POTRET KEHIDUPAN MANUSIA DALAM SIMBOL BUDAYA WAYANG

17.23 Edit This 0 Comments »
POTRET KEHIDUPAN MANUSIA DALAM SIMBOL BUDAYA WAYANG
          Kehidupan manusia merupakan cerminan beraneka ragam liku-liku dan suka duka yang ada dalam segala watak dan karakter yang dimiliki individu. Permasalahan yang ada disikapi dengan temperamen spesifik yang tidak sama antara individu satu dengan yang lainnya. Mereka menghadapi dan mengalami kehidupannya dengan kemampuan dan sikap yang berbeda pula. Tergantung dari kekuatan fisik, kemampuan dan tingkat intelegensi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Termasuk juga dalam segi emosional yang sedang dialami individu pada saat menghadapi permasalahan dan tantangan kehidupan yang ada. Kondisi tersebut sangat berpengaruh dan mewarnai dengan beraneka cara dan sikap yang melekat pada tiap insan, sehingga hasilnya bisa diraih sesuai dengan kondisi emosional yang ada pada saat itu.
         Begitulah potret kehidupan manusia dari suatu masa ke masa berikutnya. Potret kehidupan manusia dengan berbagai karakter dan watak yang dimiliki setiap individu merupakan cerminan keseluruhan kehidupan secara umum dari satu zaman ke zaman lainnya. Oleh karena itu simbol-simbol kehidupan manusia dapat dipetik dari kurun waktu kehidupan yang sangat lama dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berlangsung secara terus menerus. Sehingga dapat diambil satu garis lurus untuk menggambarkan ciri-ciri seseorang dengan watak dan sikap yang dimiliki oleh manusia yang dipadukan dengan ciri-ciri fisik yang melekat pada dirinya.
         Sejarah budaya Nusantara telah membuktikan adanya pengambilan potret kehidupan manusia dalam bentuk-bentuk simbol sebagai cerminan karakter dan sifat manusia. Karakter tersebut dapat dikaitkan dengan kondisi fisik orangnya atau kondisi kehidupan lingkungan sebagai tempat mengarungi kehidupannya. Karakter yang menonjol dalam budaya Nusantara adalah tradisi yang penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi bentuk yang kongkrit.
        Ide abstrak melalui simbol-simbol bentuk ungkapan menjadi bentuk yang kongkrit dapat dilihat pada hasil budaya para leluhur yang berupa wayang. Wayang merupakan bentuk seni budaya yang menyatukan masyarakat secara menyeluruh, baik secara horisontal maupun vertikal. Wayang merupakan simbol klasik kehidupan masyarakat yang kurang begitu ditangkap oleh generasi bangsa saat ini. Wayang adalah bentuk konsepsi diri manusia Indonesia dengan berbagai aspek yang merefleksikan diri kedalam kehidupan dan kedudukan relatif sosial dalam hubungan kehidupan secara horisontal dan vertikal. Hubungan kehidupan horisontal adalah hubungan kehidupan antar manusia, lingkungan dan mahkluk hidup yang ada di sekelilingnya. Sedangkan hubungan kehidupan vertikal adalah hubungan kehidupan manusia dengan penciptanya, hubungan kehidupan dengan Tuhannya.
 Pagelaran Wayang Purwa

         Wayang dalam konteks kehidupan horisontal menyiratkan tata nilai yang menunjukkan upaya-upaya untuk mencapai keserasian hidup. Keadaan ideal yang wajib dipertahankan itu berupa keseimbangan tata tertib sosial yang digambarkan sebagai masyarakat yang tentram, makmur, aman dan adil. Walaupun demikian dalam cerita pewayangan yang menghadirkan Mahabharata terdapat karakterisasi dan simbolisasi yang saling berlawanan, yaitu Pandawa sebagai simbol protagonis atau kebaikan, dan Kurawa sebagai simbol antagonis atau kejahatan. Ditampilkannya epos utama ini menunjukan keadaan kehidupan manusia yang sebenarnya yang selalu diwarnai oleh kebaikan dan kejahatan.
         Sejarah telah memposisikan wayang sebagai bentuk karya seni budaya yang selain berfungsi sebagai sarana hiburan juga berfungsi sebagai sarana untuk mengenal Tuhan. Seluruh komponen yang terdapat pada karya seni budaya wayang pernah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi berlangsungnya suatu proses keberagaman pada masyarakat yang telah lampau. Ajaran tentang kebaikan dan kejahatan ini yang kemudian mempengaruhi pola pikir dan tindakan keberagaman dalam masyarakat Nusantara.
          Kebaikan bisa di wujudkan dalam bentuk ksatria pilih tanding dengan segala keutamaan sifat-sifat yang di visualkan dalam simbol bentuk fisik, penampilan dalam busana, cara bicara dan gerakan wayang yang dilakonkan oleh dalangnya. Kejahatan juga bisa dilambangkan dengan bentuk fisik seperti raksasa atau buto, atau mungkin juga dengan pewarnaan wajah dan penampilan busana tokoh-tokoh durjana tersebut yang perbedaannya sangat kontras berbeda dengan tokoh wayang yang dianggap baik atau berlaku utama.
          Strata kehidupanpun juga digambarkan secara mendetail, dari tingkatan kehidupan terendah hingga tingkat kehidupan yang paling tinggi. Pembagian tingkat kehidupan ini merupakan contoh nyata dalam kehidupan sesungguhnya. Kehidupan nyata memperlihatkan adanya tingkat kehidupan masyarakat bawah, sebagai masyarakat jelata ataupun masyarakat pinggiran yang dalam dunia pewayangan bisa digambarkan sebagai abdi, pembantu ataupun tokoh-tokoh liar yang kehidupannya dihutan sebagai pengganggu para ksatria maupun begawan yang sedang melakukan tapabrata. Penggambaran masyarakat kelas menengah bisa dilihat para tokoh ksatria yg bukan raja atau mungkin para prajurit yang membela para rajanya. Masyarakat strata tertinggi digambarkan dalam bentuk Raja atau Begawan yang mempunyai kelebihan dibidang tata negara, politik maupun agama.
            Wayang memang diciptakan untuk membeberkan makna kehidupan yang berisi tentang bermacam-macam tujuan, hendaknya kitapun bisa melihat dari bermacam-macam segi dan sudut pandang. Segi yang bersifat “kelahiran” dapat segera di tangkap arti dan maksudnya. Sebaliknya, sudut pandang yang bersifat rohani tidaklah segera dapat kita mengerti. Maksud yang bersifat rohani ini terbungkus rapi, di dalam jalinan seni yang amat tinggi nilanya. Nilai yang tersembunyi yang harus dicari dengan mengupas kulit yang menjadi kelopak pembungkusnya. Bahkan di dalam pertunjukan pagelaran wayang purwa kita telah diajak menuju kesana sekalipun secara sinandi (rahasia).
            Akhir suatu pertunjukkan wayang purwa, pada pagelaran yang mengikuti tata-cara dan aturan asli selalu di susul dengan keluarnya “Golek”. Ki Dhalang melakonkan cerita wayang beberapa lamanya, barulah pertunjukkan berakhir. Hal tersebut memberi petunjuk kepada kita bahwa apa yang telah kita resapi di dalam pertunjukkan wayang kulit seharusnya segeralah kita cari makna yang tersirat di dalamnya. “Golek”, dalam bahasa Indonesia berarti “cari”. Dengan demikian kita mendapat ajakan untuk mencari makna yang tersimpan sebagai isi dari pagelaran yang baru saja di pentaskan.
           Wayang mempunyai simbol dan nilai-nilai istimewa yang tersembunyi di dalamnya, makna simbolis di dalam istilah “Ringgit” sebagai sinonim dari wayang. Wayang purwa, disebut pula “Ringgit Purwa”. Ringgit berasal dari dua kata: Miring dan Anggit yang dipersatukan. Miring mempunyai arti tidak tegak lurus. Jadi untuk memperoleh pandangan isi dan bentuk yang sebenarnya haruslah kita memproyeksikan kembali pada proyeksi tegaknya. Sedangkan Anggit berarti “Cipta”. Secara keselurhan Ringgit berarti: di cipta dalam bentuk yang miring. Selain kenyataan dari bentuk wayang juga dalam bentuk proyeksi miring, simbolis ini mengandung ajaran-ajaran yang belum nampak jelas, yang masing miring, merupakan perumpamaan (yang harus kita kupas).
        Istilah wayang itu sendiri telah memberikan petunjuk kepada kita bahwa yang disaksikan itu hanyalah bayangannya. Belum wujud yang sebenarnya. Sebab wujud yang sebenarnya terletak di balik “Kelir” (tabir). Untuk melihat bentuk yang sebenarnya kita harus menyingkirkan kelir itu. Perumpamaan wayang sebagai bayangan dari seluruh segi kehidupan, kita harus membuka tabir yang menyelubungi makna yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, makna yang menjadi intisari terbungkus oleh selubung, kupaslah selubung yang menyelimuti itu, di sanalah isinya, di sanalah maknanya.
        Tempat pagelaran wayang diterangi dengan lampu yang disebut BLENCONG (semacam lampu dengan bahan bakar minyak kelapa). Pada awal pergelaran Ki Dhalang selalu memutar gunungan berkeliling Blencong. Gunungan sebagai lambang dari bumi, sedangkan blencong melukiskan matahari. Hal tersebut menggambarkan bahwa bumi mengelilingi matahari. Gunungan melukiskan bumi, oleh karena itu di dalamnya dipahatkan gambar manusia, rumah, bermacam-macam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Blencong menyala dengan bahan bakar minyak kelapa, cahayanya menerangi seluruh ruangan. Artinya bahwa matahari menyinari seluruh bumi yang berguna untuk kehidupan yang ada didalamnya. Minyak kelapa melukiskan bahwa sinar matahari amat bermanfaat oleh bermacam kehidupan di bumi, dan planet lainnya (kelapa, pergeseran dari kata ke – alap, yang berarti terpakai/berguna).
          Cerita Wayang adalah simbol potret kehidupan dan jiwa manusia. Dengan demikian atau lebih tegasnya dengan memahami cerita pewayangan, kita dapat melihat diri sendiri yang sudah dibawa ke luar dari kepribadiannya sendiri. Kita bisa membaca, mempelajari, memahami dan meresapi, kemudian bisa mengoreksi dan memperbaikinya. Setelah itu baru bisa masuk kembali dengan lebih “mengerti” maknanya. Maka dari itu kita seolah-olah terlahir menjadi “manusia baru” yang lebih manusia dari sebelumnya. Lebih memahami makna sesungguhnya dari budaya kita sendiri.
 
Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus Pendidikan Seni Rupa UNNES/IKIP Semarang
Pendidik Seni Budaya di SMP Negeri 2 Gemuh 

0 komentar: