Jumat, 20 November 2009

KARYA SENI PATUNG DARI HAMBURG DAN BREMEN 2

BREMEN
Freie Hansestadt Bremen
(bahasa Inggris: Free Hanseatic City of Bremen; bahasa Indonesia: "Kota Hanseatik Merdeka Bremen"), adalah salah satu dari enam belas negara bagian Jerman (Bundesländer). Negara bagian ini terdiri dari dua bagian yang terpisah dan jarak antara bagian yang satu dengan yang lain adalah 60 kilometer.

Negara bagian Bremen terdiri dari dua kreisfreie Stadt atau kota otonom:

Artikel ini diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Bremen dan semua gambar pada artikel ini kiriman Sri Bagus Darmoyo dari Hamburg dan Bremen Jerman.




Seni patung di Jerman

Pada 1817 Johann Wolfgang von Goethe menjelaskan kepada “Ikatan Perupa Jerman” bahwa tujuan utama dari semua seni patung adalah menampilkan martabat manusia dalam sosok patung manusia.” Pernyataan Goethe ini sekaligus juga merangkum apa yang diilustrasikan seni patung berabad-abad yang lalu, yakni manusia sebagai obyek seni pahat patung. Ajaran Goethe masih terasa hingga sekarang, meski sejalan dengan waktu di sana-sini didominasi oleh berbagai aliran.

Seni pahat patung di masa sebelum perang didominasi oleh berbagai aliran seperti surealisme, kubisme dan ekspresionisme. Tapi pada tahun 30 dan 40-an kekayaan akan nuansa aliran ini di Jerman direpresi oleh aliran realisme-nya rezim NAZI. Perupa penting Jerman seperti Ernst Barlach (1870-1938) dan Ewald Mataré (1887-1965) dikejar-kejar dan dihalang-halangi untuk berkarya karena karya mereka oleh rezim NAZI dicap sebagai “karya seni yang tidak sesuai dengan konsep seni” (entartete Kunst). Dalam berkarya Barlach berkonsentrasi pada penampilan figur-figur manusia, sementara Mataré lebih memilih binatang sebagai unsur penting obyek karyanya. Kesamaan dari kedua perupa patung ini adalah karya-karya mereka tidak didominasi oleh keadaan hektik sehari-hari, tapi terus mencoba mengangkat sesuatu yang konstant, baik dalam alam maupun dalam eksistensi manusia. Penampilan manusia tetap figuratif, sama dengan sosok manusia, patungnya berbentuk bulat dan berat. Dalam akhir masa hidupnya Mataré juga mengangkat topik religius dan merancang pintu dari perunggu untuk portal bagian selatan Katedral Köln dan pintu-pintu gereja perdamaian dunia di Hiroshima.

Disain ruang

Seni pasca perang di tahun 50- dan 60-an mendorong terjadinya revolusi besar dalam seni pahat patung tradisional. Patung yang biasanya berbentuk bulat, dengan volume yang tampak padat diganti dengan patung ringan dengan ruang linear. Premis dari perkembangan baru seni patung ini adalah keseimbangan dan tanpa berat serta geometri sebagai alat konstruksi arsitektonis. Patung tidak lagi eksis sebagai patung an sich, tapi adalah disain ruang. Salah satu pematung penting di Jerman yang menganut aliran patung dengan ruang linear adalah Norbert Kricke (1922-1984). Kricke memelihara hubungan yang erat dengan seniman-seniman dari kelompok Düsseldorf “Zero” dan dengan kelompok “Nouveau Réalisme” di Paris. Pada akhir tahun 50-an dan awal 60-an muncul suatu kalangan di Düsseldorf yang mencoba kembali mengikuti perkembangan seni patung internasional dan ikut serta secara aktif dan inovatif pada perkembangan itu. Daerah Rhein menjadi pusat seni yang bisa disamakan dengan metropolitan seperti Paris, New York atau Milan. Norbert Kricke membuat patungnya tidak berdasarkan rencana tertentu, melainkan mengikuti gerakan kawat konstruksi untuk kemudian menciptakan sesuatu dengan cara membengkokkan dan melengkungkannya. Apa yang hendak dicapai Kricke bukanlah figur dan massanya, melainkan gerakan dan ruang. Bahan-bahan tradisional untuk membuat patung seperti perunggu dan batu diganti dengan bahan-bahan baru seperti logam, kaca, semen, cahaya, lateks dan fiberglas apabila diperlukan untuk menimbulkan kesan plastiknya.

Dalam perkembangan seni internasional tahun 60-an di Jerman seniwati dari Hamburg Eva Hesse (1936-1970) juga menempati posisi yang diperhitungkan. Dengan patung-patungnya yang menyita ruang di tahun 1966-1970 dan dengan menggunakan materi baru dan tak biasa, yakni lateks dan fiberglas, Eva Hesse berhasil memulai babak baru dalam dunia seni New York. Berkat bea siswa atelier di Kettwig di daerah Ruhr Eva Hesse dapat berhubungan dengan pematung-pematung Jerman yang dikenal secara internasional seperti Hans Haacke, Karl-Heinz Hering dan Joseph Beuys.

Lakan dan minyak gemuk

Karya Joseph Beuys (1921-1986), seniman dari Düsseldorf , dipengaruhi oleh teorinya yang disebut “plastik sosial”. Pada tahun 70- dan 80-an istilah ini sangat dominan dalam dunia seni di Jerman dan memperluas istilah seni tradisional. Mulai saat itu seni dipandang sebagai suatu proses penemuan yang bersifat integral yang bisa diikuti setiap orang tanpa harus memperhatikan prinsip-prinsip disain. Salah satu karya plastik Beuys adalah obyek dan seni instalasi yang dibuat dengan materi khasnya, yakni dari lakan dan minyak gemuk. Selain itu ada juga aksi-aksi seni yang diharapkan dapat menimbulkan perubahan politik dan merombak struktur berpikir yang sudah usang.

Di samping “plastik sosial” patung monumental juga menjadi ciri seni patung tahun 70-an dan 80-an yang fisik kolosalnya terkesan sebagai pelengkap dan tantangan terhadap arsitektur kota besar. Seniman yang mewakili kelompok ini adalah Brigitte Matschinsky-Denninghoff, pematung wanita kelahiran tahun 1923, yang bekerja dengan bentuk-bentuk abstrak dari baja krom-nikel. Bagi pematung Hans Kock (lahir 1920) kota besar yang modern juga merupakan tantangan. Besarnya volume arsitektur menuntut para pematung untuk menghasilkan gambar-gambar antara, untuk menciptakan patung-patung yang bersifat monumental. Patung-patung ini berfungsi sebagai pijakan yang berkorespondensi dengan hal yang lebih besar, yakni gedung-gedung monumental. Tujuan dari penciptaan patung monumental adalah untuk menciptakan patung-patung baru hasil dari permainan dengan bentuk-bentuk yang bebas dan yang umumnya abstrak. Bentuk-bentuk yang bisa disejajarkan dengan karya arsitektur.

Bermain dengan peluang

Seni patung pada masa tahun 90-an hingga sekarang didominasi oleh berbagai bahasa bentuk, ironi dan selera tinggi. Baik itu muncul dari repertoire seni patung tradisional maupun hasil dari perkembangan seni patung yang menekankan pada ruang dan instalasi. Angkatan 90-an ini diwakili oleh para pematung terkenal dan nama mereka tertera dalam Documenta di Kassel, seperti Thomas Schütte (lahir 1954), Stephan Balkenhol (lahir 1957) dan Bogomir Ecker (lahir 1950). Mereka inilah yang mewakili generasi baru seniman Jerman yang menafsirkan seni patung secara individual dan bebas bentuk.

Sebagai karya seni di ruang publik Bogomir Ecker menciptakan sebuah patung yang memiliki 14 bagian dari lempengan baja yang dicat merah berbentuk daun telinga. Instalasi 14 telinga berwarna merah yang dipasang pada 14 pohon besar di taman Jenisch di Hamburg adalah sebuah kreasi yang puitis.

Stephan Balkenol yang pernah belajar seni patung pada Ulrich Rückriem (lahir 1938) termasuk salah satu pematung seni patung figuratif yang terkenal di Jerman. Di saat Balkenol memahat figur-figur dari kayu oak yang besarnya lebih dari dua meter dan mewarnainya, maka terciptalah sosok-sosok yang kukuh dan tenang. Dengan kepala tegak, pandangan nampak tenggelam dalam pikiran yang jauh, patung-patung ini bertahta di atas atap gedung kongres musik di Lübeck.

Franka Hörnschemeyer (lahir 1958) merancang konstruksi ruang untuk gedung parlemen Jerman di Berlin yang bisa dilihat di sebelah utara taman gedung Paul-Löbe. Ia merancang jeruji besi yang berlapis-lapis dan berbelit-belit mirip seperti labirin pagar. Rancangan pagar besi yang bisa dilewati orang ini membuka berbagai perspektif dan spektrum bentuk yang linear bagi para pengamatnya.

Klaus Hack (lahir 1966) berkonsentrasi membuat figur manusia yang abstrak-arkais. Hack kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Berlin pada Rolf Szymanksi dan Lothar Fischer. Ia menciptakan karyanya dengan cara menggergaji bentuk-bentuk yang ia tentukan sebelumnya dan kemudian mengangkatnya satu per satu dari batang kayu dengan pahat tusuk. Kemudian ia mengapuri figur kayu yang mentah itu dengan warna putih. Dengan keakuratan yang mantap Hack berhasil membentuk sebuah baju filigran dari blok kayu. Dengan demikian karya-karya Klaus Hack yang diantaranya bisa dilihat di Museum Mannheim mendemonstrasikan teknik yang istimewa, kecintaannya pada detil serta proporsi yang seimbang.

Berbeda dengan perupa-perupa yang menekankan pada volume yang masif, Rolf Bergmeier (lahir 1957) menciptakan karya patung dengan fisik yang terkesan hampa. Ini sesuai dengan pencerapannya sendiri terhadap alam. Obyek-obyek yang mirip jaringan dalam „Öl auf Holz“ (Minyak di atas Kayu) yang terbuat dari perpaduan tiang-tiang kayu dan diwarnai dengan minyak membentuk suatu kesatuan organis. Obyek-obyek ini mengembangkan dinamika sendiri dan membentuk dirinya menjadi ciptaan alam yang otonom yang terkesan sakral. Aktualitas karya-karya Rolf Bergmeier lah, perupa yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa di Hamburg, yang mendorong kolektor Lafrenz dan Reinking untuk mengoleksi karya-karyanya yang diberi judul Junge Kunst (karya seniman muda) di Neues Museum Weserburg (Museum Baru Weserburg) di Bremen mulai April 2004.

Dalam pasar seni, patung termasuk karya favorit untuk tahun-tahun ke depan. Permintaan akan kualitas yang solid, apakah itu dari segmen periode pasca perang Jerman ataupun dari perkembangan seni sekarang, akan terus meningkat. Sebagai indikatornya adalah nilai seni patung itu sendiri di Jerman yang semakin mendapat tempat di kancah seni internasional.

Barbara Aust-Wegemund
Penulis adalah sejarawati seni dan pakar seni patung dan kerajinan.

Artikel ini diambil dari http://www.goethe.de/Ins/id/lp/prj/art/ksd/msg/ein/id23385.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar