Jumat, 24 Mei 2013

SAPTO HUDOYO

 
 Sapto Hudoyo(atas) diambil dari dgi-indonesia.com. Bawah Sapto bersama istri, Yani Sapto Hudoyo diambil dari store.tempo.co
 
SAPTO HUDOYO, Pelukis dan seniman kondang, pemilik galeri di berbagai kota di Indonesia.  Ia pernah menjadi pelukis keluarga kerajaan Malaysia.  Desain interior, patung dan arsitekturnya menjadi langganan konsumen dari dalam dan luar negeri.

Sapto Hudoyo lahir tanggal 6 Februari 1925 di Solo.  Nama kecilnya Piek, anak ketujuh dari  18 bersaudara keturunan KRT dr. Hendronoto.  Kepandaiannya melukis sudah terlihat sejak kecil.  Di sekolah ia mendapatkan nilai tinggi untuk mata pelajaran melukis.  Ia pernah mendapatkan juara pertama lomba melukis antar-sekolah se-kota Solo. 

Pada tahun 1945 Piek yang ketika itu duduk di sekolah lanjutan,  bergabung dengan Tentara Pelajar (TP).  Pada usianya yang ke-20 ia turut bertempur bersama Bung Tomo di    Surabaya dan juga pernah berperang di front Ambarawa. 

Semasa Perang masih berlangsung, Piek jatuh cinta pada Tuti, gadis belia adik mantan menteri penerangan RI Maladi.  Sayang, si gadis tak berumur panjang, wafat lantaran sakit.  Masih memendam rasa kecewa dan frustasi, Piek berkelana mencari pengalaman ke luar negeri.  Negara tujuan pertamanya adalah Singapura.

Sebelum hijrah ke Singapura Piek  telah menyelesaikan pendidikan SMA, dan telah memiliki pengalaman sebagai  fotografer dan teknikus bidang mesin dan elektro.  Ia sempat pula memiliki ijasah Akademi Penerbangan. Pada tahun 1947 Piek  bertekad mati-matian pergi ke Singapura melalui Tegal hanya dengan membawa bekal uang Rp 2000.  Dari Solo ia berjalan kaki ke Tegal.  Pengalaman pergi jauh seperti ini pernah ia dapatkan sewaktu kecil.  Ia pernah bersepeda mini sampai  ke pulau Bali bersama teman-temannya.  Sesampai di Tegal Piek  hanya mendapati sebuah kapal tongkang milik pedagang Cina yang sedang mengangkut telor, cabe, bebek dan kapuk.  Kendati mendapat perlakuan kurang ramah, Piek dipersilakan menumpang kapal hingga ke Singapura.  Syaratnya Piek harus membantu bekerja di depan, sementara tidurnya berada di belakang dekat WC yang berbau tak sedap dan banyak kecoanya.  
Kondisi seperti ini tidak masalah, hanya yang sungguh membuat ia lemas tak berdaya adalah pada saat hujan deras dan kapal terombang-ambing oleh gelombang tinggi.  Berkali-kali ia mabuk laut, badannya lemas dan kaki tangannya sulit digerakkan.  Keadaan itu masih diperparah dengan munculnya gerombolan kecoa yang mengerubuti serta menggigit kakinya hingga berdarah.  Ia hanya bisa menangis dan pasrah kepada Tuhan. 

Di Singapura ia tidur di emperan toko.  Atas jasa baik seorang pemilik toko ia diselamatkan dari tangkapan polisi karena dituduh  menjadi gelandangan gelap.  Untuk bertahan hidup Piek berkerja apa saja seperti menjadi pelayan toko Bombay, tukang angkut ember berisi kotoran manusia untuk pupuk dan pernah menjadi supir taksi.  Di antara kesibukannya itu Piek masih menyempatkan diri melukis.  Skets lukisannya kian lama kian berbobot, hingga seorang konsul Inggris di Singapura mengaguminya.

Piek terus melukis. Hingga suatu hari dia mendapatkan kesempatan melakukan pameran di sebuah ruangan besar konsulat Inggris di Singapura.  Pada tahun 1947 ia mendapatkan hadiah pertama pada suatu exhibition di Malaysia untuk lukisan cat air dan cat minyak.  Berkat prestasinya di bidang seni lukis inilah Piek mendapatkan kesempatan berkenalan dengan tokoh-tokoh terkemuka seperti Sutan Sjahrir dan Kusumo Utoyo.  Lantas mereka bersama-sama  mendirikan Indonesia Office di Singapura. 

Langkah Piek menjadi pelukis tenar terbuka lebar.  Kerajaan Malaysia pernah mempercayakan lukisan keluarga kepadanya.  Ia lantas mengadakan pameran di Penang, dan sempat bertempat tinggal di  Sunday Market sebuah kawasan di negeri jiran itu yang banyak ditinggali orang Jawa.  Di tempat ini Piek mendirikan kelompok musik “Tiga Teruna” yang dipimpinnya sendiri.  Dalam pergumulan hidup bersama pemusik ini dia pernah mendapat kesempatan tampil menyanyi bersama Felix Manderson, vokalis tenar asal Hawai. 

Pada tahun 1950-1951 Piek pergi ke Negeri Belanda, belajar di Rijks Academic Amsterdam.  Tahun 1952-1953 ia mendapatkan subsidi dari pemerintah Republik Indonesia untuk belajar di State School of Arts London.  Di tempat ini ia berjumpa dengan Kartika, putri pelukis legendaris Affandi, keduanya jatuh cinta kemudian melangsungkan pernikahan.  Dari perkawinannya ini Piek mendapatkan delapan orang buah hati.  Sayang, bahtera rumah tangganya kandas di tengah jalan.  Setelah resmi bercerai Piek kembali menikah dengan gadis Purwokerto bernama Yani.  Mereka dikaruniai seorang putra.  Bersama Yani Piek mendirikan galeri seni di kawasan jalan Solo Yogyakarta diberi nama Sapto Hudoyo Art Gallery. 

Galeri serupa juga didirikan di beberapa kota seperti Airport Semarang, Denpasar Bali, Kaliurang dan Sahid Garden Hotel Yogyakarta, serta Pondok Indah Jakarta Selatan.  Galeri seninya memajang lukisan karya Sapto Hudoyo, batik, dan baju-baju yang memiliki motif kualitas tinggi.  Piek juga menerima order membuat patung perunggu, desain interior dan  arsitektur.   Ia yang membuat dekorasi mural pada Stadion Utama Senayan Jakarta,   mural dan desain interior semen Gresik, interior pada Food Factory di Bandung, mural dan desain interior Hotel Borobudur Jakarta.   Pesanan dari luar negeri datang dari beberapa kota besar seperti Canes, Hamburg, Frankfurt, Roma, London, Perancis, Denmark, Rio de Janeiro Brazil.

Saptohudoyo meninggal dunia, Rabu pagi pukul 05.00 WIB di rumah sekaligus galerinya, Jl. Solo Km 9,8 Desa Maguwoharjo, Depok, Kab. Sleman, D.I.Yogyakarta dalam usia 78 tahun. Jenazahnya dimakamkan di makam seniman Giritirto, Imogiri, Bantul. Sapto Hudoyo meninggalkan dua istri, Kartika Affandi, putri pelukis besar Affandi dan Yani Saptohudoyo, serta 9 anak dan 3 cucu.
Artikel ini diambil dari www.trenggalekjelita.web.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar