SENI KRIA BATIK SUNDA

12.41 Edit This 0 Comments »

Seni Kriya Batik Sunda

Latar Belakang Budaya Busana Sunda yang Menjadi Ungkapan Warna dan Motif pada Seni Batik

Mengenai adat-istiadat suku bangsa Sunda sudah pernah diuraikan oleh beberapa orang budayawan seperti haji Hasan Moestapa, Dr. K.A.H. Hidding (1935) dengan bantuan Muhammad Ambri dan Raden Setjadibrata, kemudian oleh Akib Prawirasuganda (1951). Karya Haji Hasan Mustapa diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Raden Memed Sastrahadiprawira, tidak sampai selesai karena beliau meninggal dunia, kemudian naskah terjemahannya diselesaiikan oleh R.A. Kern.

Di Jawa Tengah seperti Yogyakarta dan Solo terdapat pusat preservasi adat Jawa yaitu sekitar keraton, yang tidak hanya berfungsi secara fisik, melainkan berfungsi pula secara psikis, yaitu melindungi dan memelihara seluruh kekayaan seni budaya Jawa. Berbeda dengan di Jawa Barat, tidak terdapat pusat preservasi adat-istiadat Sunda atau Priangan, sehingga adat-istiadat Sunda relatif lebih terbuka terhadap unsur-unsur modernisasi pergeseran dan perubahan. Hal ini menyebabkan terjadinya akulturasi. Singggungan dan bentturan terhadap pengaruh kebudayaan luar mengakibatkan antara lain suku Sunda cenderung lebih banyak menggunakan logikanya. Sementara itu cara—cara berrpikir tradisional yang banyak mengandung unsur religius-magis sedikit demi sedikit terkikis.

Gambaran tentang unsur-unsur adat itu terpantul pada bentuk-bentuk kesenian Sunda seperti seni sastra, tembang kecapi suling, tari, wayang golek, sandiwara, batik tulis serta tata-cara berpakaian. Lakon wayang umpamanya, tidak lagi utuh dipertunjukkan di depan umum sebagaimana asalnya, melainkan telah mendapat improvisasi Ki Dalang sesuai dengan masa dan masyarakat penikmatnya. Demikian juga dengan bentuk –bentuk seni lainnya telah mendapat pengembangan daya cipta berdasarkan imajinasi para seniannya tanpa beranjak dari akarnya sendiri. Penampilannya disesuaikan dengan lingkungan kondisi masyarakat penerimanya serta zamannya.

Warna Kasundaan: Kaya Nuansa

Ungkapan warna yang memantulkan keindahan alam Priangan serta kesenian dann kebudayaan tersirat dalam seni tembang dan sajak pupuh Sunda. Satu contoh dari Celempungan atau Gamelan dari Juru Kawih H. Idjah Hadidjah, produksi Jugala tahun 1981 bandung, judul Kuwung-kuwung.

Pelukisan bianglala seputar alam, dengan pemandangan warna yang sulit dilukiskan karena penuh aneka warna yang gemerlapan. Apabila diciptakan melalui rasa berahipun akan tertarik yaitu cinta terhadap alam Maha Pencipta.

Cahayanya seputar alam: warna –warna kuning keemasan, paul atau ungu, hejo atau hijau, beureum atau merah, koneng atau kuning kejinggaan. Digambarkan kemudian, pada waktu warna-warna itu hadir memenuhi ruang langit, lengkung taya aling—aling atau terhampar luas tanpa ada yang menghalanginya. Secara ilmiah apabila yang menjadi dasar susunan warna alam Priangan. Jadi hampir tidak terdapat warna yang kegelapan, suram atau kumal.

Dalam pantun Sinyur terdapat pelukisan warna dari benda sehari-hari:

Lawon sepre gandaria
Nu kayas kantun sakodi
teu malire nu satia
bet luas ngantunkeun abdi

Warna kayas atau merah ros atau merah muda, gandaria atau violet muda atau ungu muda, warna paul atau biru dan warna hejo paul atau kebiruan lebih sering disebut-sebut dalam kawih atau pantun. Hal itu menandakan kesukaan masyarakat Sunda akan nada-nada warna itu (nuansa lembut).

Apabila disusun dalam satu palet warna, maka terdapat dua warna dasar yang mendukung terciptanya nada warna itu. Kedua warna dasar itu ialah biru yang ultramarine dicampur dengan merah yang karmen, tetapi dilengkapi satu sumbu yaitu ke arah putih,, sehingga terjadilah warna: kayas dan gandaria dengan warna ungu di tepinya yang biasa disebut gandola. terjadilah susunan nada warna yang bersifat analog (A.Munsell, color notation, 1898) sebagai berikut:

Kayas
Kasumba
Gandaria
Gandola
Paul

Nada warna warna kayas tergolong yang paling muda atau lembut, sedangkan warna paul tergolong nada warna yang tua atau berat. Kayas, Kasumba, dan Gandaria sering terungkapkan dalam berbagai sajak atau seni pantun tembang Sunda yang sifatnya melankolik. Irama melankolik itu telah menjadi ciri ungkapan sebagai kesenian Sunda, terutama seni tembangnya yang dikenal dengan kecapi suling. Dari susunan nada yang lembut melankolik itu kiranya tidak akan timbul susunan warna yang keras atau berat melainkan cenderung ke arah nada warna lembut penuh dengan khayal.

Pola Hias

Selain nada warna yang terang dan lembut, masyarakat Sunda menyenangi pula berbagai ragam hias untukmengimbangi kemeriahan susunan warnanya. Kidung Sunda yang diterbitkan pada tahun 1928 oleh Bale Poestaka di Weltevreden, Batavia, melukiskan bagaimana para bangsawan Sunda berpakaian, yang disusun dalam kinanti sebagai berikut:

Anggoanana aralus
Matak serab nu ningali
Sang Nalendra kahuripan
Ngagem Kaprabon lineuwih,
Dodotna buatan sebrang,
Dikembang parada rukmi
Beulitan giningsing kawung,
Surup lamun ditingali
Duhungna kadipatian
Landean duhung mas adi
Ditabur mirah dalima,
Sarta mutiara manik
Cahya permata harurung
Tinggal ebyar adu manis
Lir cika-cika maruntang,
Sanggul geyot cara keling,
Dicangklek kancana mubyar
Ditarapang inten rukmi
Direka garuda mungkur
Payus lamun ditingali
Disusumping kembang bodas
Mencenges di kanan keri
Kilat bahu atmaraksa,
Wuwuh surup Sang Narpati.
Sang Prabu Daha kacatur,
Salira tegep rasppati,,
Nganggo dodot sutra kembang
Diparada warna sari,
Sinjang kayas ti Banyumas
Wuwuh sigit ditingali.

Kata-kata yang digarisbawahi ialah istilah-istilah yang mengandung pengertian ragam hias. sebagian kata-kata ragam hias itu menjadi nama dari ragam hias batik tulis yang dibanggakan oleh masyarakat pemakainya, seperti dodot, giringsing kawung, para, garuda mungkur,, dan kembang bodas.

Susunan Warna Kasundaan menurut Nuansa Warna

1. Nada warna ke arah merah atau kemerahan dan kuning:

beureum
beureum cabe
beureum ati
kasumba
kayas
gedang asak
gading
koneng
koneng enay

2. Nada warna ke arah biru atau kebiruan dan hijau:

hejo
hejo lukut
hejo ngagedod
hejo paul
paul
gandaria
gandola
bulao saheab
pulas haseup
bulao

3. Nada warna yang tidak termasuk ke dalam dua kelompok terdahulu:

bodas
hideung
borontok
coklat kopi atau pulas kopi, kopi tutung
candra mawat
bulu hiris
bulu oa: dawuk, hawuk, kulawu, pulas lebu
(oa adalah sebangsa primata / monyet berbulu warna abu-abu)

Artikel ini diambil dari http://nagarihardja.com/artikel-seputar-batik-sunda.html?start=2

SEJARAH BATIK PAKUAN PAJAJARAN

12.16 Edit This 0 Comments »

Sejarah Batik Pakuan Pajajaran

Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar. G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian “paku”, akan tetapi harus diartikan “paku jagat” (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. “Pakuan” menurut Fouffaer setara dengan “Maharaja”. Kata “Pajajaran” diartikan sebagai “berdiri sejajar” atau “imbangan” (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti “Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit”. Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.

Naskah kuno yang dianggap sebagai ensiklopedi orang sunda diantaranya adalah naskah SangHyang Siksakandang Karesian yang ditulis tahun 1518 M. Pada naskah ini berisi tentang pandangan-pandangan dan tata cara kehidupan masyarakat sunda kuno. Masyarakat sunda ternyata telah mengenal batik sudah sejak sekian lama. Tepatnya pada abad ke 12, saat zaman kerajaan sunda dipimpin oleh Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu. Jika dihitung, usia nya sudah cukup tua. Yakni sudah 900 tahun. Sampai zaman prabu siliwangi (1482-1521 M) jumlah banyaknya batik yang sudah dikenal ada sekitar 37 macam. Ini bersumber dari yang disebutkan naskah SangHyang Siksakandang Karesian.

Kira-kira beginilah bunyinya :

“Sarwa lwira ning boeh ma : kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat saruhun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, mangin haris sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyesoh, gaganjar, lusian besar,kampuh jayanti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten ; sing sawatek boboehan ma pangayeuk tanya. (segala macam kain, seperti: kembang muncang, gagang senggang, sameleg, seumat saruhun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng rengganis, jayanti, cecempaan, paparanakan, mangin haris sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyesoh, gaganjar, lusian besar,kampuh jayanti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten ; segala macam kain, tanyalah pada pangeuyeuk).

Pangeuyeuk adalah istilah zaman dulu untuk seorang ahli tekstil. Sedangkan yang membuat sketsa atau gambarnya disebut patekin. Selain membuat batik tulis, juga sudah dikenal batik tenun. Alat yang digunakan adalah keuntreung.

Dari begitu banyaknya jenis motif batik yang ada, 33 diantaranya dibuat sebelum zaman Padjadjaran. Nama-nama motifnya diantaranya :

Kembang muncang,Gagang senggang, Samele, Seumat Saruhun, Anyam Cayut, Sigeji, Pasi-pasi, KalangkangAyakan, Poleng Rengganis, Jayanti, Cecempaan, Paparanakan, Mangin Haris Sili Ganti, Boeh Siang, Bebernatan, Papakanan, Surat Awi, Parigi Nyesoh, Gaganjar, Lusian Besar, Kampuh Jayanti, Hujan Riris, Boeh Alus, Ragen Panganten, Hihinggulan Rama, Hihinggulan Resi (ada gambar Trisula), Hihinggulan Ratu Binokasih (ada ambar Mahkota), Hihinggulan Nanoman, Kembang Wijayakusuma.

Sedangkan sisanya 4 motif batik lainnya dibuat pada masa Prabu Siliwangi. Catatan resmi tentang siapa tokoh zaman dulu yang mulai memperkenalkan batik, membuat batik, belum diketahui secara jelas. Sebuah sumber menyatakan bahwa pada masa kerajaan pajajaran sudah banyak yang pandai membuat batik. yang dikenal amat terampil membuat batik kala itu antara lain rei sutan pamangku dan istrinya yang bernama Dasimah Arthi Pahrih, Ambhir serta barsama karibnya Silihandju dan anak perempuannya yang bernama Suranti Palihwarthi.

Artikel ini diambil dari http://nagarihardja.com/artikel-seputar-batik-sunda.html

BATIK MELAYU RIAU

14.11 Edit This 0 Comments »
Batik Riau, gambar diambil dari http://dewey.petra.ac.id/jiunkpe_dg_12479.html

BATIK MELAYU RIAU

Motif Busana Melayu Riau - Sebelum kita membahas jauh tentang batik Riau, ada pertanyaan kecil, apakah Riau memiliki motif dan corak batik asli daerah Riau?

Lari dari pertanyaan yang mengusik itu, memang batik diminati di berbagai belahan dunia hingga beberapa negarapun coba membuat corak, motif batik sendiri-sendiri.

Riau (Indonesia) sebagai tempat asal batik (diakui oleh UNESCO) juga tidak mau kalah dengan menciptakan motif dan corak khas batik daerah sendiri.

Di Riau ada dikenal sebagai khasanah membatik. Hasil kerajinannya disebut dengan batik Riau. Batik Riau menggunakan motif tempatan, tentu saja pengembangan ini membuat khasanah batik tanah air semakin kaya.

Ada yang menyebutkan setiap batik dibedakan dengan sebuah teknik atau cara untuk menghasilkan motif tertentu. Bila ditelusuri jejaknya, Batik Riau telah ada sejak zaman Kerajaan Daek Lingga. Corak batik Riau mirip dengan beberapa negeri berkebudayaan Melayu seperti Malaysia dan Singapura.

Motif berbentuk sangat unik, berbetuk garis memanjang seperti tabir. Motif itu selalu terdapat pada setiap helai batik buatan Riau. Sehingga batik Riau lebih dikenal dengan sebutan batik tabir.

Ada perbedaan teknik digunakan saat membatik jika dibandingkan dengan pembuatan batik Jawa. Sebut saja dalam teknik pewarnaan, pembatik cenderung menggunakan teknik celup untuk mendapatkan warna. Hingga untuk menghasilkan warna yang beragam mereka harus mencelup produknya beberapa kali.

Sedangkan para pengrajin Batik Riau menggunakan teknik kuas atau lukis untuk mendapatkan warna diinginkan. Motif batik Riau menggunakan motif sulaman tekat, teknik ini ditengarai hampir punah saat ini sebab, tradisi membatik di tanah Melayu Riau tidak seperti di Jawa yang getol.

Harga kerajinan batik Riau lebih mahal harganya dibanding harga batik motif biasanya. Beberapa tempat di Pekanbaru pakaian batik ditawar seharga antara Rp 500 ribu-Rp 600 ribu per lembar. Biasanya bahan -berasal dari kain sutra yang bermutu tinggi dan dibuat dengan menggunakan tangan.

Pengembangan batik Riau masih butuh tangan tangan kreatif. Tapi sayangnya usaha ini belum begitu populer, meski usaha pengembangan batik secara ekonomis sangat menguntungkan. Seperti diakui Rita, sejak Dekranasda Riau memberikan penyuluhan kepadanya. Ia berhasil mengembangkan motif, corak batik tabir atau batik Riau untuk dikomersilkan.

Artikel diambil dari http://www.pekanbaruriau.com/2009/12/motif-corak-batik-riau.html

BATIK LASEM MEMBUAT KESENGSEM

13.33 Edit This 0 Comments »

Batik Lasem Membuat Kesengsem

Banyak orang mengenal kota Rembang sebagai kota kelahiran pahlawan wanita Indonesia yang sungguh fenomenal, RA. Kartini. Sekitar 12 Km di timur kota Rembang, terdapat sebuah kota yang terkenal sebagai penghasil batik, yaitu Lasem.

Dibanding batik dari Yogyakarta, Solo, atau Pekalongan, nama batik Lasem memang belum terlalu menonjol. Namun jangan salah, keindahan batik Lasem begitu memikat.

Mau tahu lebih detil tentang batik Lasem? Simak yuk, beberapa uraian di bawah ini:

1. Sejarah

Menurut Babad Lasem karangan Mpu Santri Badra, keberadaan batik di Lasem bermula dari kedatangan Laksaman Cheng Ho pada tahun 1413 M. Anak buah Cheng Ho bernama Bi Nang Un turut menetap di Lasem bersama istrinya, Na Li Ni. Nah, dari kepiawaian tangan Na Li Ni inilah tercipta berbagai kain batik yang menjadi cikal bakal keberadaan batik Lasem.

Masa kejayaan batik Lasem terjadi pada abad ke-19. Pada masa itu, hampir setiap orang keturunan Tionghoa menjadi pengusaha batik. Di rumah-rumah mereka, batik diproduksi. Mereka merekrut penduduk sekitar untuk menjadi pengrajin.

Pengrajin batik pun semakin kreatif menciptakan motif-motif baru. Mereka merespon situasi yang terjadi. Semisal, ketika Daendels memperkerjakan rakyat untuk membuat jalan raya, terciptalah motif kricakan, atau watu pecah.

Namun, masa kejayaan tersebut mulai pudar di era 1950-an. Kondisi politik yang tidak berpihak pada etnis Tionghoa membuat banyak pengusaha batik gulung tikar.

2. Motif

Pengaruh budaya Tionghoa terlihat jelas pada motif burung Hong, banji, bunga seruni, dan liong. Motif-motif itu dicipta oleh Na Li Ni dan menjadi ciri yang sangat khas dan unik dari batik Lasem hingga saat ini.

Kisah percintaan Sam Pek Eng Tay, alias legenda klasik dari Negeri Cina, juga pernah menjadi motif yang cukup populer pada batik Lasem.

Selain motif-motif tersebut, terdapat beberapa nama motif batik Lasem yang terkenal, seperti motif Watu Pecah, Naga Kricak, Ceplok Piring, Sekar Jagat, Kawung Lerek Sekar paksi, serta Terang Bulan.

Batik Lasem juga mendapat pengaruh dari motif batik Solo dan Yogyakarta. Ornamen kawung dan parang kerap ditemui dalam batik Lasem.

3. Warna

Warna paling menonjol pada batik Lasem dan menjadi ciri khas yang jarang ditemui pada batik dari daerah lain adalah warnanya. Merah, menyerupai warna darah ayam.

Selain itu, warna batik Lasem didominasi warna khas pesisir yaitu kombinasi merah, kuning, biru, dan hijau.

4. Sentra Batik Tulis Lasem

Sebanyak 1.175 unit usaha batik tulis tersebar di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lasem dan Pancur, dengan kapasitas produksi nyaris menembus angka 40.000 potong per tahun.

Jika tak punya cukup waktu untuk menjelajahi satu persatu tempat workshop pengrajin, datang saja ke Show Room Batik Tulis Lasem Kabupaten Rembang yang terdapat di Jl. Raya Kecamatan Lasem. Menempati bekas kantor kecamatan Lasem, aneka batik produksi pengrajin Lasem dipamerkan dan dijual.

Artikel di ambil dari http://batikindonesia.com/kesengsem-batik-lasem/2437