TRAGEDI REBUTAN LENGA TALA

09.00 Edit This 0 Comments »

REBUTAN LENGA TALA

Gajahoya nama hutan yang kemudian dibuka oleh Palasara menjadi Negara Hastinapura, diyakini bahwa sebelumnya kawasan tersebut merupakan sebuah kerajaan besar yang bernama Gajahoya atau Limanbenawi. Tidak tahu pasti apa penyebabnya, negara Gajah Oya hilang tak berbekas. Kecuali beberapa situs yang ditemukan seperti misalnya batu ompak dan batu fondasi. Lebih dikuatkan lagi adanya peristiwa mistis dari beberapa orang yang tinggal disekitar hutan, termasuk juga Palasara. Mereka sering ditemui oleh orang tua bermahkota yang mengaku bernama Prabu Hasti. Hasti artinya Gajah, Liman juga berarti Gajah. Orang kemudian menghubungkan dengan nama Gajahoya atau Limanbenawi sebagai nama negara yang diperintah oleh Prabu Hasti. Jika kemudian Palasara membuka hutan Gajahoya dan menjadikannya sebuah keraton, artinya bahwa Palasara.memunculkan kembali sebuah keraton yang telah tenggelam. Sedangkan nama Hastinapura dapat dimaknai dengan hadirnya kembali keratonya Prabu Hasti, yang besar kuat laksana gajah.

Jika demikian gajah Antisura tidak bisa lepas dengan Hastinapura. maka tidak selayaknya jika Semar menghentikan langkahnya, ketika Gajah Antisura akan membawa Puntadewa dan Arjuna menuju Hastinapura. “Sesungguhnya aku tidak melarang Gajah Antisura kembali ke Hastinapura, namun dikarenakan Puntadewa dan Arjuna ada dipunggungnya, itulah yang akan menjadi masalah besar.” Belum waktunya mereka masuk ke Hastinapura. karena saat ini Pandhawa baru dalam pengusiran ke luar keraton.” Yamawidura membenarkan apa yang dikatakan Semar. Walaupun begitu ia menginginkan secepatnya Gajah Antisura kembali ke Gajahan keraton Hastinapura. Tidak menunda waktu, Semar bersama dengan beberapa srati gajah menuntun Gajah Antisura melangkahkan kakinya ke Bumi Hastinapura.

Destarastra tidak begitu senang dengan kembalinya gajah Antisura karena dahulu menolak untuk mengangkat di atas dampar pusaka. Namun tidak demikian dengan Patih Sengkuni. Karena Ia mempunyai rencana agar Gajah Antisura pada saatnya mau mengangkat Duryudana duduk di atas singgasana, karena dengan demikian semakin kuatlah pengakuan rakyat Hastinapura.

Seperti biasanya, pagi itu Dalem induk Panggombakan yang sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar kecil nan rindang, ramai oleh kicaunya burung-burung. Teristimewa suara burung prenjak bersautan persis didepan rumah sebelah kanan. Biasanya itu pertanda akan datang seorang wiku, pandhita atau panembahan. Semar meyakini pertanda itu, maka ia bersama para abdi panggombakan mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tamu agung tersebut.

Keyakinan Semar dalam menanggapi pertanda alam melalui suara burung prenjak menjadi kenyataan. Tak lama kemudian, datanglah Begawan Abiyasa dari Pertapaan Saptaarga. Yamawidura, Kunthi dan Pandhawa tergopoh-gopoh menyambutnya. Kedatangan Begawan Abiyasa sungguh amat tepat, karena kerabat Pandhawa sedang gundah hatinya menyusul pengusirannya dari Negara Hastinapura. Bagaikan air kendi yang telah berusia delapan tahun menyiram kepala dan hatinya. Dingin menyegarkan. Suasana menjadi tenang tentram.

Belum genap sepekan Begawan Abiyasa tinggal di Panggombakan, tiba-tiba suasana damai dihempaskan oleh kedatangan Patih Sengkuni dan para Kurawa. Dengan alasan karena terdorong oleh kerinduannya kepada sauadaranya yaitu para Pandhawa. Namun ternyata itu sekedar basa-basi yang tidak berlangsung lama. Rupanya para Kurawa telah mengatur strategi. Beberapa orang ditugaskan untuk menjauhkan Bima dan saudaranya dengan Begawan Abiyasa. Karena yang menjadi tujuan utama adalah untuk menemui Begawan Abiyasa. Pada mulanya mereka menghaturkan sembah seperti layaknya seorang cucu kepada eyangnya yang bijak. Tetapi apa yang kemudian terjadi? Para Kurawa yang diwakili Patih Sengkuni menanyakan perihal Lenga Tala milik Begawan Abiyasa. “Kami tidak percaya bahwasanya Sang Begawan tidak membawanya. Tidak mungkin Lenga Tala lepas dari dirinya. Karena Lenga Tala merupakan minyak yang mempunuai kasiat luar biasa. Siapa saja yang sekujur badannya diolesi Lenga Tala ia tidak akan terluka oleh bermacam jenis senjata. Oleh karena itu kedatangan kami ke Panggombakan ini untuk memimta Lenga Tala sekarang juga. Jika Sang Begawan Abiyasa mengatakan bahwa Lenga Tala tidak dibawa, kami akan melepaskan semua pakaian yang menempel, untuk membuktikan bahwa Sang Begawan telah membohongi kami! He he he.”

Belum mendapat jawaban, Dursasana mulai melakukan aksinya. Ia dengan cepat menjulurkan tangannya dan menarik ubel-ubel tutup kepala yang dipakai Begawan Abiyasa. Bersamaan itu tampaklah benda bercahaya berbentuk oval, berujud cupu, jatuh dan menggelinding di lantai. Dengan cekatan Dursasana menyahut benda tersebut dan membawanya kabur, seraya terkekeh-kekeh. “Memang benar engkau tidak berhohong hai Abiyasa, bahwa dirimu tidak membawa Lenga Tala. Karena yang membawa adalah aku, hua ha ha” Dursasana berlari sambil menari-nari menimang cupu yang berisi Lenga Tala, diikuti oleh Patih Sengkuni, Duryudana dan beberapa Kurawa. Abiyasa bersama beberapa cantrik tidak mapu berbuat apa-apa. Namun dibalik raganya yang lemah, Sang Begawan Abiyasa mempunyai kekuatan lain yang jauh melebihi kekuatan ragawi manapun, yaitu dengan kekuatan sabda yang keluar dari mulutnya. “Inikah Destrarastra hasil didikkanmu? Apakah engkau tidak cemas bahwa suatu saat perilaku anak-anakmu Kurawa yang diperbuat untukku akan menimpamu pula? Bahkan lebih dari itu, mereka akan beramai-ramai menginjak-injak kepalamu, hai Destarastra. Dan engkau Sengkuni. Karena mulutmulah semua ini terjadi. Oleh karena hasutanmu, mulutmu akan menjadi lebar, selebar badanmu.”

Para cantrik mengerti bahwa apa yang di katakan Guru mereka tidak sekedar ungkapan ketidak puasan, tetapi merupakan kutukan bagi Drestarastra dan Patih Sengkuni. Maka ketika guntur menggelegar dibarengi angin bertiup kencang, para Cantrik merasa ngeri, karena hal tersebut menjadi pertanda bahwa kutukan Begawan Abiyasa benar-benar akan terjadi.

(Herjaka), (Artikel ini diambil dari http://www.tembi.org/wayang/kidung_malam7.htm).

BOMAWIKATA

18.51 Edit This 0 Comments »




























Bomawikata

ARYA BOMAWIKATA tidak bisa dipisahkan dengan Arya Wikataboma. Mereka sepasang saudara dari keluarga Kurawa yang berjumlah 100 orang, putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari. Diantara keseratus orang saudaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah ; Duryudana (raja negara Astina), Bogadatta (raja negara Turilaya), Citraksa, Citraksi, Citraboma, Citrayuda, Carucitra, Dursasana (Adipati Banjarjumut), Durmuka, Durmagati, Durgempo, Gardapati (raja negara Bukasapta), Gardapura, Kartamarma (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Windandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.

Arya Bomawikata dan Wikataboma merupakan saudara tunggal guru dan hidup dalam satu jiwa. Artinya apabila salah seorang dari dua bersasudara itu ada yang mati, kemudian dilangkahi oleh saudaranya yang masih hidup, maka yang mati akan hidup kembali.

Dalam perang Bharatayuda, Arya Bomawikata dan Wikataboma diangkat sebagai senapati pengapit, mendampingi Senapati Agung Resi Drona yang mempergunakan tata gelar perang “Cakraswandana”. Sepak terjang mereka sangat menakutkan keluarga Pandawa. Tapi akhirnya Arya Bomawikata dan Arya Wikataboma tewas dalam peperangan melawan Bima. Kepala mereka diadu kumba (saling dibenturkan) hingga hancur. Bomawikata dan Wikataboma mati secara bersamaan (Artikel dan gambar ini diambil dari http://sudarjanto.multiply.com/journal/item/11769).

BOGADATTA

05.33 Edit This 0 Comments »


Bogadatta
BOGADATTA atau Bogadenta adalah putra Prabu Drestarasta, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Gandari, putri Prabu Gandara dengan Dewi Gandini dari negara Gandaradesa. Ia bersaudara 100 orang -- {99 orang pria dan 1 orang wanita} yang disebut Sata Kurawa. Diantaranya yang dikenal dalam pedalangan adalah Duryudana (raja Negara Astina), Bomawikata, Citraksa, Citraksi, Carucitra, Citrayuda, Citraboma, Durmuka, Durmagati, Dursasana (Adipati Banjarjungut), Durgempo, Gardapati (raja Negara Bukasapta), Gardapura , Kartamarma, (raja negara Banyutinalang), Kartadenta, Surtayu, Surtayuda, Wikataboma, Widandini (raja negara Purantara) dan Dewi Dursilawati.

Bogadatta menjadi raja di negara Turilaya. Ia pandai bermain gada. Selain sakti, Bogadatta juga memiliki kendaraan gajah bernama Murdiningkung dengan srati/pawang seorang prajurit wanita bernama Murdiningsih. Di medan peperangan, ketiganya merupakan pasangan yang menakutkan lawan dan tak terkalahkan. Bila salah satu diantara mereka mati, dan diloncati salah satu diantara yang hidup, maka yang mati akan hidup kembali.

Dalam perang Bharatayuda, Bogadatta maju kemedan peperangan bersama gajah Murdiningkung dan srati Murdiningsih. Mereka semua mati dalam peperangan oleh panah Trisula milik Arjuna.

(Artikel diambil dari http://www.wacananusantara.org/2/119/Tokoh-tokoh%20Pewayangan%20(Mahabharata%201)?mycustomsessionname....).

SENGKUNI

20.11 Edit This 0 Comments »




Sangkuni

Sangkuni, atau yang dalam ejaan Sanskerta disebut Shakuni (: शकुनि ; śakuni) adalah seorang tokoh antagonisdalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu. Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Antara lain, ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu.

Dalam pewayangan Jawa, Sangkuni sering dieja dengan nama Sengkuni. ketika para Korawa berkuasa di Kerajaan Hastina, ia diangkat sebagai patih. Dalam pewayangan Sunda, ia juga dikenal dengan nama Sangkuning.

Asal-Usul Versi Mahabharata

Menurut versi Mahabharata, Sangkuni berasal dari Kerajaan Gandhara. Ayahnya bernama Suwala. Pada suatu hari adik perempuannya yang bernama Gandari dilamar untuk dijadikan sebagai istri Dretarastra, seorang pangeran dariHastinapura yang menderita tunanetra. Sangkuni marah atas keputusan ayahnya yang menerima lamaran tersebut. Menurutnya, Gandari seharusnya menjadi istri Pandu, adik Dretarastra. Namun karena semuanya sudah terjadi, ia pun mengikuti Gandari yang selanjutnya menetap di istana Hastinapura.

Gandari memutuskan untuk selalu menutup kedua matanya menggunakan selembar kain karena ia sangat setia kepada suaminya yang buta. Dari perkawinan mereka lahir seratus orang Korawa, yang sejak kecil diasuh oleh Sangkuni.

Di bawah asuhan Sangkuni, para Korawa tumbuh menjadi anak-anak yang selalu diliputi rasa kebencian terhadap para Pandawa, yaitu putra-putra Pandu. Setiap hari Sangkuni selalu mengobarkan rasa permusuhan di hati para Korawa, terutama yang tertua, yaitu Duryodana.

Konon Sangkuni merupakan reinkarnasi dari Dwapara, yaitu seorang dewa yang bertugas menciptakan kekacauan di muka bumi.

Asal-Usul Versi Pewayangan

Dalam pewayangan, terutama di Jawa, Sengkuni bukan kakak dari Dewi Gendari, melainkan adiknya. Sementara itu Gandara versi pewayangan bukan nama sebuah kerajaan, melainkan nama kakak tertua mereka. Sengkuni sendiri dikisahkan memiliki nama asli Harya Suman.

Pada mulanya raja Kerajaan Plasajenar bernama Suwala. Setelah meninggal, ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Gandara. Pada suatu hari Gandara ditemani kedua adiknya, yaitu Gendari dan Suman, berangkat menuju Kerajaan Mandura untuk mengikuti sayembara memperebutkan Dewi Kunti, putri negeri tersebut.

Di tengah jalan, rombongan Gandara berpapasan dengan Pandu yang sedang dalam perjalanan pulang menuju Kerajaan Hastina setelah memenangkan sayembara Kunti. Pertempuran pun terjadi. Gandara akhirnya tewas di tangan Pandu. Pandu kemudian membawa serta Gendari dan Suman menuju Hastina.

Sesampainya di Hastina, Gendari diminta oleh kakak Pandu yang bernama Drestarastra untuk dijadikan istri. Gendari sangat marah karena ia sebenarnya ingin menjadi istri Pandu. Suman pun berjanji akan selalu membantu kakaknya itu melampiaskan sakit hatinya. Ia bertekad akan menciptakan permusuhan di antara para Kurawa, anak-anak Drestarastra, melawan para Pandawa, anak-anak Pandu.

Asal-Usul Nama Sangkuni

Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Harya Suman berwajah tampan. Ia mulai menggunakan nama Sengkuni semenjak wujudnya berubah menjadi buruk akibat dihajar oleh Patih Gandamana.

Gandamana adalah pangeran dari Kerajaan Pancala yang memilih mengabdi sebagai patih di Kerajaan Hastina pada masa pemerintahan Pandu. Suman yang sangat berambisi merebut jabatan patih menggunakan cara-cara licik untuk menyingkirkan Gandamana.

Pada suatu hari Suman berhasil mengadu domba antara Pandu dengan muridnya yang berwujud raja raksasa bernama Prabu Tremboko. Maka terciptalah ketegangan di antara Kerajaan Hastina dan Kerajaan Pringgadani. Pandu pun mengirim Gandamana sebagai duta perdamaian. Di tengah jalan, Suman menjebak Gandamana sehingga jatuh ke dalam perangkapnya.

Suman kemudian kembali ke Hastina untuk melapor kepada Pandu bahwa Gandamana telah berkhianat dan memihak musuh. Pandu yang saat itu sedang labil segera memutuskan untuk mengangkat Suman sebagai patih baru. Tiba-tiba Gandamana yang ternyata masih hidup muncul dan menyeret Suman. Suman pun dihajar habis-habisan sehingga wujudnya yang tampan berubah menjadi jelek.

Sejak saat itu, Suman pun terkenal dengan sebutan Sengkuni, berasal dari kata saka dan uni, yang bermakna "dari ucapan". Artinya, ia menderita cacad buruk rupa adalah karena hasil ucapannya sendiri.

Peristiwa Minyak Tala

Versi pewayangan selanjutnya mengisahkan, setelah Pandu meninggal dunia, pusakanya yang bernama Minyak Tala dititipkan kepada Drestarastra supaya kelak diserahkan kepada para Pandawa jika kelak mereka dewasa. Minyak Tala sendiri merupakan pusaka pemberian dewata sebagai hadiah karena Pandu pernah menumpas musuh kahyangan bernama Nagapaya.

Beberapa tahun kemudian, terjadi perebutan antara para Pandawa melawan para Kurawa yang ternyata juga menginginkan Minyak Tala. Dretarastra memutuskan untuk melemparkan minyak tersebut beserta wadahnya yang berupa cupu sejauh-jauhnya. Pandawa dan Kurawa segera berpencar untuk bersiap menangkapnya.

Namun, Sengkuni dengan licik lebih dahulu menyenggol tangan Drestarastra ketika hendak melemparkan benda tersebut. Akibatnya, sebagian Minyak Tala pun tumpah. Sengkuni segera membuka semua pakaiannya dan bergulingan di lantai untuk membasahi seluruh kulitnya dengan minyak tersebut.

Sementara itu, cupu beserta sisa Minyak Tala jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur tua. Para Pandawa dan Kurawa tidak mampu mengambilnya. Tiba-tiba muncul seorang pendeta dekil bernama Durna yang berhasil mengambil cupu tersebut dengan mudah. Tertarik melihat kesaktiannya, para Kurawa dan Pandawa pun berguru kepada pendeta tersebut.

Sengkuni yang telah bermandikan Minyak Tala sejak saat itu mendapati seluruh kulitnya kebal terhadap segala jenis senjata. Meskipun ilmu bela dirinya rendah, namun tidak ada satu pun senjata yang mampu menembus kulitnya.

Usaha-Usaha untuk Menyingkirkan Pandawa

Baik dalam versi Mahabharata maupun versi pewayanagan, Sengkuni merupakan penasihat utama Duryudana, pemimpin para Kurawa. Berbagai jenis tipu muslihat dan kelicikan ia jalankan demi menyingkirkan para Pandawa.

Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa, Sangkuni menciptakan kebakaran di Gedung Jatugreha, tempat para Pandawa bermalam di dekat Hutan Waranawata. Namun para Pandawa dan ibu mereka, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari kematian. Dalam pewayangan, peristiwa ini terkenal dengan nama Bale Sigala-Gala.

Usaha Sengkuni yang paling sukses adalah merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui permainan dadu melawan pihak Kurawa. Kisah ini terdapat dalam Mahabharata bagian kedua, atau Sabhaparwa.

Peristiwa tersebut disebabkan oleh rasa iri hati Duryudana atas keberhasilan para Pandawa membangun Indraprastha yang jauh lebih indah daripada Hastinapura. Atas saran Sengkuni, ia pun mengundang para Pandawa untuk bermain dadu di Hastinapura. Dalam permainan itu Sengkuni bertindak sebagai pelempar dadu Kurawa. Dengan menggunakan ilmu sihirnya, ia berhasil mengalahkan para Pandawa. Sedikit demi sedikit harta benda, istana Indraprastha, bahkan kemerdekaan para Pandawa dan istri mereka, Dewi Drupadi jatuh ke tangan Duryudana.

Mendengar Drupadi dipermalukan di depan umum, Dewi Gendari ibu para Kurawa muncul membatalkan semuanya. Para Pandawa pun pulang dan mendapatkan kemerdekaan mereka kembali. Karena kecewa, Duryudana mendesak ayahnya, Drestarastra, supaya mengizinkannya untuk menantang Pandawa sekali lagi. Drestarastra yang lemah tidak kuasa menolak keinginan anak yang sangat dimanjakannya itu.

Maka, permainan dadu yang kedua pun terjadi kembali. Untuk kedua kalinya, pihak Pandawa kalah di tangan Sengkuni. Sebagai hukuman, mereka harus menjalani hidup selama 12 tahun di dalam hutan, dan dilanjutkan dengan menyamar selama setahun di suatu negeri. Jika penyamaran mereka sampai terbongkar, mereka harus mengulangi kembali selama 12 tahun hidup di dalam hutan dan begitulah seterusnya.

Kematian di Kurukshetra

Setelah masa hukuman selama 13 tahun berakhir, para Pandawa kembali untuk mengambil kembali negeri mereka dari tangan Kurawa. Namun pihak Kurawa menolak mengembalikan Kerajaan Indraprastha dengan alasan penyamaran para Pandawa di Kerajaan Wirata telah terbongkar. Berbagai usaha damai diperjuangkan pihak Pandawa namun semuanya mengalami kegagalan. Perang pun menjadi pilihan selanjutnya.

Pertempuran besar di Kurukshetra antara pihak Pandawa melawan Kurawa dengan sekutu masing-masing akhirnya meletus. Perang yang juga terkenal dengan sebutanBaratayuda ini berlangsung selama 18 hari, di mana Sengkuni tewas pada hari terakhir.

Menurut versi Mahabharata bagian kedelapan atau Salyaparwa, Sengkuni tewas di tangan Sadewa, yaitu Pandawa nomor lima. Pertempuran habis-habisan antara keduanya terjadi pada hari ke-18. Sengkuni mengerahkan ilmu sihirnya sehingga tercipta banjir besar yang menyapu daratan Kurukshetra, tempat perang berlangsung.

Dengan penuh perjuangan, Sadewa akhirnya berhasil memenggal kepala Sengkuni. Riwayat tokoh licik itu pun berakhir.

Kisah versi asli di atas sedikit berbeda dengan Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada zaman Kerajaan Kadiri tahun 1157. Menurut naskah berbahasa Jawa Kuna ini, Sengkuni bukan mati di tangan Seadewa, melainkan di tangan Bima, Pandawa nomor dua. Sengkuni dikisahkan mati remuk oleh pukulan gada Bima. Tidak hanya itu, Bima kemudian memotong-motong tubuh Sengkuni menjadi beberapa bagian.

Kisah tersebut dikembangkan lagi dalam pewayangan Jawa. Pada hari terakhir Baratayuda, Sengkuni bertempur melawan Bima. Kulitnya yang kebal karena pengaruh Minyak Tala bahkan sempat membuat Bima menjadi pusing karena tidak bisa mengalahkan Sengkuni.

Penasihat Pandawa selain Kresna, yaitu Semar muncul memberi tahu Bima bahwa kelemahan Sengkuni berada di bagian dubur, karena bagian tersebut dulunya pasti tidak terkena pengaruh Minyak Tala. Bima pun maju kembali. Sengkuni ditangkap dan disobek duburnya menggunakan Kuku Pancanaka yang tumbuh di ujung jari Bima.

Ilmu kebal Sengkuni pun musnah. Dengan beringas, Bima menyobek dan menguliti Sengkuni tanpa ampun. Meskipun demikian, Sengkuni hanya sekarat tetapi tidak mati.

Pada sore harinya Bima berhasil mengalahkan Duryudana, raja para Kurawa. Dalam keadaan sekarat, Duryudana menyatakan bahwa dirinya bersedia mati jika ditemani pasangan hidupnya, yaitu istrinya yang bernama Dewi Banowati. Atas nasihat Kresna, Bima pun mengambil Sengkuni yang masih sekarat untuk diserahkan kepada Duryudana. Duryudana yang sudah kehilangan penglihatannya akibat luka parah segera menggigit leher Sangkuni yang dikiranya Banowati.

Akibat gigitan itu, Sengkuni pun tewas seketika, begitu pula dengan Duryudana. Ini membuktikan bahwa pasangan sejati Duryudana sesungguhnya bukan istrinya, melainkan pamannya yaitu Sengkuni yang senantiasa berjuang dengan berbagai cara untuk membahagiakan para Korawa.

(Artikel ini diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sangkuni).

DURYUDANA DALAM PEWAYANGAN JAWA

18.44 Edit This 0 Comments »
Salah satu adegan dalam Kisah mahabharata versi wayang Purwa Jawa, diambil dari http://kolomkita.detik.com/upload/purwa.jpg


PRABU DURYUDANA

Duryudana adalah putera Prabu Destarastra di Hastinapura, ia seorang Kurawa yang tertua. Korawa atau Kurawa berarti suku bangsa Kuru. Setelah dewasa Duryudana bertahta di Hastinapura bergelar Prabu Duryudana. Kurawa meskipun bersaudara misan dengan Pandawa namun senantiasa bermusuhan, hingga terjadi perang saudara, yang disebut Baratayudha. Negeri HHastinapurapura terhitung kerajaan besar, binatara, maka waktu perang Baratayudha dapat bantuan dari kerajaan lain. Sebenarnya Prabu Duryudana seorang yang sakti, tetapi tak pernah kelihatan kesaktiannya. Dalam perang Baratayudha ia bertanding dengan Raden Wrekudara. Prabu Duryudana tak dapat dikalahkan. Tetapi ketahuan oleh Wrekudara dari isyarat yang diberikan oleh Prabu Kresna dengan menepuk-nepuk paha kiri yang merupakan kelemahannya. Setelah dipupuh (dipukul) dengan gada, paha kirinya oleh Wrekudara, tewaslah ia. Kelemahan paha ini karena waktu muda Duryudana dimandikan dengan air sakti, ada bagian paha yang tertutup dengan daun beringin, maka tertinggallah bagian badan itu oleh air sakti yang membasahi seluruh badannya.
Prabu Duryudana menantu raja Mandraka, Prabu Salya. Mula-mula ia bertunangan dengan Dewi Erawati, Puteri Prabu Salya yang tertua, tetapi gagal karena puteri itu dicuri oleh Kartowiyoga, dan Prabu Duryudana mencari puteri itu tetapi gagal. Putri tersebut diketemukan oleh Raden Kakrasana, maka diperisterilah puteri itu oleh Kakrasana, yang kemudian jadi raja di Madura bernama Prabu Baladewa.
Kedua kali Prabu Duryudana bertunangan dengan puteri Prabu Salya yang kedua, bernama Dewi Surtikanti, tetapi puteri itu diperisteri oleb Raden Suryaputra, yang kemudian bernama Adipati Karna.
Ketiga kalinya, bertunangan dengan Dewi Banowati, puteri Prabu Salya yang ketiga, luluslah perkawinan ini. Namun sebenarnya, puteri Banowati tak suka pada Prabu Duryudana, karena Banowati berharap akan diperisteri oleh Raden Arjuna. Lantaran ini, Dewi Banowati .menurut juga dipermaisuri dengan Prabu Duryudana, tetapi dengan janji tak akan dilarang semasa Dewi itu bertemu dengan Arjuna sewaktu-waktu. Dikabulkanlah permintaan itu dan terlaksana pada waktu-waktu Banowati bertemu dengan Arjuna tak diganggu-gugat. Prabu Duryudana berputera Raden Lesmanamandrakumara dan Dewi Dursilawati.

BENTUK WAYANG

Prabu Duryudana bermata telengan, hidung dempak. Berjamang tiga susun dengan garuda membelakang besar, berpraba. Berkalung ulur-ulur. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bokongan kerajaan. Batik kain parang rusak barong, tanda kain pakaian bangsawan agung. Prabu Duryudana berwanda: Yangkung dan Jaka

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

(Artikel diambil dari http://wayangku.wordpress.com/2008/09/04/prabu-duryudana/).

DURYUDANA

09.17 Posted In Edit This 0 Comments »



Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan Korawa main dadu. Gambar diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Draupadi_humiliated_RRV.jpg

Duryodana menjelaskan situasi di medan perang Kurukshetra kepada gurunya, Drona., gambar diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Duryodhana-Drona.jpg

Pertarungan antara Duryudana dan Bima pada Bharatayuda, diambil dari http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/9/97/Duryudana_lawan_Bima.JPG

Duryudana dalam wayang versi Jawa, diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Duryodana-kl.jpg

Duryodana

Duryodana (Sansekerta: दुर्योधन; Duryodhana) atau Suyodana adalah tokoh antagonis yang utama dalam wiracarita Mahabharata, musuh utama para Pandawa. Duryodana merupakan inkarnasi dari Iblis Kali. Ia lahir dari pasangan Dretarastra dan Gandari. Duryodana merupakan saudara yang tertua di antara seratus Korawa. Ia menjabat sebagai raja di Kerajaan Kuru dengan pusat pemerintahannya di Hastinapura.

Duryodana menikah dengan puteri Prabu Salya dan mempunyai putera bernama Laksmana (Laksmanakumara). Duryodana digambarkan sangat licik dan kejam, meski berwatak jujur, ia mudah terpengaruh hasutan karena tidak berpikir panjang dan terbiasa dimanja oleh kedua orangtuanya. Karena hasutan Sangkuni, yaitu pamannya yag licik dan berlidah tajam, ia dan saudara-saudaranya senang memulai pertengkaran dengan pihak Pandawa. Dalam perangBharatayuddha, bendera keagungannya berlambang ular kobra. Ia dikalahkan oleh Bima pada pertempuran di hari kedelapan belas karena pahanya dipukul dengan gada.

Arti nama

Secara harfiah, nama Duryodana dalam bahasa Sansekerta memiliki arti "sulit ditaklukkan" atau dapat pula berarti "tidak terkalahkan".

Kelahiran

Saat Gandari hamil dalam jangka panjang yang tidak wajar, ia memukul-mukul kandungannya dalam keadaan frustasi dan cemburu terhadap Kunti, yang telah memberikan Pandu tiga orang putera. Atas tindakannya, Gandari melahirkan gumpalan daging berwarna keabu-abuan. Kemudian Gandari memuja Byasa, seorang pertapa sakti, yang kemudian memberi berkah seratus orang anak kepada Gandari. Kemudian Byasa memotong gumpalan daging tersebut menjadi seratus bagian, dan memasukkannya ke dalam pot. Kemudian pot-pot tersebut ditanam di dalam tanah selama satu tahun. Setelah satu tahun, pot tersebut digali kembali. Yang pertama kali dikeluarkan dari pot tersebut adalah Duryodana, diiringi oleh Dursasana, dan adik-adiknya yang lain.

Tanda-tanda yang buruk mengiringi kemunculannya dari dalam pot. Para brahmana di keraton merasakan adanya tanda-tanda akan bencana yang buruk. Widura mengatakan bahwa jika tanda-tanda seperti itu mengiringi kelahiran putranya, itu tandanya kekerasan akan mengakhiri dinasti tersebut. Widura dan Bisma menyarankan agar putera tersebut dibuang, namun Dretarastra tidak mampu melakukannya karena rasa cinta dan ikatan emosional terhadap putera pertamanya itu.

Pendidikan

Tubuh Duryodana dikatakan terbuat dari petir, dan ia sangat kuat. Ia dihormati oleh adik-adiknya, khususnya Dursasana. Dengan belajar ilmu bela diri dari gurunya, yaitu Krepa, Drona dan Balarama atau Baladewa, ia menjadi sangat kuat dengan senjata gada, dan setara dengan Bima, yaitu Pandawa yang kuat dalam hal tersebut.

Persahabatan dengan Karna

Saat para Korawa dan Pandawa unjuk kebolehan saat menginjak dewasa, munculah sesosok ksatria gagah perkasa yang mengaku bernama Karna. Ia menantang Arjuna yang disebut sebagai ksatria terbaik oleh Drona. Namun Krepa mengatakan bahwa Karna harus mengetahui kastanya, agar tidak sembarangan menantang seseorang yang tidak setara.

Duryodana membela Karna, kemudian mengangkatnya menjadi raja di Kerajaan Anga. Semenjak saat itu, Duryodana bersahabat dengan Karna. Baik Karna maupun Duryodana tidak mengetahui, bahwa Karna sebenarnya merupakan putera Kunti. Karna juga merupakan harapan Duryodana agar mampu meraih kemenangan saat Bharatayuddha berlangsung, karena Duryodana percaya bahwa Karna adalah lawan yang sebanding dengan Arjuna.

Perebutan kerajaan

Duryodana memiliki sifat iri hati terhadap kekayaan Yudistira serta kemegahannya di Indraprastha. Terlebih lagi kepada para Pandawa lainnya yang selalu membuat hatinya jengkel. Berbagai usaha ingin dilakukannya untuk menyingkirkan para Pandawa, namun selalu gagal berkat perlindungan Kresna. Duryodana memiliki seorang paman bernama Sangkuni. Sifatnya sangat licik dan senang melontarkan ide-ide buruk untuk mempengaruhi keponakannya tersebut.

Saat Duryodana datang berkunjung ke Istana Indraprastha, ia terkagum-kagum dengan kemegahan istana tersebut. Saat memasuki sebuah ruangan, ia mengira sebuah kolam sebagai lantai. Tak pelak lagi ia tercebur. Kejadian tersebut disaksikan oleh Dropadi. Ia tertawa terpingkal-pingkal dan menghina Duryodana. Ia mengatakan bahwa anak orang buta ternyata ikut buta juga. Mendengar hal itu, Duryodana sangat sakit hati. Dalam hati, ia marah besar terhadap Dropadi.

Setelah pulang dari Indraprastha, Duryodana termenung memikirkan bagaimana cara mendapatkan hartaYudistira. Melihat keponakannya murung, Sangkuni menawarkan ide licik untuk mengajak Yudistira main dadu dengan taruhan harta dan kerajaan. Niat tersebut disetujui oleh Duryodana, termasuk Dretarastra yang terkena rayuan dan hasutan Sangkuni yang berlidah tajam. Pada hari yang dijanjikan, Yudistira bermain dadu dengan Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni. Di awal permainan, Sangkuni membiarkan Yudistira menikmati kemenangan, namun pada pertengahan permainan, kemenangan terus dimenangkan oleh Sangkuni berkat kelicikannya. Akhirnya Yudistira menyerahkan harta, kerajaan, bahkan adik-adiknya sendiri, termasuk Dropadi, istrinya.

Saat Dropadi disuruh untuk menanggalkan bajunya karena Yudistira sudah kalah taruhan, ia tidak mau melakukannya. Dengan kasar Dursasana menarik kain Dropadi. Namun berkat pertolongan gaib dari Kresna, kain yang dikenakan Dropadi tidak habis meski terus-menerus ditarik dan diulur-ulur. Akhirnya Bima bersumpah bahwa ia akan memukul paha Duryodana kelak, karena Duryodana menghina Dropadi dengan menyuruh waniat tersebut berbaring di atas pahanya.

Pertempuran di Kurukshetra

Saat Yudistira dan Pandawa lainnya sudah menjalankan masa pembuangan selama 12 tahun dan masa penyamaran selama setahun, mereka kembali ke Hastinapura dan meminta kembali kerajaan mereka sesuai dengan perjanjian yang sah. Namun Duryodana bersikap sombong dan menolak permohonan Yudistira mentah-mentah. Yudistira kemudian meminta agar mereka diberikan lima buah desa saja, karena sudah merupakan kewajiban Pandawa untuk turut serta dalam pemerintahan sebagai pangeran Kerajaan Kuru. Duryodana pun bersikeras bahwa ia tidak akan mau memberikan tanah kepada Pandawa bahkan seluas ujung jarum pun. Duryodana menantang Pandawa untuk melakukan peperangan.

Sebelum pertempuran dimulai, Kresna datang ke hadapan Duryodana dan sesepuh Kerajaan Kuru seperti Dretarastra, Widura,Bisma, dan Drona. Ia datang untuk menyampaikan misi perdamaian. Namun usul Kresna ditolak juga oleh Duryodana. Dalam kesempatan tersebut, ia memiliki niat jahat untuk menculik Kresna. Namun Kresna mengetahui niat jahat Duryodana tersebut dan menampakkan wujud aslinya. Dengan gagalnya usaha Kresna, peperangan tak dapat dipungkiri lagi.

Dalam pertempuran besar di Kurukshetra, Duryodana didampingi ksatria-ksatria kuat dan dengan segenap tenaga melindunginya, seperti misalnya Bisma, Drona, Karna, Aswatama, Salya, dan lain-lain. Ia menggantungkan harapannya untuk meraih kemenangan kepada Bisma dan Karna, karena mereka adalah ksatria yang unggul dan setara, atau bahkan melebihi Arjuna.Karna yang bersumpah setia akan selalu memihak Duryodana, berusaha memberikan yang terbaik bagi sahabatnya tersebut. Namun satu-persatu ksatria besar yang memihak Duryodana, gugur di medan laga dalam usaha membela Raja Hastinapuratersebut, termasuk ksatria yang sangat diharapkan Duryodana, yaitu Bisma dan Karna. Begitu pula saudara-saudaranya, seperti misalnya Dursasana, Wikarna, Bima, Citraksa, dan lain-lain.

Akhirnya, hanya beberapa ksatria besar di pihak Korawa masih bertahan hidup, seperti misalnya Kretawarma, Krepa, Aswatama, dan Salya. Pada pertempuran di hari kedelapan belas, ia mengangkat Salya sebagai senapati pihak Korawa, namun pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Menjelang akhir peperangan tersebut, Duryodana mulai merasa cemas akan kekalahannya.

Anugerah Gandari

Ratu Gandari yang sedih dengan kematian putera-putranya, merasa cemas dengan Duryodana, putera satu-satunya yang masih bertahan hidup dalam peperangan. Agar puteranya tersebut mencapai kemenangan, ia memberikan sebuah kekuatan ajaib. Kekuatan tersebut berasal dari kedua matanya yang ia tutup. Jika kekuatan tersebut dilimpahkan kepada tubuh Duryodna, maka ia akan kebal terhadap berbagai macam serangan. Ia menyuruh Duryodana agar mandi dan memasuki tenda dalam keadaan telanjang.

Saat Duryodana ingin menghadap ibunya, ia berpapasan dengan Kresna yang baru saja datang mengunjungi ibunya. Kresna mencela dan mengejek Duryodana yang mau datang ke hadapan ibunya sendiri dalam keadaan telanjang. Karena malu, Duryodana menutupi bagian bawah perutnya, termasuk bagian pahanya.

Saat Duryodana memasuki tenda, Gandari sudah menunggunya, kemudian wanita itu membuka penutup matanya. Saat matanya terbuka, kekuatan ajaib dilimpahkan ke tubuh Duryodana. Namun ketika Gandari melihat bahwa Duryodana menutupi bagian bawah perutnya, ia berkata bahwa bagian tersebut tidak akan kebal dari serangan musuhnya karena bagian tersebut ditutupi saat Gandari melimpahkan kekuatan ajaibnya.

Pertempuran terakhir dan kematian

Saat Duryodana bertarung sendirian dengan Pandawa, Yudistira mengajukan tawaran, bahwa ia harus bertarung dengan salah satu Pandawa, dan jika Pandawa itu dikalahkan, maka Yudistira akan menyerahkan kerajaan kepada Duryodana. Duryodana memilih bertarung dengan senjata gada melawanBima. Kedua-duanya memiliki kemampuan yang setara dalam memainkan senjata gada karena mereka berdua menuntut ilmu kepada guru yang sama, yaitu Baladewa. Pertarungan terjadi dengan sengit, keduanya sama-sama kuat dan sama-sama ahli bergulat dan bertarung dengan senjata gada. Setelah beberapa lama, Duryodana mulai berusaha untuk membunuh Bima.

Pada waktu itu, Kresna mengingatkan Bima akan sumpahnya bahwa ia akan mematahkan paha Duryodana karena perbuatannya yang melecehkan Dropadi. Atas petunjuk Kresna tersebut, Bima mengingat sumpahnya kembali dan langsung mengarahkan gadanya ke paha Duryodana. Setelah pahanya dipukul dengan keras, Duryodana tersungkur dan roboh. Ia mulai mengerang kesakitan, sebab bagian tubuhnya yang tidak kebal telah dipukul oleh Bima. Saat Bima ingin mengakhiri riwayat Duryodana, Baladewa datang untuk mencegahnya dan mengancam bahwa ia akan membunuh Bima. Baladewa juga memarahi Bima yang telah memukul paha Duryodana, karena sangat dilarang untuk memukul bagian itu dalam pertempuran dengan senjata gada.

Kresna kemudian menyadarkan Baladewa, bahwa sudah menjadi kewajiban bagi Bima untuk menunaikan sumpahnya. Kresna juga membeberkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh Duryodana. Duryodana lebih banyak melanggar aturan-aturan perang daripada Bima. Ia melakukan penyerangan secara curang untuk membunuh Abimanyu. Ia juga telah melakukan berbagai perbuatan curang agar Indraprastha jatuh ke tangannya.

Duryodana gugur dengan perlahan-lahan pada pertempuran di hari kedelapan belas. Hanya tiga ksatria yang bertahan hidup dan masih berada di pihaknya, yaituAswatama, Krepa, dan Kretawarma. Setelah Duryodana gugur, ia masuk neraka, namun kemudian menikmati kesenangan di surga karena ia gugur di Kurukshetra, tanah suci yang diberkati.

Pandangan lain

Dalam pandangan para sarjana Hindu masa kini, Duryodana merupakan raja yang kuat dan cakap, serta memerintah dengan adil, namun bersikap licik dan jahat saat berusaha melawan saudaranya (Pandawa). Seperti Rawana, Duryodana sangat kuat dan berjaya, dan ahli dalam ilmu agama, namun gagal untuk mempraktekkannya dalam kehidupan. Namun kebanyakan umat Hindu memandangnya sebagai orang jahat yang suka mencari masalah.

Duryodana juga merupakan salah satu tokoh yang sangat menghormati orangtuanya. Meskipun dianggap bersikap jahat, ia tetap menyayangi ibunya, yaitu Gandari. Setiap pagi sebelum berperang ia selalu mohon do'a restu, dan setiap kali ia berbuat demikian, ibunya selalu berkata bahwa kemenangan hanya berada di pihak yang benar. Meskipun jawaban tersebut mengecilkan hati Duryodana, ia tetap setia mengunjungi ibunya setiap pagi.

Di wilayah Kumaon di Uttranchal, beberapa kuil yang indah ditujukan untuk Duryodana dan ia dipuja sebagai dewa kecil. Suku Kumaon di pegunungan memihak Duryodana dalam Bharatayuddha. Ia dipuja sebagai pemimpin yang cakap dan dermawan. (Artikel ini diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Duryodana).