MENDIDIK : BAGAIKAN AIR
YANG MENETES PADA BATU KERAS SECARA TERUS MENERUS
Ide memang bisa muncul kapan dan dimanapun
juga. Ide menulis pun juga sama seperti itu. Memang luar biasa bersosialisasi
dalam hal kebaikan, terutama dalam hal
pendidikan atau seluk beluk pengembangan ilmu pengetahuan bagi pendidik maupun
maupunpeserta didiknya. Bisa juga berimbas kepada orangtua dan lingkungan di
sekitarnya.
Hal ini terjadi saat penulis
berdiskusi kecil dengan Bapak Hadi Suryanto, S.Pd dan Bapak Setio Siam
Tririyadi, S.Pd. Mulanya memang sekedar membicarakan beberapa kasus kecil dalam
kegiatan belajar mengajar (KBM). Kedua sahabat tersebut melontarkan kalimat
yang amat berharga. Bapak Tririyadi mengatakan di dalam mengajar tak usahlah
mengharap berlebih untuk memintarkan siswa, tetapi yang terpenting adalah ihlas.
Sedangkan Bapak Hadi berpendapat bahwa mendidik itu bagaikan air yang terus
menerus menerpa sebuah batu yang keras.
Sekilas memang kalimat tersebut
merupakan sesuatu yang biasa, tetapi setelah direnungkan dengan
sungguh-sungguh, ternyata mempunyai makna yang sangat dalam. Pendidik pada
dasarnya memberikan pemahaman ilmu kepada muridnya. Sehingga murid tersebut
menjadi paham apa yang mereka pelajari.
Paham akan tujuan utama dalam pendidikan. Keberhasilan dari pendidikan bukan
sekedar mengukur peserta didik menjadi pandai, pintar dan serba bisa. Kalau hal
tersebut yang menjadi ukuran, semua pendidik tidak akan pernah berhasil.
Kenapa pendidik dikatakan tidak pernah
berhasil kalau takarannya seperti itu, karena setiap angkatan tahun pelajaran,ilmu
yang diberikan pada peserta didik pastilah tidak semuanya akan paham dan
menjadi pintar. Hal itu tergantung dari kesungguhan dan tingkat intelegensia
masing-masing siswa. Sedangkan apabila pendidik takarannya dari ke-ihlasan-nya
dalam mengajar, tingkat keberhasilannya akan lain. Pendidik akan merasa selalu
berhasil dikala dia dengan ihlas dan setulus hati untuk mendidik para muridnya
dengan berbagai kondisi emosional, tingkat kecerdasan dan tingkat sosial yang
berbeda-beda.
Ilustrasi Abstrak Bagaikan Air Yang Menetes Pada Batu
Keberhasilannya akan diukur dari
bagaimana keihlasan pendidik menerima hasil yang dicapai setiap peserta
didiknya. Usaha secara ihlas yang dilakukan menjadi tolok ukur keberhasilan
dalam kegiatan belajar dan mengajar. Adanya perubahan sikap yang positif itulah
salah satu tanda keberhasilan dari sang pendidik maupun peserta didiknya. Sehingga
akhirnya tidak ada bentuk manipulasi hasil yang dipaksakan, karena
keberhasilannya selalu dilihat dari keihlasan dalam memandang peserta didik
dengan berbagai kondisi yang ada.
Tingkat keberhasilannya tidak hanya dilihat dari skor pencapaian nilai yang
ada, tetapi lebih dari itu. Perubahan sikap, daya pikir dan peningkatan
kemampuan kearah positif itu adalah bentuk keberhasilan dalam istilah keihlasan
di atas.
Bagaimana hubungannya dengan kalimat “Proses
belajar bagaikan batu yang terkena tetesan air hujan secara terus menerus”. Peribasa ini mempunyai makna simbolis bahwa setiap perjuangan dalam menempuh
ilmu tidak akan pernah sia-sia, selama
kita terus menerus bekerja keras untuk belajar dan tidak pernah menyerah, maka
pasti kita akan berhasil dalam menimba ilmu yang dipelajari. Semua itu hanya
masalah waktu saja.."
Peribahasa tersebut kita nukil dari Ibn Hajar Al Asqalani pada sebuah kisah beliau dengan batu yang ia jadikan
sebagai permulaan motivasi dan keinginannya yang kuat untuk belajar.
Kisah itu bermula ketika beliau masih belajar disebuah madrasah, ia
terkenal sebagai murid yang rajin namun ia selalu tertinggal jauh dari
teman-temannya. Bahkan sering lupa dengan pelajaran-pelajaran yang telah di
ajarkan oleh gurunya di sekolah yang membuatnya patah semangat dan frustasi.
Beliaupun meminta izin kepada gurunya
untuk meninggalkan sekolahnya. Dalam kegundahan hatinya meninggalkan sekolahnya
hujan pun turun dengan sangat lebatnya, mamaksa dirinya untuk berteduh didalam
sebuah gua. Ketika berada didalam gua pandangannya tertuju pada sebuah tetesan
air yang menetes sedikit demi sedikit jatuh melubangi sebuah batu, ia pun
terkejut. Beliau pun berguman dalam hati, sungguh sebuah keajaiban.
Bagaimana mungkin batu itu bisa terlubangi hanya dengan setetes air. Ia terus
mengamati tetesan air itu dan mengambil sebuah kesimpulan bahwa batu itu
berlubang karena tetesan air yang terus menerus.
Dari peristiwa itu, seketika ia
tersadar bahwa betapapun kerasnya sesuatu jika dia di asah terus menerus maka
ia akan manjadi lunak. Batu yang keras saja bisa terlubangi oleh tetesan air
apalagi kepala saya yang tidak menyerupai kerasnya batu. Jadi kepala saya pasti
bisa menyerap segala pelajaran jika dibarengi dengan ketekunan, rajin dan
sabar. Sejak saat itu semangatnya pun kembali tumbuh lalu beliau kembali ke
sekolahnya dan menemui Gurunya dan menceritakan pristiwa yang baru saja ia
alami. Melihat semangat tinggi yang terpancar dijiwa beliau, gurunya pun
berkenan menerimanya kembali untuk menjadi murid disekolah itu.
Sejak saat itu perubahan pun
terjadi dalam diri Ibnu Hajar. Beliau manjadi murid yang tercerdas dan
malampaui teman-temannya yang telah manjadi para Ulama Besar dan ia pun
tumbuh menjadi ulama tersohor dan memiliki banyak karangan dalam kitab-kitab
yang terkenal dijaman kita sekarang ini. “Kisah Beliau diatas bisa menjadi
motivasi bagi kita semua, bahwa sekeras apapun itu dan sesulit apapun itu jika
kita betul-betul ihlas dan telaten serta
kontinyu dalam belajar niscaya kita akan menuai kesuksesan. Jangan pernah
mengeluarkan kata-kata menyerah atau kalah sebelum kita berjuang dan mencobanya.
Seorang pendidik memang dituntut
secara ihlas dan kesabarannya untuk memberikan ilmunya kepada peserta didik.
Apapun kondisi yang ada pada para peserta didik itu. Ihlas menerima kondisi
yang dimiliki baik secara intelegensia, moral, fisik maupun tingkat kemampuan
materi yang dimilikinya. Harus benar-benar ihlas, kemudian perlu ditanamkan
kemauan yang keras untuk bisa merubah kondisi yang ada pada para peserta
didiknya.
Sebodoh apapun peserta didik, tetap
dituntut kegigihannya dengan berbagai cara penerapan teori belajar dan
langkah-langkah praktik secara nyata tanpa ada rasa keluhan sedikitpun.
Pendidik harus tetap berprasangka baik bahwa sekeras apapun sebuah batu akan
terkikis juga apabila terkena tetesan air secara terus menerus. Biarkan mereka
berkembang sesuai tingkat kemampuan yang ada. Tiap siswa mempunyai tempo waktu yang
berbeda untuk bisa menerima dan memahami ilmu yang diberikan oleh pendidik.
Perlu juga diberikan pemahaman pada
peserta didik untuk tidak mudah patah semangat karena kesulitan dalam menerima materi
mata pelajaran yang ada. Berikan perumpaan-perumpaan yang bisa menggugah
semangatnya kembali dalam menempuh mata pelajaran yang bisa menyulitkan diri para
siswa. Seperti halnya, “BATU SEKERAS APAPUN, JIKA DITETESI AIR SECARA TERUS MENERUS, MAKA BATU
TERSEBUT PASTI AKAN BERLUBANG JUGA” dengan penjelasan dan pendekatan yang
bisa menyentuh hati siswa, niscaya semangat belajar siswa akan meningkat juga.
Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa proses belajar mengajar
diperlukan adanya “KEIHLASAN DAN KETEGUHAN SEMANGAT” dari berbagai sektor baik
itu Pendidik maupun Peserta Didiknya.
Sehingga keberhasilan pendidikan akan dapat diraih sesuai dengan yang
diharapkan. Tanamkan semangat berjuang untuk semua yang terkait dalam dunia
pendidikan. Semangat berjuang tersebut juga dibutuhkan adanya rasa ihlas sepenuh
hati dari permulaan kegiatan belajar, proses belajar hingga hasil belajar nantinya.
Dan satu lagi yang perlu kita
perhatikan, bahwa kunci dari segala keberhasilan adalah pada diri kita sendiri
yang terkait di dalamnya. Ini sejalan dengan firman Allah : “Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sampai ia sendirilah yang
mengubah keadaan mereka sendiri” ( QS. Ar Rad : 11 ).
Harus mulai
ditanamkan pada diri kita bahwa mendidik adalah suatu bentuk keihlasan yang
membutuhkan perjuangan yang terus menerus (kontinyu) tidak kenal menyerah yang
juga membutuhkan materi dan dana yang tidak sedikit untuk dapat meraih suatu
tujuan keberhasilan dalam pendidikan. Sedangkan tolok ukur keberhasilannya
adalah adanya perubahan kearah positif pada para pendidik, peserta didik dan
lingkungannya.
Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus
Pendidikan Seni Rupa IKIP Semarang (UNNES)
Pendidik Seni
Budaya SMP Negeri2 Gemuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar