Dalam lelang yang digelar Balai Lelang Sotheby’s di Hong Kong, baru-baru ini, lukisan karya I Nyoman Masriadi berjudul “The Man From Bantul (The Final Round)”, terjual dengan harga Rp 10 miliar. Harga ini merupakan rekor harga tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
Booming lukisan kontemporer Tiongkok, akhirnya redam juga. Ibarat gelembung permen karet (bubble gum) yang kemudian pecah, para pelaku seni rupa Asia, Eropa, dan Amerika, kini tidak mau lagi melirik lukisan Tiongkok karena harganya terlalu mahal atau rata-rata mencapai puluhan miliar rupiah.Kondisi itu terjadi karena pelaku seni rupa di Tiongkok, khususnya para kolektor, investor, art dealer, atau pemilik galeri, terlalu cepat mengangkat harga lukisan ke harga yang tinggi. Akhirnya, lukisan-lukisan kontemporer karya para pelukis papan atas Tiongkok seperti Zhao Chunya, Zeng Fanzhi, dan lain-lain, tidak laku dijual.
Bahkan, dalam lelang terakhir yang dilakukan oleh Balai Lelang Sotheby’s di Hong Kong, awal Oktober lalu, hanya 20 persen saja lukisan Tiongkok yang terjual. Itu pun lukisan yang harganya murah. Ditinggalkannya lukisan-lukisan kontemporer Tiongkok tersebut dipicu oleh hantaman badai krisis keuangan yang melanda dunia dengan terpuruknya nilai saham.
Akan tetapi, sesuatu yang di luar dugaan justru terjadi pada lukisan-lukisan kontemporer Indonesia. Ternyata, animo masyarakat seni rupa dunia malah begitu tinggi terhadap karya anak-anak bangsa.
Penggemar lukisan kini berpaling ke lukisan kontemporer Indonesia karena selain harganya lebih murah atau harganya tidak “digoreng” terlalu berlebihan dalam waktu yang singkat, kualitas para pelukis Indonesia ternyata tidak kalah dengan pelukis-pelukis Tiongkok.
Konsisten dalam harga serta tingginya minat dunia terhadap lukisan Indonesia, itulah yang menjadi bahan diskusi para kolektor seni rupa Indonesia di Gedung Balai Lelang Masterpiece, Tanah Abang IV No 23-25, Jakarta Pusat.
Benny Raharjo, Direktur Utama tiga balai lelang Masterpiece, Heritage, dan Treasure, membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa rontoknya lukisan-lukisan Tiongkok harus dimanfaatkan dengan baik oleh para pelaku seni rupa Indonesia agar lukisan-lukisan Indonesia bisa diterima dunia internasional.
“Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Kita harus sama-sama menaikkan derajat dan martabat lukisan anak bangsa sendiri ke tingkat internasional,” tegas Benny.
Sumber : suarapembaruan.com/Tmy
Booming lukisan kontemporer Tiongkok, akhirnya redam juga. Ibarat gelembung permen karet (bubble gum) yang kemudian pecah, para pelaku seni rupa Asia, Eropa, dan Amerika, kini tidak mau lagi melirik lukisan Tiongkok karena harganya terlalu mahal atau rata-rata mencapai puluhan miliar rupiah.Kondisi itu terjadi karena pelaku seni rupa di Tiongkok, khususnya para kolektor, investor, art dealer, atau pemilik galeri, terlalu cepat mengangkat harga lukisan ke harga yang tinggi. Akhirnya, lukisan-lukisan kontemporer karya para pelukis papan atas Tiongkok seperti Zhao Chunya, Zeng Fanzhi, dan lain-lain, tidak laku dijual.
Bahkan, dalam lelang terakhir yang dilakukan oleh Balai Lelang Sotheby’s di Hong Kong, awal Oktober lalu, hanya 20 persen saja lukisan Tiongkok yang terjual. Itu pun lukisan yang harganya murah. Ditinggalkannya lukisan-lukisan kontemporer Tiongkok tersebut dipicu oleh hantaman badai krisis keuangan yang melanda dunia dengan terpuruknya nilai saham.
Akan tetapi, sesuatu yang di luar dugaan justru terjadi pada lukisan-lukisan kontemporer Indonesia. Ternyata, animo masyarakat seni rupa dunia malah begitu tinggi terhadap karya anak-anak bangsa.
Penggemar lukisan kini berpaling ke lukisan kontemporer Indonesia karena selain harganya lebih murah atau harganya tidak “digoreng” terlalu berlebihan dalam waktu yang singkat, kualitas para pelukis Indonesia ternyata tidak kalah dengan pelukis-pelukis Tiongkok.
Konsisten dalam harga serta tingginya minat dunia terhadap lukisan Indonesia, itulah yang menjadi bahan diskusi para kolektor seni rupa Indonesia di Gedung Balai Lelang Masterpiece, Tanah Abang IV No 23-25, Jakarta Pusat.
Benny Raharjo, Direktur Utama tiga balai lelang Masterpiece, Heritage, dan Treasure, membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa rontoknya lukisan-lukisan Tiongkok harus dimanfaatkan dengan baik oleh para pelaku seni rupa Indonesia agar lukisan-lukisan Indonesia bisa diterima dunia internasional.
“Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini. Kita harus sama-sama menaikkan derajat dan martabat lukisan anak bangsa sendiri ke tingkat internasional,” tegas Benny.
Sumber : suarapembaruan.com/Tmy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar