawancarai-, seorang yang berusia 100 tahun. Sisanya adalah bagaimana ‘isi' seseorang yang telah melewati pasang surut zaman dan kebudayaan? Apa yang telah dialaminya? Pembicaraan apa yang menarik baginya?

Gelap.

Montparnasse
"Apartemennya penuh dengan burung yang dilepas begitu saja," tukas seorang rekan.

Baik, aku sudah memperoleh alamatnya. Sebuah apartemen di Neuilly sur Seine, kawasan Montparnasse, Paris.

Layaknya orang awak, jika seseorang menyebut Paris, maka yang berseliweran di kepalaku adalah rumah-rumah mode, wangi parfum, orang-orang yang lalu lalang dengan penampilan yang chic dan semerbak. Lalu cafe-cafe dengan bau hangat cappucino dan croisant, masakan khas Perancis di restaurant-restaurant berinterior khas.

Tapi lebih dari itu, adalah kehidupan kebudayaan di Paris. Selain Universitas Sorbonne, banyak budayawan dan seniman besar lahir di sini, atau memilih menetap, atau tak bisa tidak, jatuh cinta pada Paris.

Pelukis legendaris Belanda Vincent van Gogh pernah menetap cukup lama di Paris, kemudian pelukis Italia, Amadeo Modigliani. Juga bintang The Doors, Jim Morrison, dan penulis Irlandia pemenang hadiah nobel, Samuel Becket.

Aku membuka-buka segala macam buku untuk memberikan gambaran lebih detil tentang Salim.

Montparnasse, kawasan apartemen tempat ia tinggal, terletak di selatan kota Paris.

Ini adalah sisi lain dari Paris, sebuah kawasan modern yang memang diorientasikan sebagai daerah perkantoran baru. Di sini didirikan Grande Arche, sebuah gerbang berbentuk kubus yang ditempatkan berseberangan, segaris dengan Gereja Notre Dame di sebelah barat.

Kendati daerah modern Paris, Montparnasse tak juga dilepaskan dengan kecambah kebudayaan dunia. Di sini ada sebuah restaurant ikan sangat terkenal ke penjuru dunia. Bukan sekadar karena makanan dan atmosfernya yang mengesankan, tetapi karena dulu tempat ini kerap dijadikan tempat nangkringnya para seniman besar.

Filosof Jean Paul Sartre, adalah pelanggan tetap, restaurant yang kini berusia ratusan tahun ini. Begitu pula pelukis Edgar Degas, Pierre-Auguste Renoir, Picasso, Modigliani, dan ...Salim.

"Orang datang ke tempat ini untuk duduk dan bersantai selama berjam-jam, sambil minum-minum, ngobrol, baca koran, atau melamun. Di sinilah saya pernah bertemu dengan seorang Belanda yang boleh dikatakan mengantarkan saya ke dunia sastra," jelas Salim.

Di tempat ini, ada sebuah makam, konon, paling sibuk dikunjungi para pelayat: makam si urakan Jim Morrison The Doors. Dalam matinya, Jim Morrison, bertetangga dengan para seniman dan filsuf besar. Filofof besar Perancis Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvior dimakamkan di Montparnasse, begitu pula penulis romantis terbesar Perancis, Guy de Maupassant, dan penyair Charles Baudelaire.

Montmatre

Hal lain aku pun dengar, sejak masa mudanya Salim kerap terlihat di kawasan Montmatre. Katanya, bagi orang yang mengenal Paris, maka seni dan Montmatre, adalah kata tak terpisahkan. Pada awal akhir abad 19 dan awal abad 20-an, Montmatre selalu diasosiasikan dengan kaum seniman bohemian.

Penyanyi paling legendaris Perancis, Edith Piaf tak jarang ngamen di bawah bukit Montmatre, kala ia baru saja menapak karir. Dan pelukis Pablo Picasso mengerjakan karyanya Les demoisselles d'Avignon di tempat ini. Sementara Salvador Dali banyak menyelesaikan karya-karya surealistisnya, dan Eduard Manet mengejutkan dunia pada akhir abad 19 dengan karya telanjangnya, juga kala ia tinggal di Montmatre.

Orang-orang Paris, lebih sering menyebut Kawasan Montmatre dengan ‘butte' (bukit), karena tempat ini adalah tempat yang paling tinggi di kota Paris. Dari sini orang-orang bisa melihat lanskap indah ke arah Sacre-Cœur dengan deretan cafe-cafe kecil yang menapak ke arah Montmatre. Kemudian juga Kawasan Pigalle, yang dulu pernah sangat terkenal sebagai kawasan tari dan teater. Dan daerah lampu merah yang sangat banyak mengilhami kaum seniman: De Moulin Rouge

Tidak ada komentar:

Posting Komentar