Minggu, 17 Januari 2010

NEOREALISME DI SEMARANG

"Perempuan Bali" karya Non Name diambil dari: www.kaskus.us/showthread.php?t=2948164&goto=n.

Neorealisme, Wajah Lama Seni Rupa (di Semarang)

TAK salah, sama sekali tak salah, ketika seorang pelukis memilih realisme sebagai teknik pengucapan artistik. Aliran yang dikenal sama tua dengan seni rupa itu telah melahirkan seniman besar semacam Edouard Manet, Jean-Francois Millet, atau da Vinci.

Bukankah lewat citraan realistis, seorang seniman tetap bisa membangun c itraan, baik sebagai simbol, keadaan, maupun peristiwa? Lagi pula siapa berani memungkiri, bahasa ungkap seni rupa bermula dari citra realistis?

Ya, tak pula salah ketika Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) menggelar pameran lukisan realis. Pameran itu digelar di Galeri Seni Rupa Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di kompleks PRPP, Tawangmas, Semarang, 16-23 September.

Semula saya menaruh harapan besar atas tajuk pameran yang juga besar, ''Neorealism: Menata Ruang Estetika''. Terbersit harapan di kepala, moga-moga ada hal baru yang bisa saya temukan di pameran itu.

Apalagi, dalam katalog pameran, Ketua Komite Seni Rupa DKJT Hartono menjanjikan ada pewacanaan baru untuk menata ruang kreativitas seniman pada perhelatan itu. ''Neorealism berorientasi pada pemahaman apresiasi, konsep, dan pewacana.'' Ai, gagah nian.

Disebutkan, pameran itu merupakan ajang unjuk karya pelukis Semarang yang telah teruji waktu. Ya, siapa tak kenal Kok Poo, Inanta, Bambang Prayitno, Komari, atau Jemmy Lauy, lengkap dengan keistikamahan mereka pada realisme? Belum lagi Kelana, Hasyim Katamsi, Djoko Waluyo, Krebo Sutarno, atau Prayitno Rahardjo. Boleh dibilang, 19 pelukis yang berpameran merupakan stok lama di jagat realisme Semarang dan sama sekali tak bisa dibilang perupa semenjana.

Catatan kuratorial Mahmoud Elqadrie tak kalah gempita. Dia berkisah tentang sejarah panjang realisme Semarang yang sudah amat ''kenyang asam garam'' di seni rupa realis. Ya, sejak zaman Raden Saleh hingga para murid Dullah - beberapa di antara mereka berpartisipasi dalam ''Neorealism''.

''Dinamika pergulatan realisme Semarang sangat nyata dibanding aliran lain yang masih mencari ruang pernapasan. Realitas pelukis harus diakui, paling tidak dari sisi teknik dan ideologinya yang sudah mapan,'' tulisnya.

Biasa

Namun, Kawan, begitu ruang pameran dibuka, Sabtu (16/9) malam, sedikit demi sedikit harapan membuncah itu memunah. Satu demi satu lukisan yang terpajang di dinding terlewati, tetapi rasa nges di dada tak kunjung terbangkitkan.

Benar, dari sisi teknik goresan atau sapuan nyaris paripurna. Lihat saja ''Try'' Kok Poo, ''Nyaman'' Teguh Wibowo, "Berkubang'' Wibowo Sanjoyo, atau ''Nyusuki'' Cak Min. Memang banyak lukisan memanjakan indra visual. Namun, toh masih juga terselip lukisan alam benda, untuk tak menyebut mangga-pisang-jambu, yang bersahaja. Berkesan tanpa pesan apa-apa.

Atau, jangan-jangan saya terlampau bodoh untuk bisa menangkap pesan di sebalik citraan realistis itu? Jangan-jangan, pesan begitu dalam. Lepas dari itu, saya kira pemasangan tajuk ''Neorealism'' terlampau berlebihan. (Achiar M Permana-53)

Artikel diambil dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0609/19/bud01.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar